Kantor hari ini riuh dengan candaan Haryo tentang Natha dan Dila. Pagi ini kami bebas dari bapak kepala divisi karena ada rapat mendadak dengan kepala editor. Jadi ya gitu kegiatan mengedit terisi oleh gosipan para karyawan. Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan mereka. Mau bilang tidak, nyatanya memang mereka memiliki hubungan khusus. Namun, siapa yang akan peduli tentang hati Natha?
Semua orang terluka. Apalagi anak-anak. Keadaan yang memaksa mereka menanggapi hal di luar pemikiran seharusnya. Aku pun tidak akan menyalahkan tindakan kembar yang begitu membenci Natha. Akan tetapi, Luna. Gadis kecil yang harus diinjak harga diri sejak dini. Bagaimana nanti perkembangan jiwanya. Semoga tidak akan menjadi pembunuh suatu saat nanti.
Mona menggoyang pundakku. Membuat pikiran ini kembali pada mereka yang sedang menggibah di ruangan dingin beraroma apel.
"Run, beneran Natha punya anak dari wanita tua itu," tanya Mona sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Aku nggak tahu, Mon." Lidah kukeluarkan sedikit, Mona hanya cemberut mendapat jawaban dariku.
"Lu kan deket sekarang ma si bapak judes ntu," cerocos Mona ketika Natha sudah kembali ke ruangan. Dia mendapati kacang, minuman mineral, serta buku berserakan tidak menentu dan bisa dipastikan suara tajamnya keluar seperti singa.
"Bersihkan! Sekarang!" perintah si bos kepala divisi, "Runa ikut gue!"
Aku dan Mona saling bertatapan, dia bertanya sangat pelan dan hanya pundakku yang menjawab. Aku tidak tahu mengapa sorot matanya menatap dengan kecewa. Salah aku? Atau tadi rapat dengan Bu bos mengenai diriku.
"Cepetan Run!" Suara Natha terdengar menjauh. Kaki kulangkahkan secepat mungkin, mengejar pria yang sudah pergi tersebut.
Natha kok berhenti malah di pantry. Emang mau makan apa? Lapar setelah bergumul dengan wanita tua itu, mungkin. Lagipula ngapain aku malah berpikir begitu. Dan membuat hatiku sedikit, sakit. Dih! Tidak mungkin aku menyukai seorang Natha. Tidak! Jangan, Aruna! Jangan, bodoh!
Aku berhenti di depan pintu. Mataku memandang seorang pria yang sedang bingung mondar-mandir sambil memijat pelipis.
"Kenapa berhenti di sini, Nat?" tanyaku.
Aku mencoba mendekatinya. Raut wajahnya serius, mulutnya ingin berucap tapi tertutup kembali. Pada akhirnya kalimat keluar dari mulutnya, "Gue pengen ngomong penting."
Suaranya merendah, kedua tangan di saku, kepalanya tertunduk, lalu menghadapku, "Dia ingin lu pindah divisi! Pemasaran butuh admin, lu mau?" Kemudian tangannya mengambil gelas dan mengisi air dari galon, "Run, gue ...."
"Nggak mau, aku melamar jadi editor, bukan admin. Lagipula apa salahku?" kataku dingin. Aku menatap Natha dengan lekat. Beri penjelasan bapak Natha! Kalau bisa sih.
"Lu tahu, kan. Gue nggak mau lu kena masalah," jelas Natha. Dia mendekat, tangannya ingin meraih punggung tangan, tapi ditarik kembali.
"Beri aku penjelasan!" kataku. Jelas terdengar di telinga si bapak kepala divisi ada penekanan di setiap kata.
"Dia." Mata Natha terpejam. Mungkin sedang merangkai kalimat. Butuh beberapa detik hingga dia membuka kembali kedua indra penglihatan. Aku masih menunggu penjelasan dari kepala divisi bahasa yang sedang berdiri di hadapanku. "Dia ingin kamu pindah."
Senyumku seharusnya menjadi pertanda kekonyolan dua orang yang sedang di mabuk asmara. Hatiku sakit! Aku yang tidak tahu menahu kesalahan, langsung dipindah begitu saja. Tidak! Aku akan tetap bertahan di editorial. Mau main sama Aruna.
"Aku tetap bertahan. Kalau dia mau mindahin, suruh panggil aku." Setelah mendengar perkataan dari mulutku, kepalanya bergoyang sedikit.
"Lu belum kenal Dila, Run," ucapnya tegas.
"Tapi dia juga belum kenal Aruna, kan. Bilang sama dia. Aku pergi!" Natha menghela napas panjang. Aku tahu dia tidak ingin aku bermain bersama Dila. Namun, bukan aku yang menyenggol pertama kali. Lagipula, aku dan Natha tidak ada hubungan asmara.
Aku meninggalkan Natha. Kakiku menuju ruangan divisi bahasa. Sakit jiwa itu orang! Kalau mau sama Natha mengapa tidak diceraikan suami yang sakit-sakitan itu? Em, mungkin takut tidak punya uang. Natha bodoh! Aku duduk dengan kesal di kursi.
"Dia ngomong apa?" tanya Mona mendekat.
"Aku mau dipindah ke pemasaran," terangku.
"Gila! Lu terima?" tanya Mona lagi.
"Taulah! Aku. Hah. Dia sangat!" Tangan kananku erat mencengkeram bolpoin merah.
"Lapor sama HRD!" kata wanita dengan kemeja merah muda di depanku.
Aku mengangguk. Kuteguk air yang berada di botol berwarna biru toska. Aku harus berpikir jernih menanggapi hal ini. Kalau tersulut emosi, hancur semua hal yang telah terencana.
Terdengar suara orang bertengkar. Mereka mendekat ke ruangan divisi bahasa. Aku dan Mona saling bertatapan. Kemudian Widya dan Dila masuk ke ruangan. Suaranya terdengar cukup keras, "Maksud lu apaan Dil? Kenapa Aruna dipindah?" Widya menatapku. Dila juga tapi dengan sorot mata tajam. Siap mengoyak. Di belakang kepala editor tentu ada kekasih gelapnya.
"Dil, pikirkan lagi. Susah tahu cari pegawai baru," ucap Natha lirih.
"Jadi lu mau dia di sini?" balas Dila. Mereka berbisik tapi kan jelas wajah wanita tua itu menegang. Ada drama lagi, di kantor.
"Nggak ada kesalahan besar, Dil. Dia belajar dengan baik. Bagian finishing juga bilang dia sudah oke. Apalagi?" imbuh pria yang sedang berdebat dengan kekasihnya.
"Apa salahnya Dila. Lu nggak profesional banget sih. Gue yang ngerti. Natha dan Aruna tidak ada hubungan seperti lu sama dia." Widya mengeluarkan kalimat yang memantik api lebih besar.
"Jaga omongan Lu, Widya. Atau?" Telunjuk Dila berada di depan wajah Widya.
"Atau apa? Lu mau pecat gue? Silahkan! Asal lu nggak akan nyesel." Jawaban Widya mampu membungkam Dila. Oke, ini berarti sahabatku itu ada sesuatu juga dengan Dila. Pantas saja dia selalu bilang agar aku menjauh dari Natha. Aku terdampar di dalam lubang dalam. Aruna kamu harus lepas dari Natha.
Natha melihat diriku. Embusan napas yang sedikit berat. Kedua matanya ingin melindungi tapi mulutnya malah pengen mengusirku.
"Lu ngomong dong Nat. Bisu?" Kalimat Widya tajam banget. Memang sih aku tahu sahabat sejak kuliah itu memang susah diajak kompromi kalau urusan ketidakadilan.
Cuma di dalam masalah ini, aku belum memahami benang merahnya. Dan tiba-tiba saja, aku tersangkut di jaringnya Natha. Bodoh kali aku!
"Gue udah jelasin sama dia," balas Natha. Tangannya mengambil kursi yang berada di belakang badannya. Kemudian duduk, biasa saja. Padahal si Dila sudah ingin melempar semua peluru ke arah Natha.
Natha orang yang plin-plan kalau soal Dila. Akan tetapi, bukan orang bodoh juga harus menanggapi kecemburuan yang meraung. Natha tetap mencoba tenang walaupun badannya selalu gemetar setiap kali menatap diriku.
Aku menunggu saja. Kalau otakku sudah paham segala urusan ini, badanku siap menggertak si Dila. Namun, untuk saat ini aku lebih baik diam dan melihat keadaan. Oh, ayolah Natha yang malang! Apa yang dia bisa untuk menjernihkan semua ini? Apakah sikapnya akan tetap begitu? Seberapa kuat hati pria itu ingin lepas dari jerat tante tirinya? Namun, ada sesuatu yang tersembunyi di setiap tatapannya kepadaku. Aku tidak ingin gegabah menanggapinya.