Matahari terbenam belum lama ini di ujung cakrawala, sayang tak dapat disaksikan akibat terhalang oleh tembok besar yang memuakkan. Sinar jingga-kemerahannya yang indah harus susah payah mengintip dari sebalik beton raksasa itu. Diriku hanya sanggup membayangkan bagaimana menyaksikan sunset utuh ... betapa indahnya diselimuti cahaya jingga.
Aku mungkin sanggup menyaksikannya, andai mempunyai keberanian untuk pergi ke gedung pencakar langit tertinggi di kota. Tembok yang mengurung kalah tinggi jika dibandingkan, bayangkan Monas dengan Burj Khalifa. Namun sayangnya warga sipil seperti diriku tak mungkin diperkenankan, hanya Pemburu dan Pembebas resmi yang mempunyai akses keluar-masuk.
Aku bangkit berdiri setelah sekian lama duduk bersila menanti pergantian antara siang dan malam di atas genting rumahku. Kupluk hoodie hitam dan masker dengan warna seiras lantas kukenakan, begitu juga dengan ransel ukuran sedang yang lagi-lagi memiliki warna senada berada dalam sandangan.
Yap ... siap bekerja.
Sebelum beranjak kulirik sebentar rumah yang berada persis di samping rumah ini. "Untung Alde lagi sakit!" gumamku lega yang langsung turun menggunakan tangga.
Ada secercah rasa bersalah di hati. Dari awal aku tidak direstui untuk bekerja, tapi ini demi diriku, demi kakak yang menyebalkan, dan demi tetangga yang merangkap sebagai orang tua angkat.
Aku pulang sebelum fajar, begitulah perkiraannya. Durasi kerjaku tergantung pada keramaian di tempat kerja , yah sangat simpel. Aku bisa kembali seenak hati tanpa ada Atasan yang mengatur. Bisa dibilang aku freelance. Tidak, kayaknya lebih mirip pemulung?
"Nah, sekarang di mana? Harus milih tempat yang sepi!"
Konsepnya adalah siapa cepat dia dapat. Pemulung tak hanya diriku seorang, pasti ada yang sepemikiran. Oleh karenanya, bangunan kosong—tempat sepi dengan plang tulisan merah menghiasi, yang sudah ditempati oleh seseorang bisa diklaim sebagai teritorinya untuk malam ini. Pihak lain terpaksa berpindah ke area yang belum punya Tuan.
Aku beberapa kali harus berpindah lokasi sebab kalah cepat dengan seseorang, ini sudah kali ke tujuh. Seliweran di antara gang-gang sepi nan gelap, bermodal cahaya remang center yang telah pudar daya baterainya, menuju spot sepi akan keberadaan makhluk hidup dan berplang "Wilayah terlarang" tulisannya merah darah, tanda seru dan simbol tengkorak.
Pemulung seperti kami kebal dan tak terpengaruh pada gertakan dari pemerintah. Itu adalah tempat mencari uang tambahan bagiku, atau pekerjaan utama bagi sebagian orang. Tak ada yang dapat menghentikan kami ... yah, ibu atau kakak mungkin saja bisa, andai aku tertangkap basah.
"Bangunan besar itu! Apa aku harus ke sana? Tapi ... rumor itu, ah ... tidak!" Aku sibuk bertengkar dengan diri sendiri. Penyebabnya adalah bangunan besar tak jauh dari tempatku berdiri. "Aku telah membeli benang baja yang mengorbankan uang saku selama dua bulan. Harusnya tak masalah!" gumamku menyakinkan diri.
Rumor yang menakut-nakuti Pemulung. Barang siapa yang berani menjejakkan kaki di sana, niscaya tak akan ada yang tersisa—lenyap. Untuk yang satu ini, nyaliku agak ciut, lagipula aku tak ingin mati muda. Masih banyak hal yang ingin aku wujudkan.
"Humm ... gimana, ya?" risauku tersenyum kikuk.
Bangunan itu memang menyebarkan aura pembuat bulu roma bergidik dan tubuh menggigil tiba-tiba. Pondasi yang serupa apel digerogoti ulat, bolong sana-sini, mencipta kesan bahwa bisa runtuh kapan saja. Mengusir setiap makhluk yang hendak mendekat, aku juga termasuk.
Brrr ...
Aku terlonjak terus merapatkan diri pada tembok gang, jantung hampir berhenti bekerja, udara pun keluar-masuk sungguh cepat. Sesaat kemudian bahuku seketika lunglai setelah mengalami hipeventilasi sesaat, kutatap jengkel saku depan jeans hitamku yang memancar sinar, kurogoh dengan kasar.
"Siapa sih? Rendy?"
Icon telepon berwarna hijau yang terpampang di tengah layar ponsel kugulir ke atas. Aku diam menunggu pihak seberang berlisan lebih dulu.
"Aray? Kau di mana?"
"Di hatimu!" balasku kelakar dengan kekehan paksa.
Ogah rasanya dihubungi Rendy pada saat-saat diriku menguatkan mental untuk menerjang segala resiko demi uang. Yah, aku agak memprioritaskan duit di atas keselamatan ... cuma sedikit!
"Huek ... selera humormu aneh! Setidaknya pilih guyonan yang bagus!" kicau Rendy yang tak bosan menasihati.
"Tapi benarkan? Kau tak menyayangi sahabatmu ini?" Aku masih ingin menggoda si Rendy.
Terdengar suara berdecak lidah. Aku menutup lubang speaker agar bebas terbahak-bahak.
"Sudah, diam! Kau tak perlu bicara lagi!" maki Rendy kedengaran murka.
Aku membayangkan mukanya yang merona merah, entah marah atau malu. Sebebalnya dia, yang kukatakan tadi memang fakta! Tapi jangan berpikir soal kaum pelangi. Kami ini normal!
"Oke, oke. Aku diam!"
"Bagus! Begini, di mana kau sekarang?"
"Rutinitas," balasku singkat.
"Part time job? Hei, tak ingat kejadian minggu lalu ... kakakmu meneror di tengah malam dan menanyakan 'di mana Aray?'. Aku kelabakan mencari alasan, tau!" Rendy tak henti-hentinya mengoceh. "Kedok guling di bawah selimut itu sudah basi!"
"Yang lalu biarkan berlalu. Terpenting sudah tak ada masalah, 'kan? Aku telah mengganti kerugiannya. Guling bawah selimut sudah sirna, aku telah menggantinya dengan 'Iya, kak' ... suara yang terekam di recorder dan akan berputar otomatis jika pintu hendak di buka. Tak ada lagi kekhwatiran!" terangku dengan bangga, tentu saja membusungkan dada.
"Enak kali punya otak encer. Aku ingin kepalamu!"
"Berdoalah jika di luar sana ada Spiriter yang mempunyai Spirit transplantasi organ semacam itu!"
"Aku selalu berdoa!"
"Ya, ya. Cepat katakan maksudmu, aku sibuk!"
"Aku ... punya sedi ... kit, kendala!" beritahu Rendy yang kayaknya kata yang terlontar sangat berat hingga sepatah-patah.
"Dua ratus!"
"Huh, padahal belum juga bicara."
"Ketebak. Hmm ... aku tak bisa, besok sore setelah sekolah!"
"Tujuh ratus. Sekarang ke sini! Deadline-nya besok!" kata Rendy terdengar agak panik. Penolakan dariku malapetaka baginya.
"Aku harap kepalamu diganti saja, nggak guna!"
"Jadi, gimana?"
"Baiklah!"
"Sip."
Rendy sontak mengakhiri panggilannya begitu jawaban yang diharapkan tiba.
"Dasar!" Aku tersenyum miring. "Menyayangi sahabat, ya?" gumamku menengok bangunan mengerikan itu.
"Tidak untuk hari ini. Tujuh ratus itu rata-rata penghasilan per malam, lumayanlah!"
Aku beranjak dari sana, kusudahi part time job ini. Adapun alasannya adalah aku tak kebagian tempat dan malas berjalan berkilo-kilo jauhnya hanya untuk memulung. Resikonya mengancam nyawa, tau!