Chereads / Love at The End of Spring / Chapter 37 - Tiga Puluh Enam

Chapter 37 - Tiga Puluh Enam

Bahu Rey menyapu bahu Kazura, untuk kedua kalinya hari itu. Suara sepatu bot yang menyeberang air berkecipak di belakang Kazura, perlahan-lahan menjauh. Air hujan masuk ke sela-sela pakaian dan tas Kazura merendam segalanya hingga basah kuyup.

Kazura berdiri di sana. Setelah beberapa lama, ia mendapati dirinya terisak dan menangis. Yang terlihat dari matanya yang berair hanya kuntum-kuntum merah dari bunga mawar di hadapannya.

Kenzo menutup ponselnya. Itu adalah kedua kalinya ia menerima telepon mengenai Kazura hari itu. Pertama kali Pak Guru Hinoto mengeluh dan mengadu padanya tentang bagaimana Uzuki Kazura mengubah setiap nilai mata pelajarannya yang baik menjadi kacau, termenung di setiap pelajaran, dan akhir-akhir ini bermain-main di Kabukicho. Tidak satu pun dari hal itu bisa di bantah Kenzo. Ia sendiri tahu apa sebabnya, tetapi ia tidak bisa mencegahnya. Menemui dan bergaul dengan Izumi Rey adalah pilihan Kazura, pilihan seorang wanita yang kini bisa di bilang telah dewasa.

Orang yang kedua adalah ayahnya Yoshimitsu Arashi akhirnya cukup kuat untuk bicara di telepon.

"Pindah ke sini... Sudah waktunya. Sudah terlalu banyak waktu yang berlalu dan aku sudah terlalu tua. Apa yang ku takutkan kini telah tiada... Mereka tidak bisa mendapatkan sesuatu apa pun dari kakek tua yang tidak punya apa-apa. Tidak ada alasan untuk tidak berkumpul lagi dengan mu dan Kazura. Keadaan telah aman, untuk sejauh itu aku sudah tahu."

Kenzo mendesah, Suara ayahnya terdengar gemetaran dan lemah, tetapi ia masih memiliki kekuatan itu di dalamnya, kekuatan yang membuat Kenzo, seperti siapa pun juga, tunduk ke padanya. "Saya akan mengurus kepindahan kami secepatnya."

"Jangan terburu-buru, aku tidak akan mati sebelum kau sampai di sini." Suara di seberang sana berakta lagi. "Naoto, menjaga ku dengan sangat baik... Pastikan kau mengurus segalanya untuk kepindahan tetap kemari, tentang perusahaan... Kau tidak usah khawatir."

Kenzo mengiyakan, lalu terdiam. Tidak ada yang memutus sambungan telepon hingga Kenzo berkata lagi "...Kazura... Menemui Izumi Rey. Ia... berhubungan dengannya, dan saya tidak tahu apa-apa tentang itu. Maafkan saya."

"Ah.." adalah respon pendek dari ayahnya.

"Apa saya perlu melakukan sesuatu tentang hal itu?"

"Tidak," jawabnya, "Bukan kah kau dan Kazura juga akan segera pindah kemari?"

Kenzo mengangguk, tidak membuat suara apa pun yang bisa tertangkap di ujung telepon, tetapi ia tahu Ayahnya mengerti.

"Aku tahu aku pernah mengatakan bahwa ia adalah adik mu." Kata ayahnya, di iringi batuk-batuk kecil, "...Namun, tidak ada pria yang lebih ku percayai untuk Kazura selain diri mu."

Kenzo terpaku mendengar kata-kata itu. Itu adalah hal baru yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

Kenzo meletakkan ponsel di hadapannya mendesah panjang. Tengah malam kazura belum pulang. Makan malam buatannya telah mendingin di atas meja. Kenzo menatap ke layar ponselnya. Ia tahu Kazura adalah wanita yang kini sudah dewasa, dan bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi, ia tetap ingin menekan tombol-tombolnya dan menanyakan keberadaannya. Lamunannya terpecahkan dengan suara pintu yang terbuka tiba-tiba.

Kenzo tidak menyangka ia akan melihat Kazura dengan keadaan seperti itu. Sekali lihat Kenzo tahu Kazura baru saja tersiram sesuatu, dan membiarkannya mengering lagi setelah waktu yang panjang terlewati.

Kazura terduduk di tanjakan dekat ambang pintu. Kakinya yang terbalut kaos kaki lembab menginjak sepatunya yang kotor. Rambutnya yang hitam terlihat basah pada ujung-ujungnya. Ia tidak bergerak, wajahnya terbenam di dalam kedua tangannya yang kini putih pucat. Punggung Kazura bergetar pelan lalu ia mulai terisak.

Sebagai orang yang bertanggung jawab atasnya, sebagai perlindungannya, seharusnya Kenzo bertanya kepadanya dengan suara tinggi, menginterogasinya mengapa ia baru pulang selarut ini dengan keadaan seperti itu. Ia seharusnya berlari ke arahnya dan bertanya dengan panik apa yang telah terjadi. Namun, ia hanya berjalan pelan, memeluknya dari belakang penuh kasih sayang. Ia tidak berkata apa-apa untuk waktu yang sangat lama.

Kemudian, ia membawa Kazura bangkit setelah isakannya mereda, mengirinya menuju kamar mandi. Ia mengambilkan piama dan handuk kering, bahkan mengambilkan baju dalam untuknya. Ia membantu menyalakan air hangat untuk mandi. Sepanjang waktu, matanya tidak meninggalkan wajah kosong Kazura.

Jemari Kazura mencengkeram bagian depan kau tidur Kenzo. Wajahnya terbenam di dalam dada. Kenzo menopang Kazura di tangannya, berusaha memindahkan Kazura yang tertidur ke kamarnya, tapi tampaknya Kazura sebenarnya tidak tidur sama sekali. Tangan Kazura meminta Kenzo untuk tetap tinggal, bahkan setelah ia meletakkan tubuh Kazura di atas kasur. Kenzo menurut, menyelimutinya dan mengapitkan termometer pada ketiak Kazura.

"Apa kau sudah cukup kuat untuk menceritakan semuanya kepada ku?" Kenzo terduduk di atas ranjang, ada tanya dalam senyumnya.

Namun, senyum itu tidak bertahan lama, apa lagi setelah mendengar jawaban Kazura. Kenzi walau pun berhubungan dekat dengan Arashi, ia tidak tahu mengapa Arashi merahasiakan dirinya dari Kazura. Kenzo juga tidak tahu mengapa Arashi membuat ia memanggilnya Ayah. Ia hanya bisa meraba-raba dalam gelap, tapi itu pun tidak berani di lakukannya. Bagi Kenzo, sudah cukup ia bisa melewati hari-hari bahagia dengan Kazura.

"Ia bilang... aku lahir berdosa. Ia begitu telah membenci ku, bahkan ketika aku masih dalam kandungan..."

"Kazura..." Kenzo berkata setelah keheningan sesaat. Tidak mudah memilih kata-kata yang tepat, tapi akhirnya ia merasa telah menemukannya, "Apa kau tahu tentang salah satu ingatan yang masih segar dalam benak ku?"

Kazura diam, menunggu Kenzo melanjutkan kata-katanya.

"Aku mendapati diriku berdiri di samping ayah.... Aku berjinjit, tangan ku menempel di kaca di hadapan ku, meninggalkan bekas di sana. Di balik kaca itu ada kau, berjuang keras untuk masuk ke dunia ini. Kau lahir prematur, Kazura, kau terlihat sulit untuk tetap bernapas, tapi kau tetap berjuang...."

Kazura mendengarkan setiap kata-kata lembut Kenzo, tangannya di genggam hangat oleh Kenzo.

"....Kau berjuang... dan berjuang... Jika suster tidak mengusirku karena waktu kunjungan sudah habis mungkin aku akan berdiri di sana dan menatap mu sepanjang waktu. Lalu aku pergi dari sana dengan satu pikiran dalam benak ku, 'kuat sekali bayi itu, berjuang seperti itu!' dan itu membuatku ikut semangat. Orang tuaku baru meninggal enam bulan sebelumnya, dunia ku runtuh. Kemudian Ayah, Ayah-ku yang sekarang datang. Kau bertahan hidup maka aku pun terus berjuang."

Setiap kata Kenzo membuat Kazura bangkit dan memeluk Kenzo erat. Ia lupa kenyataan bahwa Kenzo tengah memberi tahunya banyak hal. Kenzo tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana mereka meninggal. Ia tahu orang yang selama ini ia panggil dengan Ayah, bukanlah ayah kandungnya.

"Kau lahir penuh harapan dan kau memberiku sedikit harapan itu." Kenzo berkata, menepuk-nepuk punggung Kazura. "Mereka bilang bayi hanya bisa menangis dan makan, tapi kau... mengubahku dengan cara terkecil mu."

Termometer yang terjatuh dari ketiak Kazura tergeletak di atas kasur. Kenzo yang masih di peluk Kazura mengangkatnya, memperhatikan tinggi merkuri di dalam tabungnya, lalu mendesah. Tampaknya ia harus menjaga gadis yang demam itu seharian hari Minggu besok.

Kazura mengangkat lap kompres dari dahinya. Sayup-sayup dari balik pintu kamarnya, ia bisa mendengar Kenzo berbicara dengan nada datar, mengurus sesuatu lewat telepon. Seluruh badan Kazura terasa lengket dan basah. Ia berkeringat banyak malam kemarin. Ia merasa jauh lebih baik sekarang.