Hari pertama kerja, aku diperkenalkan dengan satu rekan kerja. "Natha, kenalin rekan kerja baru." Widya mencubit pinggang agar aku memperkenalkan diri.
Lelaki berkemeja hijau tidak menanggapi uluran tangan dariku. Bahkan wajahnya tidak menoleh ke arah kamI. Hatiku merasa tidak diterima, dia terkesan sangat menutup diri dari orang lain. Lalu aku menoleh pada sahabatku, Widya. "Santai aja, dia memang rada gitu. Kamu sudah mengerti tentang pekerjaanmu?" tanya Widya.
"Cukup mengerti." Widya mengangguk dan menepuk bahu Natha.
Jawaban dari rekan kerja baru hanya 'hemmm'. Pria berkacamata masih sibuk dengan komputer, sementara Widya sudah berlalu. Dalam keadaan yang kurang bersahabat, tubuhku mulai bergemetar dan kepala sedikit kliyengan. Serangan panik mulai melanda, buru-buru badan kusenderkan pada kursi yang tersedia. Udara mulai memenuhi hidung lalu menuju paru-paru. Syukurlah, embusan dari mulut meredakan pusing di kepala.
"Nama lu sapa?" Tubuhnya sudah menghadap ke arahku.
"Aruna," jawabku cepat dan kembali tangan kanan kuulurkan padanya.
"Tugas lu tahu?" Tanpa membalas dia bertanya dengan nada ketus.
"Tahu." Dia kembali pada layar komputer, begini banget sih kerja di Jakarta.
Baru hari pertama sudah ada hal yang kurang menyenangkan, mau menyesal pun percuma, kalau sudah basah mandi sekalian. Demi meredam perasaan kecewa kemudian kucoba pelajari buku yang tertata rapi di meja. Bahasa Inggris untuk SD yang warna-warni dengan bahasa sederhana. Tidak berapa lama ada suara dari seorang wanita yang lemah lembut memanggil Natha, "Natha, ke ruangan saya segera."
Sekilas aku melihat wanita yang disebut kepala editor, konon katanya adalah Tante dari Natha. Pantas saja pria berambut cepak tersebut bisa menduduki kepala divisi. Walau terlihat sudah berumur empat puluh lebih tapi wajahnya masih cantik dengan tubuh yang proposional.
"Cieeee Natha," celutuk seorang wanita yang berada di meja ujung kanan.
Karena aku orang yang ingin tahu, bertanyalah mulut ini padanya, "Ada apa?"
"Ntar lu juga tahu?" Senyum nakal terhambar di bibir berpoles merah cabe.
"Okay." Meskipun aku ingin tahu tapi sebagai karyawan baru, harus menjaga kesopanan juga kan. Tidak boleh kepo urusan pribadi orang. Walaupun nada suara dari pemilik kaki putih mulus tersebut, bukan sebagai kepala editor apalagi tante sama keponakan, tapi lebih mirip.
"Orang baru ya, sabar-sabarin aja sama si Judes itu. Tapi ati-ati jangan main hati sama dia, udah ada yang punya," ujar seorang wanita, "Oiya gue Mona. Bahasa Indonesia." Aku menjabat tangannya kembali.
"Aruna." Lalu dia kembali ke tempat kerjanya.
Telunjuknya tepat di bibir merah lalu menunjuk seseorang yang datang. Mataku mencari arah yang diberikan oleh Mona, dengan cepat kusambar buku yang tergeletak di meja.
Natha kembali dengan muka dinginnya, mungkin dia bawa kulkas atau freezer, tanpa kusadari lengkungan di bibir tertangkap olehnya, "Ngapain ketawa?"
"Nggak," jawabku dengan senyum yang terpaksa.
"Ngerti kan tugasnya. Ini form buat revisi, edit 1 sampai 3, yang form kedua untuk QC, ruangan sebelah namanya Lita. Lu harus koordinasi dengan setter, noh ruangan cat hijau, tanya ntar kalau keluar. Pastikan revisi udah kelar tentang isi, mau sebobrok apapun naskah please banget jangan ngeluh! Edit 1 kelarin semua! Kalau kelewat edit 2 lu mati di tangan gue!" jelas lelaki di samping dengan menekan telunjuk pada kertas di meja. "Oiya maksimalin tu internet, teliti, dan jangan banyak tanya yang nggak penting!" Omelannya berlanjut dengan satu naskah kelas lima SD yang tertulis nama seorang guru. Pasti naskahnya bagus dong, kan garda depan pendidikan Indonesia, pikirku kala menerima setumpuk kertas putih bergambar dengan judul 'Fun with English 5'.
///
Detak berlalu sangat cepat, jarum panjang dan pendek tepat berdampingan di angka 12. Netra mencari Widya yang tengah asyik main ponsel di depan meja resepsionis. Aku menghampiri kemudian menepuk punggungnya. "Hai, sudah kutunggu lama. Ayo!" Tangannya mengapit lengan. Kami bercanda ria saat keluar dari kantor.
Dalam perjalanan ke tempat penitipan, aku menangkap sosok yang dikenal. Natha menghisap si putih panjang di dekat mobil merah yang terparkir. Mungkin sedang menunggu orang.
"Kenapa Run?" tanya Widya penasaran karena mataku terlihat terpaku pada satu titik.
"Aku lihat Natha tadi," jawabku masih melihat ke arah lelaki yang bersender pada pintu mobil berwarna merah.
"Mungkin nungguin." Perkataan Widya berhenti tatkala seorang wanita memeluk pinggang Natha.
Mataku membulat melihat dua orang yang dikatakan sebagai tante dan keponakan bermesraan bahkan di depan kantor yang cukup terlihat oleh banyak orang.
"Mereka?" Aku tidak mau melanjutkan kalimat yang disusul anggukan dari Widya.
"Gila!" pekikku, untung dalam keramaian suara mobil dan motor yang berlalu lalang.
"Dan katanya mereka punya anak," bisiknya yang membuat kepalaku tidak berhenti bergoyang.
Wow, kupikir cuma ada di sinetron seorang keponakan bisa main gila dengan tantenya tapi Natha, dan aku tahu maksud perkataan Mona yang tadi. 'Sssttt' telunjuk Widya sudah berada di bibir, sebenarnya juga tidak mau peduli kehidupan kepala divisi bahasa tersebut tapi ini namanya gosip panas, ups Aruna kembali kepo.
Kami kembali ke kantor sambil bercerita dan bercanda, dan lagi-lagi terlihat seorang laki-laki keluar dari mobil merah yang tadi kulihat. Tangannya melambai pada mobil, di depan pintu utama kami berpapasan, "Hai, Nat," sapaku. Tapi ya gitu, wajahnya menoleh sebentar dengan tatapan 'sok kenal banget sih'.
"Ngapain sih disapa! Orang sombong!" omel Widya setengah berteriak hingga membuatnya berpaling ke arah kami.
Kedua netra membesar untuk memperingatkan Widya, "Tempat umum, Beb." Jemariku menyentil ujung kain pada lengan sahabat di sampingku.
///
"Naskah lu gimana Run?" tangannya menarik kursi yang ada di sebelahku.
"Ancurrr Mon," umpatku pada naskah yang sudah penuh coretan merah. "Lihat aja! Tugas kurang, pembukaan copas semua, paling parah multipel choice, rombak 75%." Kepalaku berdenyut-denyut melihat tulisan 'chapter 2'.
"Lah baru bab 2, lu? Kasian banget sih," ejek wanita berparas ayu sambil tertawa puas. "Welcome drink-nya enak nggak Run."
"Kupikir kan dia guru, ngertilah masalah sepele begini. Harusnya duit penulis setengahnya buat aku," ujarku memijit kedua pelipis yang mulai nyeri lagi.
"Kerjaan lu selesai, Mon?" Yap, suara bapak kepala divisi mulai berisik di pagi hari.
"Gue ke meja, bye Aruna." Aku hanya mengangguk menanggapi lambaian jemari lentik Mona.
"Baru training! Kerjain cepet!" perintah Natha yang sudah siap dengan satu naskah full coretan, bola mataku sedikit melirik naskah kepunyaan dia, kepo sih.
Bergulat dengan naskah amburadul membuat waktu berjalan sangat cepat, detik berubah menjadi jam, dan saatnya untuk bertemu dua anak kecil di penitipan. Pertimbangan kami untuk menitipkan anak adalah mereka bisa sekolah sekaligus menunggu ibunya sampai pulang kerja. Sekali dayung, satu dua urusan terlampaui, kerja beres, mereka pun nyaman. Begitulah, wanita yang harus pintar membagi waktu, tenaga, serta uang. Mungkin kami tidak akan mengalami nasib ini kalau dia mau berusaha lebih keras, andai. Namun, aku tidak berandai, aku harus maju untuk anak-anak.