Chereads / ARUNA dan NATHA / Chapter 7 - Natha Pengecut

Chapter 7 - Natha Pengecut

Langkahku kembali pada mereka yang ada di kamar. Para bocah tadi kutinggalkan bersama krayon dan pensil. Setidaknya Luna tersenyum dan tertawa tanpa harus menahan tangis. Dia bahagia. Tanpa ada perlakuan kasar dari kedua kakak kandung. Kalau kataku, miris. Sebuah drama kehidupan yang melibatkan anak kecil sebagai korban. Seperti anak-anakku. Mereka juga korban dari kami orang tuanya. Kami orang yang mengaku dewasa tapi malah menghancurkan impian mereka.

"Bun, kok malah melamun?" tanya Jiyo, putra sulungku.

"Bunda lagi mikir kalau mau buat susu cokelat saja. Gimana?" tawarku pada mereka. Langsung saja Luna memeluk diriku erat. Ya Allah gadis kecil ini sangat membutuhkan kehangatan seorang ibu.

Aku menyeka air yang hampir luruh ke pipi. "Mama mau buat susu dulu, Sayang." Luna mengangguk.

Kemudian aku pergi ke dapur yang sangat kecil. Satu petak dengan kamar. Menuangkan susu ke dalam tiga cangkir kecil. Aku memberikan sedikit air panas dan tiga perempat air biasa. Mengaduk dengan perlahan supaya susu tercampur dengan air.

Hari ini aku tahu, Natha sangat menderita. Hidupnya runtuh, mungkin. Aku hanya dapat melihat dari sorot kedua matanya. Namun, dia juga ambil bagian dari kesalahan ini. Mengapa dia terjebak bersama Dila?

Apakah wanita tua itu sangat mengagumkan? Hais, aku malah mikir hal yang bukan wilayahku. Biarkan dua sejoli tersebut memadu kasih terlarang. Lalu aku menengok ke arah Luna. Gadis kecil yang malang. Andaikan dia bisa tinggal bersama kami? Natha? Biarkan dia mendapatkan pelajaran dari kehidupan. Sendirian. Tanpa anaknya.

Lagipula, kami hanya berteman, yap hanya berteman, Aruna. Buat apa memikirkan hidup orang lain. Kami saja sudah susah saat ini. Aku memejamkan mata sejenak. Mengapa aku bertemu dengan Natha dan Luna? Haruskah aku bertanya perihal gaib seperti ini? Ya kita kan tidak akan mampu memahami hal yang belum jelas masa depannya.

Masa depan? Apa aku mengharapkan Natha menjadi masa depan kami? Tidak! Sangat tidak mungkin.

"Bun ada yang mengetuk pintu." Suara Jiyo membuat imajinasi otakku mendarat ke bumi lagi. Siapa coba yang datang. Aku hari lelah. Lelah memikirkan Natha dan Luna.

Aku membuka pintu dan mendapati si bapak kulkas berdiri dengan menggigit gagang kacamata hitamnya.

"Kok?" tanyaku, dia sudah masuk kamar dan duduk di samping.

Dia menyender pada tembok. Aku mendekati pria yang sedang tersenyum. Antara pahit dan manis menjadi satu. "Nggak jadi pulang. Gue boleh tidur sini nggak?" Ya, otomatis kepala si bapak kulkas aku getok pakai kelima jari. "Sakit, Run!" teriaknya.

"Kamu itu. Aku males urusan sama Dila!" bentakku.

"Malam ini doang. Please Run. Gue lagi pusing," rengeknya.

"Salah sendiri!" sentakku pada pria yang hanya menatap dengan mata sendunya. Kalau dia pasang wajah memelas begitu, mana tega aku.

Kami menyender pada tembok. Jemarinya mulai memenuhi ruang kosong pada jemariku, erat, seakan sedang membutuhkan penguatan. Aku mencoba melepaskan karena ada anak-anak di kamar. Dia melihatku, "Ada anak-anak." Pegangannya lepas. Dan pandangan Natha beralih pada si kecil Luna. "Kamu nggak dicari?" godaku padanya.

"Gue udah jelasin sama Om, Luna akan menginap kembali cuma kami butuh baju. Temenin belanja, yuk!" ajaknya, dia menatapku lama. Aku terdiam. Jujur aku kasihan dengan kehidupannya yang ribet. Cuma, aku tidak akan masuk terlalu dalam. Aku tidak mau berurusan dengan wanita tua di sana. Dila tampak ambisius walaupun umurnya sudah setengah abad.

"Siapa yang mau belanja?" tanya Natha. Sontak saja, ketiga anak kecil langsung merapikan kertas, pensil, dan krayon.

"Nat, aku tidak ingin ditanyai aneh-aneh besok sama ... Kamu tau kan?" ucapku lirih.

"Ayuk, cepetan. Papa tunggu di mobil, ya!" Dia menyuruh ketiga anak yang siap mengekor di belakangnya. "Santai. Gue jagain." Tangannya menggosok pucuk rambutku. Apa-apaan dia? Aku hanya dapat menghela napas.

Ketika aku sedang bersiap, Natha kembali ke kamar dan berkata, "Cepetan, Run!" Tangan kanan ditarik sementara yang kiri menyambar tas di lantai. Hampir terjatuh karena mengikuti langkah pria di depan yang terlalu cepat.

Anak-anak riuh di depan kamar, aku harus memastikan gembok terpasang dengan benar. Kami berlima menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Tepat saat kaki akan naik ke mobil, sebuah sedan merah yang aku tahu pemiliknya datang mendekat.

Sang wanita menemui kekasihnya. Luna yang melihat si Oma datang langsung berkata pada papanya, "Cepetan, Pa!" Kekesalan terdengar jelas melihat bu kepala editor memberi kode pada papanya untuk mendekat.

"Bentar, Nak. Oma datang." Luna menampakkan wajah tidak senangnya. Kedua tangan saling melipat dengan mulut monyong. Aku menenangkan sang putri yang komat-kamit tidak tentu. Natha menemui bu bos, mereka berbicara di dalam mobil wanita tua itu.

Sang papa yang ditunggu tidak kunjung keluar dari mobil omanya. Luna sudah hilang kesabaran. Kemudian turun sambil membanting pintu. Keras. Kakinya menuju kos kami. Aku menyuruh kedua anakku turun dan mengikuti si gadis kecil.

Luna duduk dengan memeluk kedua kaki di depan kamar, tangisannya kembali hadir. Aku membelai rambut bocah perempuan yang terisak dengan bulir membasahi pipi, "Papa bohong!" teriaknya.

Natha datang, berlari, lalu mendekati anak perempuannya, "Papa hanya menemui Oma sebentar, kita jadi ke mall?" Pertanyaan Natha tidak ditanggapi oleh Luna, gadis itu hanya membisu dengan tatapan pada satu arah. Lantai cor semen halus yang berwarna abu-abu. "Maafin, Papa, Nak." Tangan Natha ingin membelai rambut putrinya, sayang kepala Luna dengan cepat menghindar.

Satu hal yang tidak kumengerti dari tingkah Luna, dia tidak menyukai ibu kandung yang dipanggil oma? Apa dia tidak mendapat kasih sayang dari orang tua kandungnya?

Oh come on Nat, you have to find your own way, aku melihat sang papa yang sekali lagi tampak susah untuk membujuk anaknya sendiri. Ponselku berbunyi, layar menampilkan pesan WA atau lebih tepat ancaman kecil dari ibunya Luna.

(He's mine. Don't you forget about that?)

Kubiarkan pesan yang masuk tanpa membalas, wanita itu hanya memikirkan hubungan terlarang mereka. Apa dia tidak melihat korban yang sudah berjatuhan? Dila tidak buta untuk dapat merasakan kepedihan dari orang-orang di sekitarnya. Wanita itu sangat egois ditambah Natha yang bodoh. Pasangan pas.

"Luna, masuk, yuk! Mama buatin susu cokelat untuk ketiga anak Mama," ujarku untuk menenangkan gadis kecil yang masih terisak.

Ketiga bocah masuk ke kamar. Kecuali Natha, tangannya malah memutar ponsel. Kubiarkan saja. Aku kesal dengan kebodohan seorang lelaki yang tidak mampu memutuskan hal benar. Dia mengingatkanku pada mantan yang dulu meninggalkan kami karena keadaan. Pria-pria bodoh!

Sebelum pintu tertutup aku melihatnya, kedua mata kami bertemu untuk sekian detik. Kemudian secepatnya menyusul kami di kamar. "So pitty you are," ucapku pelan agar anak-anak tidak mendengar. Pria di hadapan tidak menjawab ejekanku. Dia hanya menundukkan kepala sembari mengusap wajah kusut dengan balutan cemas.

Jadi langkah apa yang akan dia ambil? Dasar Natha pengecut.