Memang benar dari kejauhan Kang Siddiq melihat adiknya itu sedang duduk ngopi sendirian.
"Tuh rupanya, dasar bocah nakal." Kemudian Kang Siddiq membeli satu bungkus rokok dan berjalan mendekati adiknya.
"Nih rokok," ujar Kang Siddiq sambil menaruh rokok didepan adiknya itu, kemudian dia membuka rokok tersebut dan kemudian menyulut satu batang dan memberikannya pada Rido, diperlakukan seperti itu oleh kakaknya Rido pun sempat merasa risih, dia menatap kakaknya sesaat dan Kang Siddiq memberi isyarat dengan menganggukkan kepala supaya dia menerima rokok yang sudah disulutkannya itu.
"Rido kamu harus pandai-pandai bersyukur karena masih bisa mondok, ada yang biayai dan ada aku juga, Rido .. masih banyak lo anak santri yang datang ke pondok hanya bermodalkan tekad, terus di pondok hidup serba kekurangan, tapi mereka tetap semangat, padahal untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus kerja buruh tapi meskipun begitu mereka masih mau berbagi, Rido .. hidup di pondok itu adalah sebuah gambaran hidup di tengah-tengah masyarakat, saat ini kita semua disini sedang belajar hidup bermasyarakat, makanya kita harus luwes dalam bersikap, jangan mudah marah, harus mau saling berbagi dan membantu, karena adakalanya suatu saat nanti kita sendiri yang justru memerlukan bantuan dari mereka, karena yang namanya orang hidup itu tidak selamanya akan berada dalam keadaan sehat, kecukupan, dan kelonggaran," tutur Kang Siddiq sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Kang Sahlan kopinya satu ..!" Seru Kang Siddiq memesan, lalu iapun kembali melanjutkan kata-katanya.
"Kakak kan tidak lama lagi sudah khataman dan insyaallah setelah itu besar kemungkinan Kakak sudah akan boyong, dan Kakak berharap apabila Kakak sudah boyong kamu sudah bisa mandiri, bisa bersikap dewasa, juga supel dalam bergaul, loman, jangan pelit ya?" Ditanya seperti itu Rido nampak menghela nafas dan kemudian mengangguk, meskipun masih terlihat belum dengan sepenuh hati tapi setidaknya itu sudah cukup lumayan.
"Kamu tahu Imam Ghozali kan?" tanya Kang Siddiq tiba-tiba.
"Imam Ghozali? Imam Ghozali siapa? Yang membangun Asrama Ghozali ini maksudnya?" tanya balik Rido.
"Hahaha ... kamu itu Do .. Do, ya bukan lah! Imam Ghozali pengarang kitab ihya Ulumuddin yang diajarkan oleh Abah Kiai itu," terang Kang Siddiq.
"Iya, emang kenapa Imam Ghozali?" tanya balik Rido.
"Di dalam salah satu karangannya yang bernama kitab Bidayatul Hidayah beliau menceritakan bahwa Allah dalam mengangkat derajatnya (Imam Ghozali) itu tidak disebabkan karena ketekunannya dalam beribadah itu bukan, karena rajinnya berpuasa juga bukan, karena banyaknya jumlah karangannya itu bukan, padahal di dalam dunia pendidikan Islam semua orang juga pada tahu dengan keilmuan beliau yang terkenal begitu luas dan mendalam," tiba-tiba Rido menyahut.
"Lalu karena apa kalau tidak karena itu semua?" nampaknya Rido merasa tertarik dengan cerita yang disampaikan oleh kakaknya itu.
"Imam Ghozali mendapatkan kemuliaan derajat disisi Allah itu tidak lain karena kepeduliannya terhadap sesama makhluk hidup yang bernama lalat."
"Lalat? Kok bisa?" sahut tanya Rido sambil mengerutkan keningnya.
"Iya bisa .. kalau memang Alloh menghendaki, jadi begini ceritanya .. pada suatu saat ketika Imam Ghozali sedang menulis salah satu karya ilmiahnya tiba-tiba saja ada seekor lalat yang hinggap di bak tintanya dan kemudian menjilati air tinta itu, melihat kejadian itu Imam Ghozali yang akan memasukkan penanya ke dalam bak tintanya itu langsung menahannya alias tidak jadi, diperhatikannya lalat tersebut, beliau membiarkan lalat itu minum cairan tintanya, baru kemudian setelah lalat itu kembali terbang Imam Ghozali kembali melanjutkan menulisnya itu, begitu ceritanya .. jadi intinya Rahmat dan pertolongan Allah itu bisa diberikan Allah kepada siapa saja dan kapan saja, cuma yang sudah-sudah Allah itu paling sering memberikan rahmat itu melalui sebab, dan sebab yang paling sering juga perbuatan yang mudah mendatangkan rahmat Alloh itu adalah berbuat baik kepada sesama makhluk hidup bahkan pada hewan sekalipun," "Kok bisa ya?" lagi-lagi Rido menyela pembicaraan kakaknya.
"Ya bisa aja, Alloh maha berkehendak kok, makanya kita sebagai makhluk ciptaan Allah, kita jangan malas atau sungkan untuk berbuat baik kepada sesama, karena Alloh menyembunyikan ridhonya di amal kebaikan dan menempatkan murkanya di amal keburukan, lha jenis amal baik yang mana yang bisa menjadi sebab datangnya Rahmat Allah? Itulah yang disamarkan olehnya, begitu juga dengan murkanya Allah yang juga diletakkan di dalam amal kejelekan, lalu jenis amal jelek yang kaya apa yang jadi penyebab murkanya Allah itu pulalah yang dirahasiakan," Kang Siddiq menyudahi cerita dan sekaligus nasehat untuk adiknya itu.
Keesokan harinya Hanif tengah berjalan di sekitaran pondok, lalu secara tidak sengaja dia melihat Neng Zahra, dan rupanya disitu yang terpesona dengan Neng Zahra bukan cuma Hanif saja karena rupanya ada dua kang-kang lain yang tengah mengintip putrinya Abah Kiai itu dari dalam masjid, Neng Zahra Damariva memang sosok wanita idaman, perfeksionis secara keseluruhan, 'Ya Alloh ... apakah lelaki seperti hamba ini bisa memiliki bintang kejora itu ...?' bisik Hanif bertanya dalam hatinya.
Lalu tiba-tiba ada Kang pondok lain yang memegang pundak Hanif sambil berkata, "Melihat perempuan yang bukan muhrimnya itu namanya zina mata." Dan Hanif pun cukup terkejut dan kemudian dia langsung menimpali.
"Kalau melihatnya secara kebetulan alias tidak disengaja?"
"Ya gak papa juga sih ..." balas Kang pondok yang memegang pundak Hanif itu.
"Tuh di dalam masjid ada orang yang memang sengaja menunggu untuk mengintip Neng Zahra," ujar Hanif sambil menunjuk ke arah dalam masjid, lalu tiba-tiba terdengar suara orang yang berlari kabur dari dalam masjid.
"Tuh tersangkanya pada kabur," timpal Hanif.
"Hehehe ..." Kang pondok tadi itu pun langsung tertawa.
Tiba saatnya untuk adzan ashar, Kang Ridwan yang memiliki suara merdu pun langsung mengumandangkannya, Hanif melihat Kang Hafizh sedang membaca Alqur'an di dalam masjid, lalu Hanif pun masuk dan langsung duduk di samping Kang Hafizh dan kemudian berkata.
"Kang," sapa Hanif dan ternyata Kang Hafizh malah mengusir Hanif dengan mengibaskan tangannya.
'Emang aku ayam apa? Enak saja mau ditanya baik-baik malah main usir-usir,' ujar hati Hanif nampak menggerutu. Kemudian keesokan harinya Kang Hafizh menemui Hanif sambil berkata.
"Kang Hanif, maaf ya yang kemarin? Aku bukannya tidak mau kau ajak bicara, tapi aku cuma takut dosa aja."
"Emang jawab panggilan orang itu dosa ya Kang?" tanya balik Hanif.
"Ya yang jadi masalah itu bukan karena jawab pertanyaannya itu Kang Hanif, tapi bicara di dalam masjid itu lhoo, dan yang dibicarakan itu adalah hal urusan dunia, maka ada ancaman khusus yang akan diterimanya," terang Kang Hafizh.
"Oh gitu? baru tahu aku," sahut Hanif sambil mengangguk-angguk.
"Iya Kang Hanif, bahkan itu ada hadisnya juga, "Barang siapa yang berbicara masalah dunia di dalam masjid maka Alloh akan menghapus kebaikannya selama empat puluh tahun," bisa rugikan?" Lalu setelah mereka berdua pun pergi ke sawah.