Chereads / Musafir Hub (Perjalanan Cinta) / Chapter 3 - Terus Bertanya

Chapter 3 - Terus Bertanya

Asrama Al-Ghazali adalah asrama yang ditempati oleh Hafizh, setelah berada di dalam kamar Hanif bertanya kepada Hafizh.

"Mas Hafizh, tadi itu siapa to? Kok Mas Hafizh pake merunduk seperti orang ketakutan gitu?"

"Ya tadi itu Pak Kiai Mashudi, beliau itu yang mempunyai pondok pesantren ini."

"Terus kenapa Mas Hafizh tadi seperti ketakutan gitu? Menurutku Abah Kiai itu orangnya baik," lanjut tanya Hanif.

"Hehehe ... kamu itu ada-ada saja, emang siapa yang takut? Tadi itu aku takzim dengan Abah Kiai sebagai guru, karena yang namanya santri itu ya memang harus takzim dengan gurunya biar bisa dapat ilmu yang bermanfaat dan juga barokah," terang Hafizh dan Hanif pun cuma mengangguk mendengarnya, lalu setelah itu mereka pun merebahkan tubuh dan kemudian tertidur.

Dihari ketiga pagi itu Adzan subuh mulai berkumandang, kami bangun untuk kemudian sholat subuh dengan berjamaah dan setelah selesai sholat kami pun mengaji yang jelas Hanif samasekali tidak bisa, namun begitu ada satu hadits yang sangat mengganjal di hati Hanif, walaupun Hanif tidak bisa membacanya tapi dia masih ingat dengan arti dari hadis tersebut, "Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi orang islam laki-laki dan perempuan," dan Hanif pun juga merasa terpanggil sekaligus tertantang untuk mengamalkan hadits tersebut.

"Hahaha ... o iya aku lupa di pondok itu memang biasanya kayak gitu, mohon dimaklumi, besok-besok kalau mau masuk kamar sandalnya disimpan di atas, itu tuh ditempat sandal," ujar Hafizh sambil menunjuk ke arah pojok kiri asrama, "Soalnya anak-anak itu menganggap kalau sandal yang ada di bawah itu sudah direlakan oleh pemiliknya hehehe ... maafkan ya? Ini pake sandal punyaku aja," ujar Hafizh sambil memberikan sandal jepit miliknya.

Begitulah akhirnya Hanif pun ikut Hafizh ke kebun dan sawah untuk mencari rumput buat pakan ternak Abah Kiai.

'Hmmm ... biasanya jadi preman kini malah turut sawah, ngaret lagi, gak papa lah .. semoga ini sebagai langkah awal yang baik untuk kehidupan dimasa depan .. Alhamdulillah .. Amin ..' ujar batin Hanif sambil tersenyum.

Tiga jam berlalu mereka berdua pun pulang ke pondok dengan membawa dua karung rumput, dan setelah itu mereka mandi dengan ngantri terlebih dahulu di depan pintu kamar mandi, tidak lama kemudian pintu yang ada di depanku terbuka Hafizh pun tersenyum karena tiba gilirannya untuk mandi, namun tiba-tiba saja ada anak lain yang nyerobot masuk dengan tanpa pamit, Kang Hafizh yang melihat itu menghampiri Hanif sambil berkata.

"Sabar ..." dan tak lama kemudian anak yang nyerobot itu tadi keluar

"Sorry Kang .. cuma ngetes kesabaran .. hehehe ..." ujarnya sambil cengengesan dan kemudian langsung pergi, sebuah tindakan yang sangat menjengkelkan memang namun rupanya Hafizh cukup bisa memahami keadaan dan menganggap itu hanya angin lalu.

Begitu selesai mandi Hanif langsung masuk ke kamar, aku buka-buka tasku, aku cari-cari baju, tapi aku merasa semua bajuku memang tidak pantas untuk dikenakan di dalam pondok karena memang terlalu norak, dan padahal dari kemarin Hanif sudah dipinjami oleh Kang Hafizh, ditengah Hanif yang masih bingung untuk ganti baju tiba-tiba kang Hafizh menghampiri sambil menyodorkan sarung dan baju koko.

"Nih kamu pake, agak kebesaran dikit gak papa kan?" ucap kang Hafizh.

"Iya Kang gak papa ..." lalu begitu selesai Hafizh pun mengajak Hanif ke dapur untuk makan dengan make baki (lengser) yang ditaruh di atas lantai, sempat merasa rikuh tapi setelah melihat disitu juga banyak anak santri lain yang melakukan hal yang sama akhirnya Hanif pun mencoba untuk bisa.

Setelah selesai makan mereka leyeh-leyeh didepan asrama.

"Kang Hafizh," Hanif memanggil.

"Iya ada apa?" jawab Kang Hafizh sambil menoleh.

"Anu Kang," ucap Hanif ter jeda, sebenarnya dia ingin tanya-tanya tentang Naila tapi gak jadi.

"Gimana mau tanya apa sampean?" Kang Hafizh kembali bertanya.

"Mas gak kangen dengan ibu dan bapak nya mas? Eh Kang maksudnya hehe maaf .. suka keliru." ujar Hanif sambil tersenyum, lalu Kang Hafizh pun juga balik tersenyum sebelum kemudian berkata.

"Hehe .. masak baru beberapa hari datang sudah kangen? Ibuku sudah meninggal Kang Hanif, ya karena itu Naila ke aku itu kurang suka, aku itu anak yang bandel, sebelum ibu meninggal hatiku terbuka, aku sempat minta maaf dan setelah itu beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, aku merasa jadi anak yang durhaka, terus selang beberapa minggu Kakakku ikut meninggal dan akhirnya aku memutuskan untuk masuk pesantren, ya Alhamdulillah ... aku menemukan pesantren ini dan betah."

Tiba-tiba ada seorang santri yang datang sambil berkata.

"Kang Hafizh dipanggil muhrimnya," dan Hafizh pun tersenyum.

"Sebentar ya aku tinggal dulu ..?" lalu Hafizh pun langsung bergegas menuju ke arah Pondok Putri, namun tiba-tiba Hanif berteriak memanggil.

"Kang Hafizh .. tunggu!" Hanif pun langsung berlari mendekati Hafizh yang berhenti dibawah pohon kelapa gading.

"Ada apa?" tanya Hafizh.

"Ini Kang kemarin itu kertas pembatas ini terjatuh dan kemudian aku menemukannya dan setelah aku lihat ada namanya Naila, jadi tolong berikan kepada Naila, dan maaf kemarin aku sudah berani untuk membaca," ujar Hanif sambil menyerahkan kertas pembatas warna hijau itu. Lalu setelah itu Hafizh pun langsung masuk ke pintu pondok putri dan aku bermaksud untuk kembali menunju asrama, namun baru saja berjalan dua langkah tiba-tiba Abah Kiai memanggilku.

"He .. le .. itu di teras masjid ada tahi ayam, kamu bersihkan ya pake sepet."

"Oh iya Bah ..." jawab Hanif sambil mengangguk.

"Sepet? Emang apa sepet?" ujar Hanif lirih, dia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Abah Kiai.

"Sepet itu apa Bah?" tanya Hanif memberanikan diri.

Abah Kiai terlihat senyum sebelum kemudian menjelaskan, "Itu lo .. serabut kelapa, tuh di belakang jeding banyak."

"Oh iya Bah baik," ujar Hanif sambil beranjak, namun rupanya itu hanya luarnya saja, karena ternyata dalam hati Hanif nampak ngedumel dapat perintah dari Abah Kiai. 'Kok aku sih yang disuruh bersihkan tahi ayam? Kan masih banyak santri lain, aku kan masih baru, ah .. aku lempar ke Kang Hafizh sajalah .. dia kan santri yang sudah lama.

"Kang Hafizh, tuh disuruh Abah Kiai bersihin tahi ayam!" seru Hanif.

"Kok jadi aku? Bukannya tadi kamu yang disuruh?" kilah Kang Hafizh.

"Hehe .. iya memang, tapi aku jijik Kang."

"Halah .. mantan preman kok takut tahi ayam, ayoh sama aku, nanti aku ajari caranya bersihin tahi ayam yang benar." Akhirnya Hanif pun tidak bisa mengelak lagi lalu iapun bergegas dengan Hafizh.

"Perhatikan, pertama hilangkan dulu tahi ayam itu dengan sepet ini dulu sampai benar-benar bersih, ya ukuran bersih itu sekira tahi ayam itu sudah hilang sifatnya," ucap Hafizh tiba-tiba dipotong oleh Hanif.

"Kok sifat? Emang tahi ayam punya sifat? Kaya manusia aja," sergah Hanif.

"Hanif .. Hanif, dengar ya .. sifat yang dimaksud bukan sifat seperti manusia sabar, pemarah, pemurah, pemaaf bukan itu maksudnya ...!"

"Lalu apaan?" sahut Hanif.

"Sifat ayam itu .. eh salah, tahi ayam maksudnya, sifat tahi ayam itu ya meliputi rasa, bau dan warna," terang Hafizh.