Chereads / NIBIRU IMPACT / Chapter 3 - Spirit 2

Chapter 3 - Spirit 2

Mulutku kerap kali terbuka lebar mirip paus yang hendak menelan ribuan plankton, bedanya aku tak memiliki penyaring, alhasil sesuatu tak dikenal acap kali nyelonong masuk begitu saja. Untungnya hal yang kukhawatirkan tak kesampaian.

Ini bermula gara-gara tugas Rendy yang segunung. Aku tak menyangka PR dan tanggungan tugas yang dimilikinya luar biasa banyak, efeknya mataku dapat terpejam penuh ketika menyentuh jam dua pagi. Huh ... tak ada bedanya dengan part time job atau kegiatan memulungku. Apabila disuruh memilih antara lelah fisik atau pikiran, maka aku lebih memilih fisik.

"Wooaah ... di kelas aku tidur saja." Menguapanku kian parah, air muncul di sudut mata, kelopak mata memaksa tertutup, dan kepalaku yang terantuk ke depan. Terasa punggung seseorang. Aku menabrak orang, kah?

"Aray? Kamu bergadang lagi?"

Kelopak mata kupaksa terangkat meski berat, tentunya ingin mengidentifikasi sosok yang tengah mengomeliku ini. Walau bisa kutebak dari nada suaranya, memastikan bahwa yang tadi bukan mimpi. Aku mengerjap dan kukucek sampai terbiasa dengan intensitas cahaya di koridor ini. Samar rambut hitam lurus. Cewek. Sepertinya benar dugaanku.

"Nanggung, rank-ku bentar lagi singa. Besok udah ganti season ... wooaah!" ucapku yang disertai nguapan.

"Lagi-lagi game. Huh ... kamu ini!" omel cewek rambut hitam lurus ini, iris hitam-kecokelatan menyoroti jengkel. "Kamu jadi kurang tidur!"

"Tenang saja, Ari. Di kelas nanti tidur, kok."

Aku hendak nyelonong begitu saja, tapi badan ramping dari Ari menghalangi, begitu juga dengan tangannya yang merentang memblokir pintu berpelitur di belakangnya. Cewek ini kekeh menahanku di ambang pintu, sampai-sampainya jadi bahan tontonan kelas tetangga.

"Aku mau masuk. Ingin segera ... wooaah, tidur."

"Nggak! Kamu harus berjanji mengurangi kebiasaan burukmu itu! Main gim boleh-boleh saja, tapi kamu harus memerhatikan kesehatan juga!" ceramah Ari yang cuma numpang singgah di kupingku.

"Ok. Aku nggak akan main gim lagi ... puas?"

"Belum! Omonganmu itu nggak bisa dipercaya!" sergah Ari yang kekeh melintangkan tangan. Aku bisa saja menyentaknya, tapi sadar adab. Jangan main kasar sama perempuan! Pesan kakak maupun ibu.

"Jadi, gimana? Aku harus apa biar seorang Arita Putri percaya? Kita menghalangi jalan. Lihat, Kamara pagi-pagi udah manyun!"

"Eh? Kamara—Aray!" teriak Ari meski hari masih awal.

Tipuanku berhasil. Aku segera masuk dengan melewati kolong tangan Ari, selepas itu mengamankan bangku—kasurku yang nyaman. Pojokan kelas dekat jendela, bangku para tokoh utama, 'kan?

Korden hijau kutarik—direntangkan menutup daun jendela, mencegah matahari mengirim bilah silau. Dengan begini, tidurku tak akan terusik, kecuali Ari yang kemungkinan ngomel-ngomel. Tapi setelah sekian menit melipat tangan, menaruh kepala di sana, telingaku tak kunjung diserang. Perasaanku jadi nggak enak.

"Diandi!"

Benar saja ....

Telingaku akan melar kayak karet jika tubuhku tak mengikuti arah jeweran yang muncul tiba-tiba. "Pagi-pagi udah tidur. Berdiri!" Kuping ditarik ke atas dan pelintir. Untung nggak sampai copot.

Tanpa menunggu instruksi dari otak, badanku lebih awal menjalankan perintah. Layaknya tengah PBB dalam Pramuka, diam tegak menghadap depan, kaki dirapatkan membentuk huruf V dan kedua tangan mengepal sejajar jahitan celana abu-abuku. Oh, jangan lupa berekspresi kayak robot—tak peduli meski dunia kiamat. Tapi, malangnya aku gagal ber-cosplay anak Pramuka, siswa di depanku memberikan serangan kritikal, yang hanya bermodalkan cengiran dan acungan jempol. Aku tergelak yang menular ke seluruh kelas dan wali kelas—Bu Desy benar-benar manyun.

"Semuanya berdiri!"

Yap, setidaknya aku tak sendirian.

Diam-diam aku memberikan dua jempol pada siswa di depanku yang sering dijuluki Rabbit, sebab giginya. Meski kadang dirundung masalah fisik, tapi dia senantiasa tersenyum. Hal itu yang kukagumi dari dirinya.

"Mapel sejarah dunia. Buka halaman 76!" titah Bu Desy yang kayaknya lagi datang bulan.

Para siswa merengek, meminta keringanan, berdalih hanya spontan dan bla-bla ... seluruh ocehan itu hanya mencipta banyak kerutan di pelipis Bu Desy. Mereka sepertinya lupa ... jangan mainin mood perempuan yang lagi bocor! Bahaya ....

"Kaki yang sebelah diangkat!"

"Hah?"

"Nggak nerima kata 'hah?' mulut kalian juga bau!" muram Bu Desy mengibas tangan di depan muka.

"Diandi, jangan cengar-cengir! Siapa Spiriter pertama?"

Aku hari ini pasti di-lock habis-habisan.

"Spirit pertama adalah seorang pria dari Ethiopia. Demi menjaga kerahasian, sampai saat ini identitas asli tak pernah dipublikasikan," jawabku lantang, lugas, dan jelas. Tak kurang sedikitpun.

"Kenapa harus anonim atau dirahasiakan?"

"Melindungi kerahasiaan dan keamanan beliau juga keluarga—cucu-cicitnya. Banyak mitos mengatakan bahwa darah dari Spiriter pertama dan keturunannya mampu membuat seseorang berumur panjang, bahkan kekal. Mitos itu berkembang sebab identitasnya yang anonim dan meski sudah lewat satu abad lebih, banyak rumor mengatakan bahwa Spiriter pertama masih hidup sampai sekarang."

Para siswa melongo menatapku. Buku paket yang bahkan belum disentuh, apalagi dibuka—tersimpan rapi di tas, tapi aku sanggup memberikan jawaban lengkap, meskipun materi ini baru akan dipelajari. Yah ... makanya belajar, persiapan dari rumah!

"Lebih spesifik, satu setengah abad itu berapa?" Bu Desy tak akan pernah puas.

"128 tahun yang lalu. Lewat setengah abad dari Nibiru Impact! Apa saya perlu menjabarkan detail tahunnya?"

"Cukup. Kamu boleh duduk," ujar Bu Desy nampak tak puas—kesal. Aku mencoba tak menghiraukannya.

"Sesuai yang dikatakan Enstein kecil kita, Spiriter pertama ...."

Posisi menumpuk kepala di atas lipatan tangan itu kurang lebih nyaman, Bu Desy dan siswa lainnya harusnya tak mungkin mengusik lagi, memang cocok untuk segera bertualang di dunia mimpi—kabur dari kenyataan. Sayup suara kian memudar seiringan dengan mataku yang menyipit dan visual yang memburam. Di saat seperti ini—di masa lampu, aku pasti dapat mendengar samar disenandungkannya nina bobo yang begitu lembut dari wanita yang telah bertaruh nyawa membawaku hadir ke dunia. Sungguh, jika mungkin ... aku ingin mengulang masa lalu ... yah, sadar diri bahwa itu konyol, tapi ... huh, tak berguna. Berdoa saja bahwa mimpi kali sesuai dengan julukannya ... bunga tidur. Aku sungguh berharap.

.

.

.

.

Nyawaku belum menyatu sepenuhnya dengan raga, jadi orientasi terhadap segala hal di sekitar masihlah dangkal. Butuh sekian detik agar diriku sadar bahwa kelas X-C telah steril dari jamahan makhluk hidup, tinggal diriku seorang—linglung menatap jam dinding. Suara "Oh" keluar disusul nguapan yang kasar.

"Tumben? Biasanya Ari menjelma menjadi jam weker!" heranku menggaruk dan merapikan rambut yang berantakan. Tak perlu bercermin, muka orang habis terjaga dari tidur pasti mengerikan, terlebih diriku. Bekas genangan air tercap di meja, hal yang sama di kedua pipi.

"Tau-tau sudah istirahat. Ditinggal lagi ... apa diriku nggak dianggap?" Aku lantas beranjak pergi ke wastafel yang terletak di depan kelas, ingin segera kuenyahkan rasa lengket ini dari pipi.

"Yo, Aray!"

"Apa?" jawabku malas yang mulai membasuh muka. Pendatang baru dari kelas sebelah, X-B.

"Jutek amat! Kayak cewek sedang mens— eh? Apa?" Rendy bingung melihat gerakan tanganku menyuruh dirinya mendekat. "Apa sih?"

"Sini sebentar!"

"Yang jelas lah!" Rendy dengan jengah mendekat. "Gimana?"

"Berdiri di sini ... seorang Rendy memang pas banget!" komentarku seraya mengitarinya, menelisik tiap inci tubuhnya(pura-pura).

"Maksudnya yang pas?"

"Pas dijadikan handuk berjalan!"

"Oi, oi ... Aray!" Rendy berusaha berontak. Dia sekuat tenaga melepaskan kepalaku yang kini bagaikan lem dari punggungnya. "Aku bukan handuk, bangsat!"

"Memang bukan. Terima kasih atas pelayanannya." Aku mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sekalian nyengir. Sumbu pendek milik Rendy terbakar, dia pun meledak-ledak dan menggetarkan seisi gedung sekolah.

Bukk ...

Satu orang terpancing. Tak tanggung-tanggung, tubuh kekar, besar, dan tegap mendadak menyenggol bahu kami berdua, yang sontak menyungkurkan dua orang yang sibuk bertengkar ini. Gaya dorong yang menabrak bukan main kuatnya, mirip tertabrak mobil, kurasa? Aku nggak pernah ketabrak mobil, sih.

"Picik apa?" Kata-kata mutiara dari Rendy keluar. "Koridor selebar ini, nggak bisa milih laluan?!" imbuhnya memaki. Si penabrak lantas tersenyum.

Si pembuat onar ... huh, masalah pasti mendekat!

"Ada apa, Ditto? Aku malas meladenimu kali ini!" ucapku membantu Rendy berdiri. "Lain kali saja—"

Bukk ...

Tangan besar Ditto menyentak tubuhku, memberikan gaya dorong hingga terhantam ke tembok. Tangannya yang lain pun digunakan untuk menahanku agar tetap tertempel di sana. Kedua tangannya semakin ganas menekan, isi perutku bisa keluar jika begini.

"Diandi ... jangan buru-buru!"

Astaga. Aku terasa dijepit benda berton-ton. Dada tak kuat menahan, udara sontak menyembur keluar dari paru-paru begitu saja. Kucoba kumasukkan kembali, tapi tak bisa. Sebelah tangan Ditto yang lain sudah lebih dulu memanjat ke leher, menyumbat saluran udara.

"Apakah orang ini sudah gila?"

Aku menggelepar, harus ada usaha agar terlepas dari cengkeraman orang gila ini. Kedua kaki yang tak menapaki pada lantai menendang-nendang kayak orang berenang. Syukur-syukur salah satu tendangan itu tersasar ke perut orang sinting yang tengah melakukan percobaan pembunuhan, walau ada saksi. Eh? Di mana orang katanya sahabat itu? Jangan bilang dia terbirit-birit?

Tak ada gunanya berharap pada orang lain. Berusaha sendiri ... seperti dulu.

"Hei, apa-apaan pukulan pelan itu? Aku merasa tersinggung lho, Diandi. Kau meremehkanku?!"

Jangan satire, goblok. Ah! Pasukan udara menipis, aku kehilangan tenaga. Kaki dan tangan yang sempat aktif bergerak mulai pasif. Visual pun mulai memburam—kabur.

Brakk ...

"Uhuk ... uhuk ... R-ren, tak berguna!"

"Tak berterimakasih!?"

Berkat Rendy yang telah mengambil amunisi berupa kursi dari kelas, dia akhirnya berani menggebuk Ditto. Kaki kursinya patah dengan bercak merah menempel.

"Ray, semua oke?"

Aku mengacungkannya jemari yang membentuk huruf O seraya tersenyum getir. Harus puas-puasin menghirup udara. Aku hampir menyeberang ke dunia lain.

"Kau sudah gila? Tindakanmu itu kriminal!"

"Aku tak gila. Kata siapa aku ingin membunuhnya?" ucap Ditto mengirimkan seringai padaku.

"Kau sudah mengatakannya!"

Ditto terkekeh memegangi perutnya, terpingkal-pingkal sampai memukul-mukul dinding. Seperti orang gila, Rendy pun jijik menatapnya.

"Ren, begini. Aku akan bertanya. Jika dunia terancam oleh seseorang, dan biang keladinya adalah sahabatmu sendiri, yang secara brutal menghabisi semua orang. Apa yang kau pilih? Temanmu yang berharga atau nyawa semua orang. Konteksnya adalah hanya kau yang sanggup membunuhnya. Hehe ... silahkan jawab!" Ditto tertawa. Sorotnya jelas menarget diriku.

Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa ada tanda direspon oleh Rendy. Dia menundukkan pandangan, menggenggam erat kaki kursi yang tersisa, nampak mencoba mengumpulkan tekad. Tak berselang lama, dia terbahak menutupi mukanya. Tawa yang agak mengerikan menurutku.

"Hanya itu pertanyaannya?"

Gelak tawa dari Ditto runtuh, malahan bertransformasi menjadi keterkejutan bercampur kesal dan marah.

"Jika dia memang sahabatku. Berarti aku percaya padanya, melebihi kepercayaanku pada semua orang!"

"Oh, begitu? Memilih memihak Iblis! Aku tak menyangka kau orang yang seperti itu, Ren? Tapi yah, itu jawabanmu. Maka harus kuhargai." Ditto berlalu pergi, sedikit menyeka tetesan darah dari pelipis terus menjilatinya. "Lalu, bagaimana jika keluargamu yang menjadi korban dari sahabat iblis yang kau sayangi, apa yang kau lakukan?" Tinta darah yang tersisa diolesi pada punggung tangan Rendy, dia tak bergeming.

Ditto memenuhi koridor dengan tawa geli, membingungkan dan menakuti siswa yang telah kembali dari kantin atau tempat lainnya. Suara tawa memekakkan yang begitu mengganggu itu kemudian hilang di ujung koridor. Beberapa siswa menghampiri kami, penarik perhatiannya adalah bangku yang patah kakinya. Mungkin aku harus menanggung denda atas kerusakan ini.

"Yah. Orang itu memang gila!" ucap Rendy lega, kursi dilepaskan, cap merah di salah punggung tangan kiri diusap agar pudar.

Tidak. Aku merasakan bahwa Rendy lah yang gila.

"Ray, bagaimana kondisimu?"

"Aku seperti anak kecil jika kau terus bertanya pertanyaan yang sama. Aku masih hidup. Titik!" kataku sedikit mengelus dada. "Yah. Masih hidup."

"Apa yang terjadi? Ditto cari gara-gara lagi? Ray, kau tak apa, 'kan?" tanya seorang siswa menelisik tubuhku seksama.

"Bisa dilihat sendiri!"

"Hum ... yah. Lalu ...." perhatiannya teralih langsung ke kursi yang pincang. Dia nampak bergumam sebentar lalu berdecak kesal. "Orang itu benar-benar punya gangguan mental!"

"Katanya sih, dia jadi agak miring setelah orang tuanya meninggal dalam insiden kebakaran delapan tahun yang lalu," sahut siswa lainnya, dia memegang dagu—berpikir.

"Sungguh disayangkan. Spirit yang dimiliki Ditto itu langka. Manipulasi hukum fisika. Bikin iri saja."

"Sejatinya dia sanggup melakukan apa saja. Tapi, karena kepalanya yang kurang memadai ... Spirit itu pun tak berguna."

Aku dan Rendy memilih menepi, biarkan saja kumpulan siswa itu berspekulasi liar, memang itu kerjaannya; mendiskusikan mitos. Namun, seseorang memergoki kami ketika hendak menyelinap ke kantin. Aku maupun Randy bodo amat soal bel yang sebentar lagi berdentang.

Si ketua kelas, Arita Putri menghalangi jalan dengan tangan direntangkan. Kukira cewek itu akan mengacaukan rancangan kami agar cacing perut tak berdemo, fakta berkata lain, malah lebih buruk.

"Aray, Rendy. Kalian dipanggil ke ruang BK!"

Aku menghadap ke atas, persis pada angel yang sempurna untuk merekam dari kamera CCTV. Rendy melakukan hal yang sama, rambut diacak-acak frustasi sekaligus geregetan. "Apa tak ada tempat yang lepas dari digdaya CCTV dan Bu Saki?"

"Toilet."