Hanif nampak diam mendengar penuturan dari Hafizh dan Naila, setelah itu dia mengambil hpnya dan kemudian langsung menelpon orang tuanya, dan sepertinya yang mengangkat adalah ibunya.
"Assalamualaikum ... ini siapa?" tanya ibunya.
"Ini aku Bu ... Hanif."
"Ya Allah ... Hanif, kamu dimana nak? Cepat pulang .." suara ibunya terdengar bergetar karena menahan tangis haru, terbayang wajah seorang ibu yang ditinggal pergi oleh anaknya.
"Bu .. doakan aku agar bisa menjadi anak yang baik, aku akan pulang jika aku sudah berubah, salam untuk bapak dan maafkan Hanif ya Bu .. jaga kesehatannya .. makan yang teratur .. jangan sampai penyakit lambungnya kambuh .. Hanif sayang dengan Ibu .. wasallam .."
Naila nampak tersenyum dan kemudian menoleh ke kakaknya, ia merasa bersalah.
"Mas, mas, mas Hafizh ... aku minta maaf .." ucap Naila, dan karena Hafizh masih diam lalu Hanif pun ikut ambil suara.
"Mas ... mas ..." dan tiba-tiba ..
"Hahaha ... kalian ketipu," ujar Hafizh merasa senang karena bisa ngerjain Hanif dan adiknya Naila.
"Hih, nyebelin! Dosa tanggung sendiri!" ujar Naila nampak sewot.
"Jangan marah .. mas Hafizh kan cuma bercanda, orang yang gak mau memaafkan katanya umatnya Raja Fir'aun, eh gitu ya ..? Aku cuma denger-denger sih .."
Lalu mas Hafizh berkata, "Iya .." Hanif terlihat senang kenal dengan dua bersaudara itu tapi sebenarnya dia memang belum tau apa-apa tentang agama, siapa sebenarnya Raja Fir'aun, dan bahkan solat pun juga tidak bisa.
Naila membaca buku, kemudian Hanif bertanya kepada mas Hafizh.
"Mas Raja Fir'aun itu siapa sih?"
"Hahaha ... Abah Kiai sering bercerita bahwa Fir'aun itu artinya orang yang lari dari pertolongan Allah, karena kata Firaun sendiri itu diambil dari dua suku kata yaitu fir yang memiliki arti lari dan yang kedua adalah aun .. yang kepanjangannya adalah aunillaah atau pertolongan dari Allah, dan dia juga mengaku sebagai tuhan."
"Begitu ya mas?" sahut Hanif nampak begitu serius mendengarkan penjelasan Hafizh.
"Iya, dia ngaku sebagai tuhan itu karena dia merasa hebat, karena selama hidup Raja Fir'aun itu tidak pernah sakit sama sekali meskipun cuma flu, yah nanti kalau kamu sudah benar-benar di pondok akan tau," terang mas Hafizh yang sepertinya ilmu pengetahuan agamanya sudah cukup lumayan.
Kemudian bis berhenti, lalu mereka pun turun, Hanif nampak mengambil posisi mundur dua langkah dibelakang Hafizh dan Naila, baru berjalan beberapa langkah sebuah papan nama dengan tulisan berbunyi "Yayasan Pondok Pesantren Mujahidin Alal Khotib" terpampang jelas depan mata, sesaat Hanif berhenti membaca tulisan yang ada di papan nama itu.
"Ayo nif," ajak Hafizh yang telah masuk duluan ke dalam gerbang Pondok.
"Inilah Pondok kita, kamu tunggu disini dulu aku tak hantarkan Adikku ke Pondok Putri," ucap Hafizh sambil meletakkan tasnya dan sebuah kitab kuning, sebelum melangkah nampak Naila mengangguk pada Hanif sambil tersenyum dan Hanif pun membalasnya dengan anggukan dan juga senyum yang agak tertahan.
Sepeninggal Hafizh dan Naila, Hanif terlihat tertegun melihat pemandangan halaman pondok, banyak santri yang berseliweran dengan memakai baju Koko putih, peci putih dan sarung warna hitam, juga para santri itu terlihat mendekap sebuah kitab, canda tawa para santri terdengar begitu penuh dengan keakraban dan juga keceriaan, melihat pemandangan seperti itu terbesit dalam pikiran Hanif.
'Rasanya aku malu dengan kelakuanku, apa aku pantas untuk tinggal di tempat suci seperti ini?' Lalu mata Hanif tertuju pada sebuah kertas yang terjatuh.
"Kertas apa ini?" ujar Hanif sambil meraih kertas warna hijau muda itu, diperhatikannya kertas itu dan ternyata disitu tertera sebuah nama "Naila Kamil"
"Oh ini pasti milik Adiknya Mas Hafizh tadi, ini kok seperti sebuah kertas pembatas? Yah ini pasti kertas pembatas punya Naila, hoh .. ada tulisannya!" ujar Hanif nampak tertarik untuk membaca tulisan panjang yang ada di kertas pembatas warna hijau itu, "Kesalahan berulang kali, bertubi-tubi dosa yang aku lakukan, ya Allah ... masih sudi kah engkau mengampuni hamba ..? Hamba yang berlumpur dosa ini hanya bisa mengucap maaf .. ya Allah ... hambamu yang lalai dengan perintah mu hanya bisa berusaha, ya Allah .. engkau maha segala-galanya, dekat dengan engkau damai terasa di hati, engkau peneduh jiwa lewat Alquran mu, engkau mendinginkan nafsuku lewat air wudhu, engkau mengajarkan iman lewat nabi Muhammad, ya Allah ... dekat denganmu serasa air mengalir tanpa adanya sumbatan, akan tetapi syetan pun tidak pernah mengenal lelah apalagi menyerah, dia terus menerus membujuk dan mengusikku terus-menerus, ya Allah .. lindungilah hambamu di setiap hembusan nafas hamba." Begitu bunyi tulisan di kertas pembatas warna hijau itu, setelah selesai tak terasa air mata Hanif menetes, nampaknya Hanif merasa tulisan itu sangat tepat ditujukan untuk dirinya, disaat Hanif masih tersedu dalam hatinya tiba-tiba saja ada tangan yang menepuk pundaknya.
"Laki-laki kok nangis," seru orang yang tidak lain adalah Hafizh, dan Hanif pun buru-buru menghapus air matanya dan kemudian berkata.
"Oh Mas Hafizh .." Hafizh pun tidak bertanya kenapa Hanif menangis, Kakak Naila itu malah langsung merangkul pundak Hanif dan kemudian mengajaknya untuk beranjak. Dalam hati Hanif mengira kalau Hanif pasti akan mengajaknya untuk masuk ke asrama atau kamar yang menjadi tempat tinggalnya. Akan tetapi rupanya salah karena Hafizh mengajak Hanif berhenti di sebuah pintu sebuah rumah yang terlihat besar namun sederhana.
"Assalamualaikum ..." Hafizh mengucapkan salam, namun tidak ada yang menjawab, lalu ia pun kembali mengulang dan baru salam yang ketiga terdengar suara yang menjawab.
"Waalaikumsalam ... mari masuk," ucap suara itu terdengar begitu berwibawa, lalu mereka pun masuk dan di dalam berdiri sesosok pria berjubah putih lengkap dengan kain surban yang dikerudungkan di kepala.
"Oh .. kamu ..? Siapa nama kamu le .. kok lupa aku ..?" tanya Pak Kiai.
"Hafizh Abah .." balas Hafizh terlihat begitu takzim dengan gurunya itu.
"Oh iya .. Hafizh .. terus itu siapa yang bersamamu?" lanjut tanya Abah Kiai dengan pandangan tertuju pada Hanif, lalu Hafizh menyenggol lenganku meminta aku untuk menjawab.
"Namaku Hanif Mbah ..." jawab Hanif dengan suara yang sangat jelas.
"Hanif, dari mana asalnya?" lanjut tanya Abah Kiai.
"Solo Mbah." Tidak lama kemudian masuklah dua orang santri yang membawakan dua gelas teh dan kemudian menyuguhkannya kepada Hanif dan Hafizh, selagi dua santri itu menyuguhkan teh tiba-tiba Hafizh berbisik pada Hanif.
"Kalau manggil jangan Mbah tapi Abah! Denger gak?" Hanif pun mengangguk dan kemudian Abah Kiai mempersilahkan untuk meminum teh itu.
"Ya sudah saya doakan semoga kamu bisa lekas kerasan dan bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah .."
"Aamiin ..." ujar Hafizh sedang Hanif nampak hanya diam. Lalu mereka berdua pun langsung berpamitan pada Abah Kiai dan Hafizh pun nampak mencium tangan Abah Kiai begitu juga dengan Hanif yang kemudian mengikutinya. Setelah itu mereka pun segera keluar dengan kembali mengucapkan salam sebelum akhirnya bergegas menuju ke Asrama Al-Ghazali.