Tujuh, delapan, sembilan...
Kazura tidak tahu mengapa ia tidak bisa berhenti memikirkan Rey, yang mungkin telah melupakannya kini. Mereka bilang orang yang menyukai hal yang tidak mereka punya. Seperti magnet.
Sepuluh...
"Uzuki Kazura!"
Kazura tersentak berdiri mendengar namanya di panggil. Seisi kelas menatap Kazura. Arata yang duduk di ujung ruangan menggigit bibirnya, menyorotkan semua kekhawatirannya. Sekali pandang kepada Pak Guru Hinoto, siapa pun tahu Kazura sedang dalam masalah besar.
"Kau pikir ini di mana? Apa ada Godzila di luar sana sehingga kau menatap ke luar jendela sepanjang waktu?" Pak Guru Hinoto membentak keras. Ia menghela napas panjang dan menambahkan, sebelum Kazura bisa menjawab apa pun juga, "Datang ke ruang guru sepulang sekolah, ada yang harus di bicarakan dengan mu."
Kazura berlari, dan ketika napasnya telah habis ia masih berjalan dengan sangat cepat. Dia pulang lebih awal dari hari Sabtu, matahari masih tinggi di atas kepala. Udara yang seharusnya sejuk-sejuk dingin terasa tidak mengenakkan karena bercampur dengan tetesan keringat.
Mungkin, kini Pk Guru Hinoto sedang menghubungi Kenzo. Saat ini, ia tidak ingin tahu hal buruk apa yang sedang terjadi lagi. Ia sudah cukup mendapatkan kritikan dan omel di dalam ruang guru tadi tidak ada hal lain yang Kazura ingin kan selain berada di depan apartemen 202, mengetuk pintunya keras-keras. Ia ingin bertemu Izumi Rey.
Namun, kini ketika Rey telah beberapa langkah di hadapannya, sedang menutup dan mengunci pintu rumahnya. Kazura malah terpaku. Setelah berlari dan menaiki tangga dengan sangat cepat napasnya terputus dan tidak beraturan. Ia mendongak dan mata mereka bertemu, dan hal itu terjadi lagi.
Mereka bertatapan dan kontak mata itu tidak terlepas. Detik-detik terbuang walau mereka tidak menyadarinya sehingga segalanya berlalu. Untuk sesaat yang terdengar hanya napas Kazura yang beradu.
"Mengapa kau di sini?" Kata-kata dingin yang keluar dari mulut Rey, menghancurkan semua kerinduan yang terpancar pada kontak matanya.
"Mengapa?" Kazura bangkit dan menyamakan tinggi tatapannya dengan milik Rey. "Mengapa berusaha begini keras menyingkirkan ku? Membuatku menunggu mu sia-sia kemarin. Berharap kau datang menjemputku... Kau juga yang menelepon sekolah ku dan melaporkan kedatangan ku ke bar mu, bukan? Kau ingin aku dapat masalah dan menjadi jera menemui mu? Begitu kah?"
Rey melempar pandangannya ke samping, menatap bangunan-bangunan tetangganya dari lantai dua. Walau pun alisnya berkerut dan napasnya di hela, bukan kecemasan atau kekhawatiran yang ada di sana. Murni rasa terganggu. Perilakunya dingin, tetapi pada akhirnya Rey tetap menjawab.
"Kalau kau tahu sejauh itu, seharusnya kau juga mengerti aku memang tidak menginginkan mu di sekitarku."
"Aku tidak merasa kau membenciku, itu lah mengapa aku menanyakan ini kepada mu." Kazura bertanya, suaranya lemah dan bergetar, tetapi ia maju beberapa langkah mendekat ke arah Rey. ".... Mengapa.?"
"Aku juga bisa bertanya, Mengapa?!" Rey hampir berteriak. "Mengapa harus aku yang kau paksa dan bukan orang lain. Kenapa masih memaksa ku ketika aku jelas-jelas tidak menginginkan mu?!"
Kazura melempar pandangannya ke bawah. Rey mengenakan sepatu olahraga,c elana jeans, dengan tas punggung... ia akan pergi?
"Karena ku pikir kau merasakan hal yang sama dengan ku." Kazura berkata, tiba-tiba saja begitu banyak air mata mengumpul di ujung-ujung matanya "Ku pikir kau menegrti betapa besar keinginan ku untuk bersamamu—."
"..—Karena segala omong kosong yang kau katakan tentang 'kakak tiri itu.?"
"Apa itu benar-benar omong kosong?"
Mereka berpandangan lagi, kali ini dengan agak berbeda. Tidak ada hal yang menyatu di antara mereka. Mereka berpandangan, bertanya-tanya apa yang di inginkan orang di hadapan mereka. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka ingin kan.
"Bukan kah kau mengatakan akan mengubahku?" Kazura berkata lagi, suaranya di sertai isakan. "Mengubahku, hingga Kenzo-nii tidak mengenali ku lagi?"
Rey terhenti dan menatap Kazura. Ia mengingatnya, kata-kata itu. Namun, ia tidak menghiraukannya dan berjalan melewati Kazura, bahu mereka menyapu satu sama lain. Sepatu bot Rey membuat suara entakan pelan seraya dirinya menuruni tangga di belakang Kazura.
Kazura mengira suara itu akan terus menjauh hingga pada akhirnya ia tidak bisa melihat sosok Rey lagi, tetapi tiba-tiba saja langkah Rey terhenti. Tanpa menoleh ke belakang Rey berkata. "Aku bisa mengubah mu begitu banyak hanya dengan mempertemukan mu dnegan Ayah... mengubahmu hingga kau akan membenci diri mu sendiri.."
Dari tempat Kazura berdiri, hanya setengah dari wajah Rey yang terlihat. Mendengar kata-kata terakhirnya Kazura serasa membeku. Ia berkata ragu-ragu, "Ia di...Bali?"
"Ia tidak pernah kembali ke sana lagi semenjak ibu mu meninggalkannya. Ia masih di jepang. Sangat dekat dengan Tokyo. Aku akan menemuinya sekarang." Rey berkata lagi. "Apa kau mau ikut Uzuki Kazura?"
Kazura tidak menjawab. Hal berikutnya yang ia tahu. Ia sudah duduk di kereta. Baru kali ini ia pergi ke kota lain dengan baju seragam yang lusuh bekas keringat. Tas sekolahnya tergeletak di sampingnya, pemandangan bergulir cepat dari jendela di sebelah kanannya. Kereta saat itu masih kosong. Dia adan Rey tidak duduk bersebelahan.
Kazura bertanya-tanya dalam hati apa yang menunggunya di pulau kecil Enoshima yang mereka tuju. Perjalanan ke selatan itu terasa panjang karena keheningan dan atmosfer yang tidak mengenakkan.
Mungkin inilah yang selama ini Kazura tunggu-tunggu dalam hubungannya dengan Izumi Rey. Sebuah perjalanan saat ia duduk di kereta. Menunggu di pertemukan dengan 'Ayah'. Sebuah perjalanan saat di ujungnya, ia akan menemukan apa yang ia cari kebenaran tentang masa lalunya.
Namun, dalam bayangan Kazura. Ia akan duduk di samping Rey dan bercerita tentang hidupnya selama Rey tidak ada. Ia akan tersenyum kepadanya dan memanggilnya kakak, hanya karena ia memang benar-benar kakaknya. Mereka kemudian akan menjadi seakrab Kazura dan Kenzo. Kazura akan membuatkannya bekal, di ajarinya beberapa cara membuat cocktail, membuat Rey tertawa lepas. Kazura pikir ada potongan kehidupan yang tidak ia tahu menunggunya di depan sana, dari arah Rey datang. Namun, ia tidak mendapatkannya.
Sesekali Kazura melempar pandangan ke pada Rey yang duduk beberapa kursi di seberangnya. Rey menatap kosong ke kursi di depannya. Entah mengapa Kazura jadi merasa tidak mampu menghilangkan kilatan kesepian itu dari mata Rey.
Kazura menapakkan kakinya di tanah dan melihat ke sekelilingnya. Ia seperi berada di sana untuk berlibur, dengan toko suvenir dan hotel di sekelilingnya. Ia juga melihat kuil Enoshima. Rey berhenti untuk membeli seikat bunga mawar merah di toko bunga yang mereka lewati, tetapi selain itu, ia tidak berhenti.
Rey sama sekali tidak mengacuhkan fakta bahwa mereka sedang berada di pantai.