"Kalo di penitipan, jagain putra Tante, ya?" Kelingking kecilnya diberikan padaku sebagai bukti janjinya, "Janji!" Kami tersenyum berdua, sementara papanya malah asyik bermain ponsel.
"Papa, Oma marah ya, Luna tidur di tempat Mama?" tanya si gadis kecil, jemarinya memainkan rambut yang terurai. Natha menggeleng lalu tersenyum, kembali dia berkutat dengan si ponsel berbentuk persegi panjang. Kalau didengar dari suara embusan napas yang keluar dari mulut si bapak kulkas sih tampak ada sesuatu sedang dipikirkan.
"Pacarmu marah?" godaku.
Luna sudah bermain dengan Sarah di ayunan. Jadi aku berani berbicara mengenai hubungan Natha dengan Dilla. Matanya sudah melirik, menandakan dia ingin menyemprot dengan ganas. Pikirku, tapi Natha adalah tipe orang yang tidak mudah ditebak. Atau aku yang tidak bisa menebak? Bodohnya aku.
"Kenapa?" tanya pria yang sedang mengeluarkan rokok dari saku celana. Aku menggeleng. Dia menghidupkan korek dan menyalakan benda berisi tembakau di sela jemarinya.
Kemudian perbincangan kami dimulai kembali. "Bukan pacar, lu tau itu." Apa segitu pentingnya arti rokok? Mungkin penghilang stresnya? Namun bagiku dia tidak sopan dengan selalu membawa kepulan asap setiap bersama. Mana mereka mengelilingi hidung ini, tangan kanan harus siap siaga mengibas-ngibas dan berharap angin membawa racun nikotin pergi.
"Punya anak tu," ejekku. Dan tangan kirinya langsung menggetok kepalaku.
"Sakit!" sungutku.
Sunggingan bibir milik pria di samping membuat diriku bingung. Apa yang bisa diartikan dari sebuah lengkungan yang dibuat oleh Natha.
Dia mengatur napas sebentar kemudian mencoba menjelaskan, mungkin ini hanya perkiraan otakku saja.
"Lu nggak tau Run, bukan mau gue seperti ini." Terdengar sekali lagi, embusan napas berat dikeluarkan oleh beban yang tertancap di dada. "Berulang kali gue mau pergi dari dia, tapi. Selalu ada alasan kembali dalam satu ranjang. Padahal Ambu sudah mewanti-wanti," jelasnya. "Gue muak, kasihan sama Om, tapi Dilla ada saat gue lemah," lanjutnya lalu kedua matanya menutup sesaat.
Ingin rasanya memberi penguatan dengan menggenggam jemarinya, tetapi aku urungkan.
Ada perasaan kasihan, terlebih melihat keadaan Luna yang membutuhkan seseorang walau untuk sekadar memeluknya. "Lalu kamu mau seperti ini terus?" tanyaku.
Dia menggeleng, "Gue pengen pergi, setidaknya Om akan tenang, tapi dia pasti menemukan kami, lagi, dan lagi. Gue capek, Sandi terus membenci padahal saat kecil dia selalu bermain sama gue."
Kepalanya ingin menyender tapi aku menghindar. "Sorry Run. Kebiasaan!" kilahnya.
"Aku bukan Dilla," ledekku sembari mengeluarkan lidah sedikit. Natha menyimpitkan matanya. "Pergilah Nat, kalian berhak bahagia," ucapku.
Pria di samping malah menyemburkan asap langsung ke wajah. Otomatis kan tanganku langsung memukul lengannya. Mana keras pula. Sakit.
Ternyata si bapak kulkas ini memendam sakit yang dalam. Perih ketika dia mengkhianati keluarga omnya. Namun, tetap saja kelakuan dia dan Dilla tidak bisa dimaafkan dengan mudah. Tampak dari sorot kedua netra pria ini, dia butuh orang di sampingnya walau sekadar mengobrol.
"Pacaran?" tanya Widya dengan muka cemberut.
Aku dan Natha saling memandang. Bingung dengan pernyataan dari sahabatku sendiri. Aku tahu dia sangat mencemaskan tindakan diri ini yang mulai dekat dengan Natha.
"Nggak kok Wid, cuma cerita aja." Senyum kubuat sealami mungkin, aku sedikit menggeser pantat menjauhi Natha. Dia melirik, aku balas melirik, dan Widya melihat tingkah kami yang kikuk satu sama lain. Kepala lelaki berambut cepak itu beralih pada Widya.
"Ingat Run, urusan kamu hanya pekerjaan, bukan masalah hati. Tau kan Dila?"
Pernyataan sahabatku yang berdiri dengan tangan kanan di pinggang, mengingatkanku pada pesan WA dari ibu kepala editor. Benarkah dia setega itu sama orang yang dekat dengan Natha, lalu aku menoleh pada pria yang sedang memperhatikan anak gadis berlari bersama ketiga temannya, sesekali lambaian tangan beserta senyum simpul menghiasi wajah sendu si bapak kulkas.
"Run, ngerti nggak sih!" Bentakan dari Widya membuatku mengangguk. Eh malah pergi lagi si Widya, mukanya jutek banget.
"Just a friendship." Kepalanya menoleh ke arahku, mata kami saling bertatapan, dan terlihat ada sedikit kabut menghiasi kedua indra penglihatan Natha.
Semburat rasa mulai terpancar dan aku tidak ingin mengartikan hal itu dengan prasangkaku.
Hidupku saja sudah susah, kalau bersama dengan Natha, tidak! Pasti nanti tambah runyam. "Kepala lu ngapain bergoyang?" tanya Natha.
Aku menggeleng. Mungkin hanya dugaan dari kepedean diri ini. Dia kembali tersenyum, entah sudah berapa kali goresan manis yang tercipta di wajah dengan seribu badai yang menerpa.
"Kamu pasti akan menemukan seseorang, Nat. Dia yang akan mengeluarkan kalian dari lubang hitam ini," ucapku.
Hanya senyum yang bisa kuberikan. Mau menasehati juga belum bisa. Hidup pria ini lebih rumit daripada kisahku.
"Just a friendship? Are you sure. You can't stop something dancing in your stomach," ucapnya dengan kerlingan mata kanan.
"Pede banget, sih!" Aku meninju lengan si bapak kulkas lagi. Padahal tadi kesakitan. Namun, dia malah menggenggam jemariku. Aku mencoba menarik tapi ditahan olehnya.
"Lepasin!" bentakku.
"Sebentar aja, Run, please. Gue hanya butuh." Matanya melihat tanah dengan sedikit hijau rumput liar tempat berpijak kaki kami. "Maksud gue, Luna butuh lu." Kembali kami terdiam, mulutku terbuka tanpa mengeluarkan kata.
Jujur aku bingung dengan situasi saat ini. Dia tiba-tiba melepas tanganku saat mereka kembali semua.
"Pa, Luna tadi main capung. Fani yang tangkap terus." Perkataan si gadis kecil terpotong ketika melihat aku, "Ma nanti malam aku tidur sama Sarah lagi ya, please?" pintanya sambil membuat segitiga dari tangan.
"Luna, tante Aruna capek kalau harus ngurus kamu terus. Kan ada Papa, Nak. Kamu mau ninggalin Papa ya?" Kata-kata dari papanya hanya didengarkan tanpa mau menurut.
"Please, Ma. Aku senang di sini daripada di rumah Opa Daru. Nggak enak di sana?" rengeknya menarik baju yang kukenakan.
Aku menoleh pada Natha, mukanya sudah asem banget, kepalanya menggeleng perlahan, dia sudah lelah membujuk Luna yang mengerucutkan bibir sampai Sarah tertawa keras.
"Luna yakin mau sama tante Aruna, dia galak lho. Tanya aja sama Fani dan Jiyo." Ucapan Widya sepertinya lebih didengarkan oleh gadis kecil yang memiringkan kepala lalu dia kembali menatapku kemudian tersenyum.
Anak dan papa sama aja. Pamer gigi semua.
"Nggak pa-pa, aku suka Mama." Kedua tangannya langsung melingkar di leher dengan kecupan mendarat di pipi.
Natha mengembuskan napas menyerah. Dilihatnya gadis cilik yang masih dalam pelukan, dia mau berucap, tapi mulutnya tertutup kembali.
Lalu aku menoleh pada Luna lagi saat dia berkata, "Ma, menikah aja sama Papa. Kata kak Dita orang dewasa boleh menikah."
Mataku membulat, Widya terdengar batuk, dan Natha menggaruk kepala yang kuyakin ada ketombe menempel pada otaknya. Iya kan dia mau sih sama wanita yang lebih tua dari umurnya.
"Pulang, yuk!" ajak Widya mengakhiri sesi tegang antara aku dan Natha yang sedari tadi hanya saling bertukar pandangan.
Kami pulang ke kos, Natha menitipkan putri kesayangan padaku. Dia akan pulang sebentar. Tantenya menyuruh pulang karena Om akan membicarakan sesuatu.
Aku mengembuskan napas kesal mendengar dia harus menurut sama wanita yang hampir berumur setengah abad itu.
"Kamu terlalu lemah, Nat. Sampai kapanpun kalian akan terus terjebak dalam kubang yang sama. Bukankah kamu punya daya untuk melawan, tapi kamu tidak mau? Pergilah! Luna bersamaku."