"Iya, " jawabku.
Kembar pergi dari keributan mulut yang mereka ciptakan. Aku memandang seorang gadis kecil yang terluka. Natha gila mungkin menempatkan anak yang belum genap 10 tahun pada posisi sulit seperti ini.
Hidupku sulit, tetapi Luna, gadis kecil cantik yang mewarisi kecantikan ibunya. Em, pertanyaan selanjutnya? Kalau sudah sejauh ini, bagaimana perasaan omnya bapak kulkas itu? Tidak terbayangkan. Ya Allah, keluarga sinetron bukan, eh, aduh, aku jadi salah mau mengucapkan dengan kalimat yang benar. Padahal cuma di dalam hati saja.
"Tante kok geleng-geleng, terus?" tanya Luna.
Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin juga aku bilang, sedang berimajinasi tentang kamu, Lun. Iya, kan.
"Luna, kamu mau Papa gendong?" pinta Natha
Si kecil masih berpegangan tanganku. Gelengan kepala dari anaknya membuat tubuh bapak divisi bahasa makin lemas.
"Tante gendong." Kedua tangan Luna siap diangkat oleh diriku.
Mau tertawa sebenarnya, cuma masih aku tahan. Muka Natha yang langsung merah karena menahan kesal kepadaku. Ini bocah tahu saja cara membalas papanya sendiri.
Kami kembali ke ruang tamu, Luna asyik di pangkuan sedangkan papanya menatap kami lekat. Entah apa yang ada di dalam otak pria bertubuh tinggi itu. Tidak lama kemudian, ibu kepala editor datang bersama seorang pria tua di kursi roda, dua kembar, dan laki-laki yang menyeret Natha ketika aku tiba tadi.
"Tha, Om priksa dulu, kata tantemu mau mengantar Miss Aruna." Lengkungan manis tergores di wajah omnya Natha.
Natha melirik padaku, "Iya, Om. Luna ikut bersama kami."
"Hati-hati." Mereka semua sudah keluar rumah, ya kecuali satu orang dengan dres panjang mendekati Natha. Wanita yang memakai jaket ungu tersebut masih sempat berbisik kepada Natha. Luna hanya melirik sebal pada papanya.
"Ma cepetan!" Sandi kembali di balik pintu utama rumah besar ini.
Ibu kepala editor berpamitan kepadaku. Mengecup kening Luna dan menutup pintu dengan hati-hati. Luna tampak senang bermain denganku sementara mata Natha masih menatap kami, seolah aku ini pencuri perhatian anak satu-satunya.
///
Kami bertiga menyusuri jalanan yang masih ramai dengan keributan suara klakson. Tangan Natha memukul bagian tengah setang bundar, "Nat, sabar!" bentakku. Dia menghela napas, punggungnya bersender pada jok mobil. Bisa juga aku bersuara tinggi kepada kepala divisi, jangan-jangan besok dia balas dendam.
Kututup muka dengan kedua telapak tangan, Luna hampir jatuh tapi tangan ini masih sempat memegang tubuh kecilnya. "Ati-ati bisa nggak sih?" Suara Natha melengking sembari mengelus rambut putrinya.
"Maaf, Nat," lirihku pada pria dengan mata besar di samping, Luna semakin erat dalam pelukan. Tidak berselang lama, kedua mata Luna tertutup seiring tubuh lelah ingin beristirahat. Gadis kecil ini, begitu halus perasaannya mirip sama Jiyo, anak keduaku.
Akhirnya kami sampai, mataku melirik ke arah bocah yang masih dalam pelukan, "Ada pa sih?" tanya bapak kulkas. Duh Natha, dia itu bodoh atau memang kurang vitamin.
"Anak siapa ini?" Telunjukku ke bawah, matanya mengekor tanpa mampu berkata lagi. Dia turun kemudian membuka pintu di sebelah kiriku.
"Ayo, Luna kita pulang," ajak si papa dengan nada lembut. Sayang, si tuan putri kecil mulai mengeluarkan teriakan yang artinya dia tidak mau pergi dari dekapan badanku. "Lun, Tante Aruna mau pulang."
Seketika mata bulatnya terbuka, "Aku tidur sama Mama aja ya." Jemari kecil nan lentik menggaruk leher dengan santainya.
"Mama?" Bersamaan, dua mulut menyuarakan satu kata, kami bertatapan lalu menatap bocah yang hanya melukiskan satu goresan di wajah putih dengan menampilkan gigi ompong di depan.
"Aku suka tante." Satu kecupan mendarat di pipi, kaget sekaligus bahagia mendapat ciuman dari malaikat kecil. "Pa aku tidur di tempat Mama ya, please!" Bibirnya maju ke depan, aku tidak mampu menahan suara cekikikan melihat tingkah si kecil.
"Kita pulang!" ajak Natha sekali lagi. Tangannya siap menerima badan Luna.
"Nggak mau!" rengek putri kecil disusul suara tangis yang hampir pecah, sebelum Luna melepaskan teriakan, Natha mengiyakan permintaan putri semata wayangnya.
"Jangan nakal! Besok Papa jemput pagi hari, okay." Dua kelingking yang berbeda ukuran saling bertautan, Natha mencium kening anak perempuan yang tercinta.
Akhirnya si papa merelakan anaknya tidur di tempatku, Widya keluar dari balik pintu besi, "Baru pulang Run?" tanyanya. Matanya tidak bisa lepas tatkala Luna turun bersamaku, "Run, jangan cari masalah deh!"
Natha yang mendengar perkataan Widya, "Maksud lu?" Nadanya tinggi, hampir mereka membawa segerombolan peronda yang berada di pos dekat tikungan ketika tanganku memegang lengan si bapak judes.
"Wid, nanti aku jelaskan." Mataku memberi kode agar dia kembali ke kamar. "Luna bersamaku malam ini, tenanglah. Pulang sana!" Aku sudah tidak mau tahu sikap apa yang akan ditunjukkan oleh Natha, telapak tangan kukibaskan pada pria yang masih berdiri.
"Lu ngusir gue!" bentaknya yang membuat diri ini mengepalkan kelima jari kanan.
"Mang mau nginep?" tanyaku tidak kalah nyolot dengan suara tinggi yang keluar dari tenggorokan.
"Please hanya malam ini, gue males balik ke sana," bisiknya, mata sayu dengan tatapan memohon tidak dapat kutolak.
Pintu pagar kukunci, ternyata Widya masih berada di balik jejeran besi bercat hitam, "Run, ngapain ikut campur urusan dia. Kamu tahu kan, kita ... Hah." Napasnya keluar dengan kasar. "Dia, dia itu ... Dia kan ...." Kepalanya menunduk sebelum satu kalimat terdengar oleh kami, "Kamu tahu kan, dia itu siapa? Aku nggak mau berurusan dengan Dila! Mereka berdua itu sinting, dan Dila. Dia bisa berbuat apapun kalau tahu kamu sama ...."
"Maksudnya? Hanya malam ini Wid, hanya malam ini. Kasihan Luna, dia ...," Wajah Luna terangkat ke atas, "Dia butuh...." Tangan kecil gadis di sampingku terangkat ke atas. Aku mendekapnya untuk sekian kali hari ini, hati ini sesak melihat nasib seorang bocah kecil harus menanggung perbuatan orang tuanya.
"Urusan kita sama dia cuma pekerjaan, nggak lebih." Widya menatap Natha yang hanya bergeming di tempatnya, dia bahkan tidak membuka satu katapun untuk menenangkan situasi malam ini.
Makin erat tangan ini memeluk Luna, dia sudah kembali ke alam mimpi. Aku dan Widya tidur satu ruangan, sementara Natha berada di kamarku. Anak-anak telah terlelap setelah bermain dengan Sarah. Sungguh, pikiran ini tidak mengerti maksud Widya, dan ibu kepala editor, mau apa dia? Aku kan hanya menemani anak perempuan ini.
Malam ini, banyak sekali pertanyaan yang ingin keluar dari mulut. Namun, ponsel pintarku hampir terjatuh saat membuka pesan WA
(Run, dia milikku. Jangan pernah mendekatinya!).
Mulutku terbuka ketika membaca isi pesan, bahkan kenal Natha pun baru beberapa hari, tidak ada di dalam otakku yang sering eror ini untuk menyukai lelaki dingin dan terkenal judes itu.
(Maaf, Bu. Luna yang meminta tidur di tempat saya dan Natha, kami hanya rekan kerja)
Satu balasan untu pesan dari Dila.
(Saya harap juga begitu)
Kucoba menutup mata, tapi pikiranku masih berputar tentang Natha.