Setelah itu Hanif bergegas menuju ke tempat wudhu dan kemudian langsung ambil air wudhu lalu masuk masjid, begitu masuk didalam Hanif secara kebetulan bertemu dengan santri yang kemaren nyerobot masuk kamar mandi, santri jail itu nampak sedang duduk menunduk didekat tiang didalam masjid, lalu Hanif berjalan mendekati.
"Kamu kenapa Kang?" tanya Hanif menyapa.
"Gak papa, lha sampean sendiri mau ngapa? Mau sholat? Ya udah sana, atau mau buat perhitungan soal kemarin pas antrian mandi itu?" tanya Kang pondok yang dirasa Hanif cukup aneh dan unik tingkahnya.
"Ah enggak Kang ... masak cuma gitu aja mau buat perhitungan," jawab Hanif sambil tersenyum.
"Jadi bener kamu gak benci?" lanjut tanya Kang pondok aneh itu.
"Ya buat apa benci, wong kita sama-sama mondok kok disini," jawab Hanif terlihat sangat bijak.
"Ya siapa tahu kamu mau ikut-ikutan anak-anak yang lain," ujar Kang pondok aneh.
"Emangnya teman-teman disini pada benci sama kamu Kang?" tanya Hanif lagi.
"Ya begitulah, Kang kang di sini pada gak suka sama aku, aku sadar kalau aku memang menyebalkan, tapi kan itu akibat dari tingkah laku mereka yang tidak mau menghargai aku, memang aku orangnya gak ganteng, kulit juga hitam, banyak panu, badanku juga bau, tapi mestinya mereka kan tahu bahwa gini-gini aku juga makhluknya ciptaan Alloh," tutur Kang pondok aneh panjang lebar, dan nampak Hanif mendengarnya dengan seksama dan kemudian tersenyum, kemudian Kang pondok aneh itu kembali berkata.
"Meskipun mereka pada bersikap seperti itu terhadapku tapi aku tetap sabar menghadapinya, karena aku tahu bahwa Alloh itu cinta kepada hambanya yang bersabar, tapi ya namanya aku juga manusia biasa yang kadang juga bisa kehabisan stok sifat sabar," ujar Kang pondok aneh itu serius namun juga cukup menggelikan didengar, dan rupanya kata-katanya pun masih berlanjut.
"Udah di rumah Ibuku sedang sakit, aku ingin pulang tapi aku malu, padahal malu itu setahuku juga bagian dari iman." Setelah melihat Kang pondok aneh itu berhenti ngomong Hanif yang sedari tadi setia mendengarkan kini bermaksud mau menimpali omongannya itu.
"Ya apa yang tadi Kang sampaikan memang benar, tapi menurutku sampean gak perlu berkecil hati dengan diri Kang sendiri, yang pede saja .. lha wong bagaimana-bagaimana kita semua yang disini ini cuma numpang nyari ilmu sama Abah Kiai, perkara teman-teman disini menganggap bahwa sampean itu menyebalkan itu karena cara mereka saja yang menilai, menurutku sampean itu tidak menyebalkan .. tapi unik dan antik hehehe ..." tutur Hanif sambil tertawa.
Sesaat kemudian nampak Kang pondok aneh itu menatap ke Hanif, entah apa yang ada di benaknya.
"Kamu kok sepertinya berusaha untuk menghiburku? Memang kamu ini siapa?" tanya Kang pondok aneh.
"Perkenalkan .. namaku Hanif," ucap Hanif sambil menyodorkan tangannya.
"Aku Ibnu Jamil," ucapnya dan nampaknya Hanif agak terkejut mendengar nama Kang pondok aneh itu.
"Hah Saipul Jamil? Artis dong ..? Enggak-enggak Kang .. becanda .. Kang Ibnu Jamil, bagus nama sampean Kang."
"Hanif .. Nif ..." tiba-tiba Kang Hafizh datang dengan membawa buku.
"Nih buku dari Naila, tadi dia mengira kalau yang minjam itu adalah aku, lalu aku bilang kalau kamu, tapi sebelum diberikan dia mengambil kertas pembatasnya dulu, katanya dilipat gak papa kalau buat menandai."
"Oh iya Kang terimakasih .. ya udah Kang Ibnu Jamil kalau gitu aku tinggal dulu ya .. kapan-kapan disambung lagi ngobrolnya," ujar Hanif berpamitan sambil menepuk pundak Kang Ibnu Jamil dan nampak Ibnu Jamil hanya diam saja.
Mereka berdua pun balik ke asrama dan setelah masuk Kang Hafizh berkata.
"Kamu kelihatannya nyambung banget ngobrol dengan Kang Ibnu Jamil," tanya Kang Hafizh.
"Yah .. kebetulan saja tadi pas bareng di masjid."
"Dia santri yang paling nyleneh di pondok ini," timpal Kang Hafizh menilai Kang Ibnu Jamil.
"Hehe .. iya memang, tapi sebenarnya dia baik kok, sebelum kenal aku sempat merasa aneh melihat tingkahnya tapi sekarang Alhamdulillah sudah kenal dan dia ya itu tadi baik anaknya," timpal Hanif.
Malam hari itu ada kang santri yang datang, dia bernama Kang Siddiq, rumahnya Sulawesi tengah, dia pulang liburan lebaran ini, dia bersama adiknya, Kang Siddiq itu orangnya baik, pintar dan loman, beda dengan adiknya yang sangat pelit, sudah menjadi kebiasaan kalau ada anak yang baru datang pasti bawa kue sebagai oleh-oleh, begitu juga dengan Kang Siddiq yang nampak membuka kue oleh-oleh khas kota Sulawesi, kue kering yang berbahan dasar pisang, dan karena memang sudah disuguhkan para teman-temannya pun juga langsung menyerbu kue oleh-oleh itu dengan tanpa ragu.
Disaat para santri asik menikmati kue oleh-oleh itu nampak adik Kang Siddiq yang bernama Rido itu terlihat menaikkan sesuatu yang dimasukan ke dalam kardus ke atas rak dinding, sepertinya dia sedang menyembunyikan kuenya, Kang Siddiq yang melihat tingkah adiknya itu cuma diam sambil geleng-geleng kepala.
Tidak lama kemudian kue oleh-oleh itupun habis ludes namun begitu rupanya masih ada dua orang teman santri yang sama-sama satu asrama yang belum kebagian kue oleh-oleh tadi.
"Kang Siddiq, kuenya to .. masak aku gak dikasih ...?" ucap anak santri itu dari depan pintu kamar.
"Oh iya bentar tunggu ya .." lalu Siddiq yang tahu kalau adiknya masih menyimpan langsung meminta.
"Rido .. tolong dong ambilin buat teman itu, jangan pelit lah .. ntar kalo mati kuburan mu sempit lo ..!"
"Ogah ah, lha wong itu buat simpanan kok!"
"Kue kok disimpan di kardus, apa kamu gak ingat yang dulu itu? Sampai di makan semut dan kecoa, gara-gara kamu simpan, udahlah kasikan ke teman kita itu ...!" Dan akhirnya dengan terpaksa Rido pun mengambil kembali kue yang disimpannya tadi dan kemudian mengambilnya sebagian lalu memberikan pada Kakaknya yaitu Kang Siddiq, dan kemudian Kang Siddiq pun langsung memberikan pada temannya yang masih anak-anak itu.
"Nih Kang .. Alhamdulillah masih kebagian meski tinggal dikit, gak papa ya?"
"Iya Kang Siddiq terimakasih."
Melihat hal itu Hanif nampak membatin, 'Kang Siddiq itu baik banget, beruntung Kang Rido memiliki kakak sepertinya, ada yang selalu mengingatkan dan membimbing, gak kayak aku yang sudah terlalu banyak terjerumus dalam kubangan dosa.' Dan tiba-tiba terdengar suara pintu yang ditutup dengan cukup keras, Hanif yang memang masih menunduk pun langsung terkejut.
Brok!
"Apa itu tadi?" tanya Hanif sambil melongok, sementara itu Kang Hafizh dan beberapa teman yang ada terlihat hanya diam, lalu kemudian Kang Siddiq berkata.
"Maafkan ya Kang Hafizh, Kang Hanif ... atas tindakan kasar Adikku ...? Mohon dimaklumi dia memang masih butuh banyak untuk dinasehati dan belajar, dia memang anaknya keras."
"Iya .. gak papa Kang Siddiq .. sudah sana susul adik Kakang ntar keluar pondok malah bingung nyarinya," timpal Kang Hafizh.
Lalu Kang Siddiq pun langsung bergegas keluar untuk mencari adiknya si Rido, dan memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Kang Hafizh tadi begitu dicari disekitar pondok rupanya Rido tidak ada, Kang Siddiq pun langsung bertanya kepada Kang Sahlan yang bertugas di warung pondok yang ada diluar gerbang.
"Kang Sahlan kamu lihat Adikku?" tanya Kang Siddiq.
"Si Rido apa?" tanya balik Kang Sahlan meyakinkan.
"Iya Rido."
"Nang warung, kae bocae agi ngopi," timpal Kang Sahlan dengan logat ngapaknya.
Memang benar dari kejauhan Kang Siddiq melihat adiknya itu sedang duduk ngopi sendirian.
"Tuh rupanya, dasar bocah nakal." Kemudian Kang Siddiq membeli satu bungkus rokok dan berjalan mendekati adiknya.
"Nih rokok," ujar Kang Siddiq menaruh rokok didepan adiknya itu, kemudian dia membuka rokok tersebut dan kemudian menyulut satu batang dan memberikannya pada Rido, diperlukan seperti itu oleh kakaknya Rido pun sempat merasa risih, dia menatap kakaknya sesaat dan Kang Siddiq memberi isyarat dengan menganggukkan kepala supaya dia menerima rokok yang sudah disulutkan itu.