Memang benar apa yang dikatakan oleh hati Hanif itu tadi, bahwa untuk urusan tarik suara dia terbilang cukup jago, hanya saja kalau untuk seni tilawah Al-Qur'an dia memang belum bisa dikarenakan masih belum lancar dalam membacanya, tapi kalau cuma adzan jangan ditanya, Hanif bisa menyaingi dengan para muadzin pondok yang sudah ada.
Lalu untuk mewujudkan niatnya untuk menjadi muadzin pondok Hanif pun langsung menemui takmir masjid yang bernama Pak Rahmat, dia itu adalah sepupu Abah Kiai yang rumahnya ada di belakang pondok, dan dengan pedenya diapun langsung menyampaikan hasratnya itu dan sudah barang tentu Pak Rahmat pun langsung meresponnya dengan senang hati.
"Oalah le ... lha wong cuma jadi muadzin saja kok mesti ijin segala, mbok ya sana langsung saja adzan asal bergantian dengan teman yang sudah di jadwal," jawab Pak Rahmat.
"Iya Pak nanti saya akan adzan, tapi tolong Pak Rahmat saja yang bilang ke para muadzin, saya gak enak Pak dikira nanti saya menyerobot jatah orang," ujar Hanif mengungkapkan alasannya, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Hanif itu cukup beralasan, karena untuk muadzin itu oleh ketakmiran tiap bulan diberi uang bisyaroh, meskipun tidaklah besar tapi untuk ukurannya anak pondok itu sudah sangat lumayan, karena per muadzin diberi uang bisyaroh tiga ratus ribu per bulan, untuk tambahan uang jajan sangat lumayan banget.
Begitulah akhirnya proses pengajuan diri menjadi muadzin pondok telah berhasil dilalui dengan mulus oleh Hanif dan oleh pengurus takmir dia diberikan tugas untuk adzan di waktu Dzuhur, waktu yang sebenarnya kurang begitu diminati oleh Hanif, karena Hanif merasa kalau waktu Dzuhur itu adalah waktu banyak santri pada tidur qoilullah, dan kalau itu yang dialami maka Hanif berpendapat kalau suara adzannya itu tidak akan banyak santri yang mendengar terlebih santri putri, karena rupanya dalam ruang bilik hatinya Hanif masih memiliki niatan untuk memamerkan keindahan dan kemerduan suaranya pada santri putri terlebih untuk Neng Zahra Damariva.
Waktunya untuk memulai karirnya sebagai muadzin pondok pun tiba Hanif nampak tengah bersiap untuk memulai adzan pertamanya dan begitu tiba waktunya dia pun langsung tancap suara, dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa suara Hanif memang betul-betul merdu, meski sebenarnya dalam pelafalan kalimat-kalimat adzan masih ada yang kurang pas tapi karena memang saking merdunya suara Hanif maka kekurangannya itupun bisa tertutupi dan bahkan sangat dimaklumi.
Bahkan Kang Hafizh sendiri yang baru mengerti kalau teman barunya itu juga sangat takjub dengan suara Hanif, saking enaknya menikmati alunan suara adzan Hanif Kang Hafizh nampak tertegun dan manggut-manggut.
"Hebat, hebat sekali sampean Kang Hanif .. aku tidak mengira mantan preman seperti sampean rupanya diberi suara yang begitu merdu oleh Alloh," puji Kang Hafizh yang tidak bisa menutupi rasa kagumnya itu.
Memang benar apa yang pernah terpikirkan oleh Hanif diawal dia ingin menjadi muadzin, kalau dia adzan pasti akan banyak membuat para santri putri yang terkagum dengan suaranya, termasuk dengan Neng Zahra Damariva satu-satunya wanita yang sangat dikagumi oleh Hanif.
Pada suatu hari ada berita yang didengar oleh Hanif, kabar yang bisa dibilang tidak kurang bagus baginya, itu bukan karena apa tapi dia mendengar berita kalau Neng Zahra akan segera berangkat ke pondoknya di pondok salafiyah Syafi'iyah.
"Neng Zahra akan segera berangkat ke pondok, dan aku denger-denger besok hari rabu dia berangkatnya, padahal sekarang sudah hari minggu, berarti masih ada waktu tiga hari lagi untuk unjuk suara kepadanya, yah .. aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan kesan pada Neng Zahra bahwa dia akan terus terngiang-ngiang dengan suara adzan ku, dan aku ingin minta dirubah jadwal adzan ku tidak diwaktu Dzuhur, yah .. aku ingin ambil adzan di waktu magrib biar semua orang bisa mendengarkan, tidak hanya untuk Neng Zahra Damariva saja, jadi tidak akan sia-sia lantunan suaraku," ujar Hanif nampak merangkai-rangkai rencananya.
Begitulah akhirnya Hanif pun melobi Pak takmir lagi untuk supaya jadwal adzannya digester diwaktu maghrib dan dengan tidak keberatan Pak takmir pun langsung mewujudkan niatnya itu.
Hari itu sekitar pukul lima sore Hanif nampak sudah selesai mengaji sore dan kemudian dia pun langsung memakai baju lengkap dan tengah bersiap untuk tampil adzan meskipun waktu masih kurang setengah jam lagi.
Sholawat tarkim menjelang adzan magrib telah berbunyi dan itu berarti waktu adzan pun akan segera tiba, Hanif nampak sudah berada di dalam masjid, dia merasa ada yang aneh dengan tenggorokannya, yah Hanif merasa tiba-tiba tenggorokannya agak terasa sakit, nampak kekhawatiran terlihat dalam hatinya, tapi apapun yang terjadi dia tidak bisa lagi untuk mengelak dari tugas yang dia sendiri memintanya, dan akhirnya waktu untuk adzan pun tiba, Hanif pun langsung menarik nafas dalam-dalam dan kemudian memulai melantunkan suara adzannya, namun hal yang tidak disangka-sangka oleh para penghuni pondok dan warga sekitar pondok terjadi, suara Hanif tiba-tiba tidak bisa keluar dan terdengar hanya biasa-biasa saja dan malah cenderung serak.
Sungguh apa yang dikhawatirkan akhirnya benar-benar terjadi, rencana untuk membuat para pendengar suaranya akan terpesona malah berubah menjadi kutukan dirasakan olehnya, bagaimana tidak momen yang sudah di tunggu-tunggu itu menjadi kacau, jangankan membuat orang terpesona bahkan yang terjadi malah sebaliknya karena rupanya kebanyakan orang malah mencemooh.
Kang Hafizh yang juga melihat itu juga merasa sangat prihatin, dia yang sudah mengetahui akan maksud dari apa yang telah dilakukan oleh sahabatnya itu hanya bisa mengelus dada dan berujar dalam hati.
'Kang Hanif ... Kang Hanif ... kasian sekali kamu, lha wong adzan mestinya kamu jadikan sebagai ladang ibadah malah kamu jadikan alat menarik perhatian manusia, ya beginilah akhirnya ... heh .. sungguh Alloh masih sayang kamu Kang Hanif .. karena begitu kamu hendak menyimpang dari jalannya kamu langsung diingatkan, gak kebayang kalau kamu dibiarkan terus menerus terjerumus dalam kubangan riya' .. pasti malah akan semakin besar akibat yang akan kamu terima,' ujar Kang Hafizh merenungi nasib yang tengah dialami oleh sahabatnya itu.
"Bagaimana pun juga aku harus menyampaikan hal ini kepada Kang Hanif .. biar dia bisa memahami, jangan sampai dia patah semangat atau salah dalam memahami kejadian ini, yah sebaiknya aku harus segera berbicara dengannya."