Chereads / ARUNA dan NATHA / Chapter 3 - Rekan Kerja Baru (2)

Chapter 3 - Rekan Kerja Baru (2)

"Run, melongo wae." Tepukan pundak mengagetkan diri ini di depan jendela kantor. "Gue duluan ya," pamit wanita berrok pendek sepaha, ah dasar Mona centil banget.

Hari ini aku pergi sendirian, Widya ada urusan mendadak di kantor. Tumben si tante dan keponakan tidak terlihat, kan lumayan buat gosipan sama Widya. Jahat banget sih ya, tapi kalau dipikir, kok Natha mau eh eh bukan urusan diri ini. Akhirnya sampai pada belokan menuju gang sempit. Penitipan anak memang dibuat agak menjauh dari lalu lalang kendaraan. Pedoman 'Keselamatan Anak yang Utama' tetap dipegang oleh penitipan itu, makanya aku percaya.

Tibalah kaki di halaman yang tertata dengan mainan jungkat-jungkit, perosotan, ada bundaran seperti kurungan, dan seseorang yang tampaknya seperti bapak dan anak. Kacamata dibersihkan dengan ujung kain kemeja, cuma memastikan bahwa lelaki yang sedang menyuapi bocah perempuan kecil berambut panjang itu adalah bapak kepala divisi bahasa. Langkah kuperlambat menuju ayunan tempat anak perempuan itu bermain, sayang ada teriakan yang memanggil, "Bunda!!!"

Aku melambaikan tangan pada dua putraku. Mereka berlari menghampiri dan memeluk tubuh penuh peloh. "Bunda, Adik makan sendiri," cerita si sulung saat memperhatikan adiknya bermain.

"Kakak hebat ya bisa menjaga adik." Kuataskan kedua jempol untuk menghargai kerja Fani, anak pertamaku.

Sayup kudengar rengekan seorang gadis di ayunan, tepat saat mata ini mengamati kejadian, dia melihat kami yang duduk di sebuah bangku di sebuah taman kecil. Segera, badan kugeser ke arah kakak, untuk menghindari tatapan mata dari Natha, kucoba memperhatikan cerita Fani dengan saksama. Namun, gadis kecil itu tambah merengek lau menangis, membuat dua orang guru berlari menghampirinya.

Dia mencoba menenangkan gadis kecil yang sudah mendekap salah satu guru, "Bapak pulang dulu saja, nanti Luna dijemput seperti biasa." Dengan sopan salah satu guru berjilbab merah maron memohon pada Natha.

Sang papa mengalah, kedua pundak yang turun dengan lemah, dan kakinya mulai menjauhi anak semata wayang yang lebih nyaman disuapi oleh gurunya. Ketika dia melangkah keluar, kami bertemu, tubuhnya sedikit mundur saat tahu aku berada satu tempat dengannya, "Aruna?" Kupikir tadi dia sudah melihatku di taman, ternyata cuma dilirik saja. Kenapa harus sekaget itu? Natha aneh.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil mendekati dia.

"Nitipin anak gue," jawabnya ketus dan dia berlalu begitu saja.

Aku melihat lingkaran yang berdetak di pergelangan tangan kiri, "Sayang sudah hampir masuk. Bunda pamit dulu, nanti dijemput ya?" Kemudian mereka dengan sigap mencium punggung tangaku. Kedua telapak tangan mengusap rambut hitam, lalu aku melambaikan tangan pada mereka. Sabar ya sayang, ibumu akan mencari tambahan pekerjaan untuk menambal uang yang kurang.

Kaki melangkah pergi dengan berat. Beban hidup terasa mencekik dengan tabungan yang berkurang jumlahnya. Bagaimanapun, kerja tambahan menjadi perburuanku selanjutnya. Mungkin aku bisa tanya Widya atau mungkin Mona, yang penting dapat tambahan dana sementara.

///

Saat kulihat Mona duduk di kursinya, aku bertanya pada wanita yang sedang menaburkan bedak di wajah, "Mon, kamu ada info kerja tambahan nggak?"

Telunjuknya memukul meja selama tiga detik. Bibir yang seksi itu berubah ke kanan dan kiri. Akhirnya hanya gelengan kepala yang kudapat. "Tanya aja itu, Natha." Setengah berbisik jarinya menunjuk pria yang duduk dengan kaki kanan diangkat.

"Lu pikir gue tukang info loker!" protes lelaki yang sudah siap bercinta dengan naskah kembali.

"Uppsss, salah orang, Run." Mona menutup mulut dengan telapak tangan kanan.

"Husttt," ucapku dan kembali ke kursi yang berada disamping kiri Natha.

Pikiran dan hati siap memeriksa naskah yang aduhai sekali. Satu naskah ada enam bab, yang kukerjakan baru setengah, waktuku tinggal tiga hari lagi. Apa aku harus lembur? Kata si bapak judes, revisi harus dibenerin. Ini bukan revisi tapi rombak hampir 85%. Jadi, kalau dikalkulasi, aku mendapat 75 bagian dari uang yang diterima oleh penulis, walau sistem beli putus. Lumayan kan, nambahin kantong yang mulai surut.

Ketika suara angin AC yang merdu menghiasi ruangan dingin dengan aroma citrus, suara lembut ibu Kepala Editor memanggil namaku, "Aruna ke ruangan saya!"

Untuk sepersekian detik, kami para karyawan dalam satu ruangan harus menyaksikan adegan mesra antara tante dan keponakan, lalu aku bertanya pada diri sendiri 'ini sedang syuting sinetron di TV ikan terbang?' dan tiba-tiba wanita paruh baya yang tetap modis memanggil namaku sekali lagi, "Sudah siap, Aruna?"

Aku mengangguk dan menjawab, "Siap, Bu!"

Dia sudah pergi, sementara Mona memberi kode dengan suara 'sut sut, tell me'. Entah sejak kapan kami saling memberi kode yang luar biasa, aku menyatukan ibu jari dengan telunjuk membentuk huruf 'o'. Natha hanya memperhatikan dua karyawan wanita yang lebih sering bergosip tentang dia, "Cepetan!" perintah si bos dengan nada tinggi.

Ruas jari mengetuk pintu kaca hingga terdengar, "Masuk, Run!" Gugup, jujur aku hanya orang baru yang belum mengerti kenapa aku dipanggil kepala editor.

Kemudian kaki memasuki ruang sejuk dengan aroma apel. "Permisi Bu."

"Duduk! Widya sudah bilang tentang pembuatan nomor rekening? Kalo sudah bisa hubungi saya." Kata-katanya lembut persis Syahrini.

"Siap Bu," balasku dengan senyum yang paling manis.

"Saya boleh minta tolong? Apa kamu bisa memberi tambahan pelajaran untuk anak saya kelas 3 SD. Bahasa pengantarnya Inggris sementara saya sibuk bekerja." Awalnya aku kaget, hingga hanya diam, sementara ibu kepala editor menunggu jawabanku.

"Bagaimana?" tanyanya sekali lagi.

"Oug bisa Bu," jawabku.

"Bagus, sebelumnya saya sudah menawari beberapa orang tapi tidak mau. Mungkin berjodoh denganmu." Senyuman hangat menjadi penutup pertemuan singkat yang membawa berkah.

Ketika tangan mau memegang pintu, aku berbalik. "Tapi saya membawa kedua putra saya, Bu."

"It's okay." Tatapannya fokus pada lembaran kertas yang berkumpul dalam map merah muda. Aku berpamitan sekali lagi dan berterima kasih untuk satu pekerjaan tambahan, kami memang membutuhkan ini.

Langkah kaki yang ringan menandai hati sedang senang. "Eh kok ketawa sendiri?" Tangan Widya menepuk pundakku.

Kepala menoleh ke arah perempuan berkemeja merah muda. "Oiya aku pulang terlambat karena memberi les pada anak Bu Kepala Editor."

"Ketemu Natha dong ntar? Oiya ini berkas yang harus kamu bawa ke bank. Nanti aku kasih petanya. Besok kamu ngurus sendiri ya." Bibirku mengerucut mendengar penjelasan dari Widya, aku harus berputar-putar di kota sebesar ini, sendirian. "Kamu pasti bisa." Widya sudah bisa menebak kegelisahan di wajahku.

"Maksudnya ketemu Natha apa?" Sebelum memberikan penjelasan lebih, Widya sudah pergi meninggalkan rasa ingin tahu, sekali lagi.

Sampailah di ruangan editorial, dan kedatanganku disambut oleh, "Sut, disuruh ngapain?" Mona melempar bola kertas kecil ke punggung.

"Ngurus nomor rekening dan disuruh memberi les," jelasku singkat.

"Tha, ada temennya itu," celetukan Haryo hanya ditanggapi senyum kecut pada kami.

Mataku terangkat ke atas, ini kode yang ditujukan khusus untuk Mona, "Ntar lu tahu," bisiknya padahal Natha juga aku yakin mendengar kalimat dari mulut Mona.

Hah, bodolah dengan kejadian aneh bin ajaib hari ini. Tapi aku senang setidaknya ibu kepala editor berbaik hati memberikan satu pekerjaan tambahan untukku, Allah Engkau Maha Tahu.