Chereads / Lembar Cahaya / Chapter 3 - Lembar III

Chapter 3 - Lembar III

Selimut senja mulai menggelayut membentangkan cahaya merah nya, tabir malam perlahan merengkuh Angin mengajak berkelana, dari ujung gang kecil hingga puncak gedung bertingkat. menghalau botol plastik mineral yang berlari tunggang langgang di sepanjang bahu jalan, tanpa suara dilirik orang lalu lalang sejenak ada yang tertegun membayangkan sesuatu yang berbau mistik, memainkan dedaunan ranting pohon satu dua gugur daun kecoklatan menghela nafas dan jatuh ke bumi, jalanan kota palembang tetap hiruk pikuk mamang becak meringkuk didalam becak nya kulit keriput tua menandakan usia yang tak muda lagi angin malam yang lembut, menusuk tulang-tulang membuat si tua itu mengeluh. sedikit demi sedikit jejak gerimis mengharuskannya untuk semakin merapatkan selimut dari kain sarung usang, menurunkan tirai becak dan membuat nya serapat mungkin agar air tidak masuk untuk kemudian membuat kuyup.

Aila memandangi hujan yang mulai deras dibalik jendela kamar indekost nya, kontakan berbentuk bedeng memanjang terletak hampir ditengah pusat kota masuk ke lorong sempit disamping Showroom Toyota. Hujan semakin menggila, membasahi bumi membuat teras rendah itu mulai terendam, rintiknya berbondong-bondong menimpa atap seng dan warung-warung makan didepan kontrakan, Alunan suaranya teratur terasa syahdu. satu dua orang masih duduk diwarung menyelusup kopi hitam dan ada juga yang tengah menikmati mie instan, membuat perut ikut berdendang.

Aila semakin menyibak tirai lalu membuatnya menjadi simpul, sayang jika tidak menikmati hujan menatap penuh rasa melow, ditariknya kursi untuk kemudian termangu dengan pandangan keluar, angan berkecamuk dalam fikiran

ingin pergi dari kehidupan kekasihnya, melepas semua rasa sakit, marah, benci dan jijik tapi semua angan itu bagaikan benalu dilehernya.

Aila gusar, beranjak dari kursi melintasi ruang tamu yang kecil. di sudut kanan ada rak kayu wadah sepatu kuliah nya berjejer dengan meja belajar tak lupa leptop masih dalam keadaan menyala, tertulis jelas di dalamnya BAB I, entah sampai kapan tetap seperti itu.jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. diraihnya ponsel tergeletak diatas meja tepat disamping layar segi empat menyala tadi Orang yang ditunggu nya sedari tadi belum juga mengirim pesan

'Abib...' dengusnya kesal, terbayang adegan yang membuat nya panas, si Anna mantan pacar Frand tengah berpelukan di atas motor, ditambah guyuran hujan pasti romantis sekali, Nyuttt dada Aila terasa sakit segera ditepis nya jauh-jauh walaupun dia tau itu pasti terjadi, dan matanya basah....

Aila kembali duduk di kursi tadi, rasanya hidup hilang gairah, resah matanya menatap kosong kedepan, Yuricha belum pulang pula dari bimbingan skripsi membuat keadaan bertambah sunyi.

kemudian ia kembali beranjak dari kursi, mengambil selembar kertas diatas meja dan pena seperti biasa akan ada yang tertuang didalamnya

palembang, hujan yang sedih

...*Dipasung sunyi...

malam ini duka

Rembulan mengasingkan diri dari tatapan malam

kecewa

cahayanya yang kalau itu purnama

dibalas dengan lolongan srigala

jadi buat apa kubawa tangisku

yang airmatanya tak buatku tau

aku bukan bidadari mu

ku ingin singkirkan ratapan yang isinya

menikamku

jauh dari mataku

aku muak

aku benci ini,

wajahmu itu membelenggu ku

menjadikanmu raja mahkota hatiku

tapi kamu terlanjur memotong nya

kesediaan ku menerimamu apa adanya

kau singkirkan, kau terjang hingga ku

berdarah

lihat, lihat, lihat luka ku

menganga tak kau hirau

sejak kini hatiku dipasung sunyi,

ku biarkan saja, kubiarkan pasungnya mengekangku

sayangmu

cintamu

yang sering kau bilang padaku

tak nampak walau hembusan debu

PEMBOHONG*

Secarik kertas sudah penuh dengan amarah yang menjelma dalam bentuk rentetan kata menjelma dengan sebutan puisi...

'Aku pulang! ' Assalamualaikum... seorang gadis bertubuh agak tambun masuk dalam keadaan basah kuyup,

'Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..

Aila tersenyum menyambut teman sekamar nya yang super menyebalkan sekain Franz, walaupun begitu aila tetap berusaha baik, ada rasa iba melihatnya menggigil segera di ambilkan nya handuk

'Aku boleh mandi air hangat la? ' pinta nya mengiba

'boleh, rebus sendiri yaa, ' aila tersenyum melihatnya yang hampir membeku

Aila kembali berkutat dengan ponselnya, menatap gusar sesekali dilirik nya jam dan jam pun seolah ikut melirik membaca hati nya, dia jengah ingin sekali ia mengakhiri hubungan menyakitkan ini tapi andai waktu bisa di berulang mungkin kejadian naas itu tidak akan terjadi,

pikiran nya melayang mengingat kejadian bodoh itu

***

siang itu dikontrakan, sunyi sepi lengang sepasang anak manusia tengah sibuk menyelesaikan tugas mata kuliah mereka, di awal tiada yang salah mereka asik berkutat dengan tugas

setelah tugas selesai, mereka bercengkrama lalu kendali itu hilang tanpa halangan, diluar gerimis mulai turun hawa dingin menyelusup satu demi satu bentar tertanggal hingga waktu usai menyertakan kesadaran

'Bib, apa yang sudah kita lakukan... ' ratap nya pilu, layu sudah dirinya bak gadis sudah menjanda tiada suami namun tak suci lagi

'sudahlah, lagian kan kita pasti nikah karena kamu itu ku pacari untuk ku nikahi bukan ku permainkan' ujar Franz dengan tegas bicara tanpa menatap Aila, Aila ragu dengan janji laki-laki karena dia sadar tak ada kalimat yang bisa akekal abadi dan terbukti, Franz memanglah setia, tak pernah mendua meskipun tetap akrab dengan mantan nya bahkan dengan banyak wanita yang lain dia juga cukup dekat seperti HTS (hubungan tanpa status). Bulir bening itu menetes bersama deru hujan

'Abib minta maaf nduk, abib khilaf sudah yaa jangan nangis lagi... maaf' Franz memohon dihadapan kekasihnya, lalu memeluk dengan penuh kasih

Aila merasakan pelukan itu hangat terasa tentram didalamnya,

'janji jangan tinggali aku? ' Mohon aila mengiba

Franz tersenyum dan mengecup kening Aila lembut,

'I Love You... ' ujarnya sembari menatap netra bening berkaca itu

Aila luluh, mengangguk penuh percaya kepada pemuda terkasih dihadapan nya

sampai akhirnya semua berubah, Franz memang tetap bersama nya, tetap komitmen namun sikap nya menjadi-jadi, hingga membuat Aila semakin tak tahan dan ingin pergi melepaskan hubungan menyakitkan ini namun harus dengan cara apa melepaskan diri dari belenggu kesalahan bersama

***

Mata itu terus menatap kaca, mengais-ngais air yang menempel diluarnya tak tersntuh dan tentu tak mungkin bisa membasahi jari-jari mungilnya

'Aku tadi lihat Franz boncengan dengan anna, keluar kampus disorakin sama temen-temen pula' suara yurica berhasil mengagetkan nya sekaligus menghujam dalam di jantung

'ohh, baru pulang ya mereka,' sahut ku acuh tak acuh

Yuricha perlahan mendekatiku dan menatap penuh selidik seperti detektif bertubuh cilik dalam cerita anime bedanya yang ini bertubuh tambun hahaha

'kamu gak cemburu la? ' seperti ada kecemasan dibalik suaranya

Aila tersenyum lebar dan dibuat sebaik mungkin,

'yang penting Franz itu pacarku, punyaku, calon suami ku, calon bapak dari anak-anak ku' sahut ku dengan expresi senatural mungkin tanpa ada temor disetiap kata maupun bahasa tubuh,

Yuricha menghela nafas berat serayan berujar

'Sak karep mu la, asal kamu bahagia.... meskipun aku aja nyesek liat Franz boncengan sama wedok lain, mak nyuuuut gitu rasanya'

Aila nyengir kuda, tak ada kalimat balasan untuk menjawab apa yang dikatakan temannya

perlahan matanya kembali menatap kaca jendela, masih disiram air hujan tanpa henti seperti mata elang yang sedari tadi masih menatap nya dari dalam warung yuk ning tiyas, mata itu tiada berpaling sedetik pun sembari jarinya memegang segelas kopi hitam, pemuda manis itu terus menatap nya seolah yang nun disebrang adalah tontonan paling menarik sepanjang masa...