Chereads / Ksatria Kegelapan Abadi / Chapter 2 - BAB I Pelelap Muda

Chapter 2 - BAB I Pelelap Muda

Silaunya mentari, ... indahnya rembulan, ... riuhnya rerumputan, ... tenangnya lautan. Aku selalu terbayang-bayang pada negeri jauh saat mataku terpejam. Bayangan yang begitu jelas yang bahkan lebih jelas dari mimpi, yang biasa orang lain mimpikan saat malam. Begitu nyata seakan indraku benar-benar bersentuhan dengan esensi alam yang kaya. Berlayar dalam angin, bergetar dalam gempa, seakan aku benar-benar bagian dari alam tersebut. Selama mataku menyambung malam, pemandangan-pemandangan itu selalu melekat di pengelihatanku, hingga aku bangun lagi di ke esokan paginya.

Tak seperti bunga tidur yang tak benar-benar terjadi. Terkadang apa yang sedang kulihat dan kualami di malamku terlelap, benar-benar terjadi di suatu tempat. Seakan roh ku berada di tempat yang kulihat, tak jarang berita tentang beberapa kejadian yang kulihat, beberapa hari kemudian sampai ke telingaku. Terlebih bila kejadian yang kulihat adalah kejadian pilu, atau bahkan kekejaman ... seperti halnya malam ini.

"Darah ..." Kurasakan bibirku bergerak dari apa yang sedang kulihat. "Pedang, ... teriakan, ... tangisan, ... Ayah?" Lantun lidahku pun jelas kudengar, meski mataku lekat terpejam. Pemandangan yang mengerikan itu tak henti—henti memperlihatkan dirinya, tak bisa ku tolak, dan tak bisa kupilih. Seakan aku hanya boleh menerima apapun itu, tanpa bisa mengelak. Lalu ... "Morien!!"

Ibu membangunkanku dengan mengguncang pundakku. Memaksa diriku pun tersentak kembali pada bilik kamarku yang bergaya timur tengah.

Maghreb, 533 Anno Domini.

"Nak, kau tak papa?" Kembali sambung Ibuku dengan wajah khawatir. Kedua tangan Ibu memegang pipiku, membuat pandanganku selaras padanya. Kulihat pun kantung mata menghitam, dikulit hitam yang saat ini menjadi terlihat sedikit lebih terang.

Kendati lelahnya tersebut, Ibu masih sempat untuk mengkhawatirkan diriku. Sedikit bersalah aku dibuatnya. Yangmana tentu sebenarnya aku tak ingin membuat Ibuku khawatir. Terlebih mengingat beban berat yang ia tanggung sebagai seorang ratu tanpa raja. Ratu dari kerajaan bangsa Moor yang wilayahnya menghampar di seluas bagian utara benua Afrika. Sedangkan aku, tentulah aku seorang pangeran. Pangeran yang tak bisa naik tahta. Bahkan setelah kakekku meninggal beberapa tahun lalu.

Hal itu dikarenakan Ayahku tak ada di negeri ini, untuk mewarisi tahta yang ditinggalkan Kakek. Sehingga terpaksa pun Ibuku yang merupakan putri dari Kakek ku, mengisi kekosongan kekuasaan sebagai sang Ratu tanpa Raja. Status berat yang harus dipertahankan demi rakyatnya. Meskipun para mentri dan pegawai kerajaan mendukung Ibu secara penuh. Namun, tetaplah tugas memimpin negeri merupakan tugas yang berat untuk diemban.

Kuletakan pun tangan kananku pada pipi Ibu. Lalu berucap pelan pun aku untuk menenangkannya, "Aku tak apa, Bu. Ibu tak perlu terus mengkhawatirkanku yang sudah besar ini! Terlebih, Ibu sendiri sudah banyak dilelahkan oleh urusan kerajaan. ... andai saja aku dapat segera menjadi Raja!"

"Kau tak perlu mengkhawatirkan Ibu, Morien. Ibu tak papa! Yang lebih penting ..."

"Ya, ..." Kupotong pun kata-kata Ibu, karena aku sudah dapat menduga akan apa yang hendak ia utarakan. Lalu, kulanjutkan pun penjelasanku. "Aku melihatnya lagi. Sepertinya desa orang kulit putih di dekat pantai Welsh lagi."

"Lalu? ..."

Sedikit membesar pupil Ibuku pada pertanyaannya. Menghendaki harapan pada jawabanku. Tetapi kali ini pun, aku tak bisa memberikan jawaban yang Ibu inginkan. Maka tertunduk pun aku kesal, sebelum kembali berucap.

"Maaf, Bu. Kurasa kali ini juga bukan ..."

Kecewa sekilas kulihat di iris mata Ibu. Itu karena kali ini, orang yang kulihat dalam pengelihatanku sebagai diriku, juga bukan ayahku. Seperti pengelihatan—pengelihatan perang lain dalam beberapa tahun ini.

"Begitukah, ... baiklah! Kalau begitu setelah kau merasa lebih baik. Cucilah mukamu dan rapikan dirimu. Siang ini kita akan menyambut tamu dari utara."

"Tamu dari utara?"

"Ya, pegirim pesan mereka bilang bawah mereka utusan Charlemagne dari daratan Eropa. Mungkin mereka ingin berdagang di Moor, siapa yang tahu? Yang pasti kita akan menjamu mereka ketika mereka tiba. Jadi siapkan dirimu baik-baik, mengerti!"

"Iya, Bu."

Ibu pun bangun dan mulai beranjak dari bilik kamar berlantai marmer ini. Aku yakin Ibu pasti sedang bersedih jauh di dalam perasaannya. Namun, Ibu selalu pintar menyembunyikan kesedihannya. Seperti halnya saat ini, dimana ia menghentikan langkah di daun pintu, lalu berpaling pun ia sejenak padaku dengan raut serius.

"Jangan sampai telat! Apa kau mengerti, Morien?"

"Iya, Ibu. Jangan khawatir, aku sudah 20 tahun sekarang!"

"Hmm ... begitukah? Baguslah, Ibu akan menunggumu di singgasana."

Seraya Ibu pun pergi meninggalkan pandanganku, meninggalkan ku sendiri di kamarku.

Kuangkat wajahku, melihat cahaya mentari menembus masuk melalui celah jendela ukir. Banyak hal melintas pun di pikiranku. Ingin rasanya aku meringankan tugas yang ibu emban. Namun, selama aku tak bisa menjadi raja, itu semua hanyalah omong kosong!

Kami pun sudah berusaha mencari ayahku dengan mengirim utusan ke berbagai negeri. Namun satu pun belum ada yang kembali membawa kabar gembira. Bahkan ada yang tak kembali hingga saat ini.

Dulu sempat pun kami berfikir kalau Ayahku telah tiada. Hingga suatu malam aku mendapat pengelihatan tentang suatu perang melawan orang Saxon. Perang yang begitu melelahkan dan mengakibatkan puluhan bahkan ratusan korban jiwa. Meskipun saat itu tak banyak yang bisa kulihat. Namun, apa yang dirasa oleh seorang ksatria yang menjadi patri pengelihatanku. Serasa juga dapat kurasa begitu kuat.

Amarah, kepedihan, keraguan, ... rindu.

Ksatria itu terus melangkah dan menebaskan pedangnya di garis terdepan. Kuda-kuda melompatinya menyusuri garis depan pasukan orang saxon. Pedang emas bersinar yang diangkat tinggi beberapa rekanan ksatria. ... dan seucap kata yang ksatria itu ucapkan ketika lututnya lelah dan bersimpu.

Seucap kata yang membuatku mengetahui siapa sosok yang menjadi patri pengelihatanku saat itu.

"... Morien." Ucapnya dalam rindu yang dalam.

Mensenyapkan dunianya sesaat. Hingga menyambut lagi teriakan para saxon yang berlari mengangkat kapak mereka.

Itu terjadi saat aku menginjak umur 17 tahun. Kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu. Yangmana setelah aku ceritakan hal itu pada Ibu, kami pun segera mengirim utusan untuk mencarinya. Namun, tak satu pun kembali. Begitu pun kami lakukan beberapa kali selama tahun-tahun ini. Yang mana, tetap memberikan hasil nihil dengan tak kembalinya utusan. Entah mereka mati, atau memang tak kembali karena suatu hal.

Yang kami tahu sekarang, hanya kemungkinan dari keberadaan Ayah di daratan Eropa. Mungkin di Utara daratan Eropa? Karena orang saxon kami dengar tinggal disana.

Yang pasti aku akan segera mengetahuinya ketika aku sampai disana, saat umurku 21 tahun nanti. Saat aku sudah boleh melakukan perjalanan kenegaraan lintas benua, demi menjalin persahabatan antar kerajaan.

Untuk saat ini, aku harus fokus menjalin persahabatan dengan negara yang datang kemari. Langkah awal untuk memperluas jaringanku untuk mencari Ayah.

Kukenakan pun pakaian putih-emas sutra khas kerajaan Moor. Lalu berangkat pun aku kesinggasana.

Kembali teringat kata Ibu tentang tamu yang hendak datang. ... Charlemagne? Kalau tak salah, ia adalah raja Perancis saat ini. Mungkinkah para Paladin yang tersohor itu yang akan datang? Yangmana, pernah kudengar tiap dari mereka menaklukan mahluk Griffin untuk mereka jadikan tunggangan. Jika benar, tentu mereka akan menjadi rekanan yang sangat dapat diandalkan!

Sesampainya di singgasana, terlihat Ibu telah menunggu di singgasananya. Kami pun saling mengangguk untuk saling menyapa. Lalu, aku pun duduk di singgasanaku, yang tepat berada di samping singgasana Ibu.

Di depan kami, Kaheed yang berdiri dibawah anak tangga singgasana, memberikan sapaannya padaku dengan sedikit menundukan kepala. Ia adalah Perdana Mentri kerajaan ini, dan juga orang yang melatihku berpedang sejak aku masih kecil. Sosok yang ku hormati, dan paling ku percaya di kerajaan ini setelah keluargaku. Meskipun tak jarang ia memarahiku dengan didikannya yang keras. Namun, sosok Kaheed di mata ku sudah seperti pengganti sosok ayahku yang tak pernah kuingat wajahnya.

Lalu, pintu lebar yang berada beberapa meter di depan kami pun terbuka. Memperlihatkan sebuah kotak kayu besar dengan pita yang mengikat hingga keatas. Seorang utusan dengan pakaian seperti penyair muncul dari samping, lalu memberikan salamnya pada kami.

Bukan seorang Paladin, kah? Padahal aku sudah menantikan untuk bertemu dengan para penakluk Griffin itu.

Lalu, ... upeti?

Namun, kenapa besar sekali? Bukankah harusnya mereka membawa perhiasan atau semacamnya yang lebih berharga dan mudah dibawa?

Maka, kulambaikan tanganku memanggil Kaheed. Ia pun paham, lalu mendekat dan menundukan kepala untuk berbisik padaku.

"Mereka bilang itu semacam mahluk hidup yang mereka bawa dengan susah payah melewati lautan, Pangeran!"

Hmm ... mahluk hidup? Apa maksudnya Griffin?

Namun, kenapa bukan seorang Paladin yang membawanya? Bagaimana kalau mahluk itu mengamuk disini? ... yang benar saja!

Ibuku pun mengulurkan satu tangannya terbuka. Menandakan untuk mempersilakan utusan itu menyampaikan pesannya. Maka, utusan itu pun maju dan memberikan hormatnya.

"Salam Ratu, hamba adalah utusan dari Raja Charles, raja kerajaan Perancis."

"Ya, aku sudah mengetahuinya. Lalu, ... apa maksud kedatanganmu kemari? Apa kau datang sendiri dari Perancis? Kau tak terlihat seperti hendak berdagang!" Tegas Ibuku, membuat wajah utusan itu sedikit panik.

Tentu saja Ibu curiga, terlebih bila kau membawa kotak kayu besar dengan pita konyol seperti itu! Apa yang utusan ini pikirkan?

Namun, kelihatannya utusan ini belum menyerah. Ia terlihat menenangkan diri untuk bisa kembali berbicara.

Utusan itupun melanjutkan berucap, "Be-berapa bulan lalu, R-raja kami mendengar akan kerajaan di selatan yang di pimpin oleh seorang Ratu. R-raja kami menjadi terkejut sekaligus terpukau mendengar kepemimpinan anda atas kerajaan luas ini. Maka, hamba pun di utus untuk mengantarkan buah tangan ini sebagai hadiah dari sang raja."

"Begitukah? ... baiklah, bukalah hadiah yang kau bawa itu untuk dapat kulihat!"

Dengan sedikit canggung utusan itu pun mengangguk dan mulai memanjat untuk buka pita besar yang berada di atas kotak kayu tersebut. Yangmana dari sudut pandangku, hal ini terlihat konyol bagi acara diplomasi semacam ini.

Belum lagi, kata—kata yang terbata-bata, dan cara pengemasan kotak yang terlihat terlalu sembarangan ini. Jujur saja aku masih bertanya-tanya, tentang mengapa Sang Charles Agung itu tak mengirim seorang Paladin saja?

Ini akan menjadi hari yang melelahkan.

Demikian pikirku sebelum kotak itu terbuka, dan menunjukan beberapa tentara Vandal yang segera menembakan panahnya begitu mereka muncul.

.

.

.

"IBU!!"