"Pa, kenapa tak bilang jika Dzaky itu memiliki banyak teman di Singapore?" ucap Rara begitu sadar dari pingsannya dia meminta Dzaky untuk segera pulang karena tak mungkin baginya terus menerus berada di sana dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuknya.
"Kemarin waktu di sana banyak teman-temannya yang nyamperin dia dan justru mereka tak mengenaliku sebagai istrinya melainkan sebagai adiknya apa itu tidak mengesalkan buatku padahal aku sudah mati-matian menahan kesal," sambungnya.
"Dan kau cemburu begitu maksudnya?" tanya Bagas menyelidik karena tak biasanya Rara membicarakan tentang Dzaky apakah dia mulai memiliki rasa pada menantunya itu.
"Jangan asal deh Pa, Rara hanya bilang itu saja, kok malah Papa seperti itu," ucap Rara kesal.
"Karena Papa memang sudah mengetahuinya sejak awal jika dia termasuk laki-laki yang disukai banyak gadis di kampusnya dulu tapi dia tak pernah menganggapnya serius justru dia abaikan karena memang tujuan awalnya hanya satu dia kesana untuk belajar bukan untuk main-main sepertimu," ucap Bagas kesal pada putrinya itu.
"Ya Pa, Rara tahu kemarin juga ada wanita cantik yang nempel sama dia terus namanya Karen, cantik sih tapi sedikit seronok penampilannya seperti sengaja mengundang laki-laki untuk menggodanya," ucap Rara kesal jika melihat bagaiman cara Karen berbicara dengan Dzaky.
"Eem Papa kira kamu sudah terpesona akan kharismanya makanya dari tadi kamu membicarakan dia terus, apakah kau mulai mencintainya?" tanya Bagas penuh selidik pada Rara.
"Pa, bukankah Papa bilang pernikahanku dengan dirinya hanya sementara hanya setahun setelahnya kita akan berpisah? Rara malah Pengan itu cepat berlalu Pa, karena Rara ingin segera mengejar impian Rara pergi ke Paris kuliah di sana."
Bagas terkesiap mendengar perkataan anaknya dia tahu jika Rara masih menyimpan impiannya untuk bisa berkuliah di sana dan pulang dengan nilai yang bisa membanggakan kedua orang tuanya, sayangnya belum juga dia lulus sekolah justru dia hamil duluan bukankah ini sangat memalukan dan bagaimana dia akan memberitahukan pada anaknya nanti siapa ayahnya? Bagas kesal jika teringat Ardy laki-laki yang menghamili putrinya sungguh jika tak ada Dzaky entah bagaimana hidupnya ke depan karena karirnya dipertaruhkan disana.
"Dimana Dzaky sekarang?" tanya Bagas dan Rara hanya mengedikkan bahunya malas apa pedulinya dia sekarang toh mereka sudah berada di rumah sendiri bukan di kamar hotel di negara orang, dan yang kemarin adalah pengalaman pertama untuknya yang takkan terlupakan dimana Dzaky juga menciumnya untuk pertama kali tanpa sadar Rara memegangi bibirnya sendiri dan mengulas senyum kemudian tanpa dia sadari jika Dzaky memperhatikannya dari pintu kamar mandi.
"Apa dia sudah gila sehingga senyum sendiri tak jelas," gumam Dzaky.
Dzaky keluar dari kamar mandi dan langsung ke bawah untuk menemui mertuanya dia terlalu malas jika harus kembali berdebat dengan wanita yang kini sedang bercermin memoles kukunya dengan cat kuku.
"Dzaky boleh Papa bicara denganmu Nak?" tanya Bagas dan Dzaky pun mau tak mau hanya bisa mengangguk dan mengikuti mertuanya ke ruang kerjanya.
Sebenarnya Dzaky malas untuk mampir ke rumah mertuanya jika saja kemarin Rara tidak pingsan di Singapore. Dzaky menuruti kemauan Rara untuk tinggal di sini sementara pun karena permintaan dari Pak Bagas mertuanya jika bukan karenanya mungkin lebih baik dia tidur di rumah tanpa peduli dengan urusan kedua mertuanya.
"Saya sudah mendengar ceritanya lewat Rara," ucap Bagas membuat Dzaky menatap Bagas apakah dia akan memarahinya seperti kepada karyawannya yang lain tempo hari.
"Papa tidak marah kok sama kamu, hanya saja Papa justru senang sekarang," ujar Bagas membuat Dzaky mengernyitkan kedua alisnya.
"Apa maksud Papa bicara seperti itu?" tanya Dzaky bingung dengan arah pembicaraan Papa mertuanya. Bagas tersenyum simpul mendengar penuturan Dzaky.
"Nak, boleh Papa meminta sesuatu padamu?" tanya Bagas membuatnya semakin tak mengerti.
"Apa itu Pa?" sahut Dzaky.
Bagas menghela nafasnya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Jika suatu hari nanti Rara mencintaimu Papa mohon jangan tinggalkan dia ya," ucap Bagas membuat Dzaky bungkam untuk sesaat.
"Kenapa Papa bicara seperti itu?" tanya Dzaky penasaran.
"Karena sepertinya Rara mulai mencintai dirimu Nak," ucap Bagas.
"Benarkah? karena yang Dzaky tahu dia begitu ketus sama Dzaky jadi rasanya tak mungkin jika dia menyukai laki-laki seperti saya yang kaku dan mungkin tidak romantis menurut versinya."
"Kau jangan terlalu merendah Dzaky karena dia baru saja memuji dirimu dan kau tahu itu membuat saya lebih tenang daripada melepaskan dia bersama dengan laki-laki lain. Sedari tadi dia hanya membicarakan dirimu dari awal pertama kali sampai di Singapore dan ketika kau bertemu dengan teman-temanmu di sana. Dia tak percaya jika ternyata kau juga merupakan idola kampus pada masa itu," ucap Bagas terkekeh mengingat perkataan Rara tadi pagi.
"Tolong jaga dia untukku saya, saya percaya kamu bisa menjaganya dengan baik," ucap Bagas dia menaruh harapan besar padanya dan Dzaky sendiri sebenarnya merasa kurang pantas mengingat perlakuan Rara terhadapnya yang lebih seperti musuh jika mereka hanya berdua.
"InsyaAllah Pa, saya akan menjaganya dengan baik."
"Ayo kita main catur di teras jika kalah kau harus mentraktir Papa makan malam nanti," tantang Bagas mencairkan suasana agar Dzaky tak merasa tegang dengannya.
"Baiklah dan saya yakin bisa mengalahkan Papa sekarang," ucap Dzaky percaya diri.
Bagas dan dzaky keluar bersama-sama dari ruang kerjanya dengan tawa yang mengembang di bibir mereka membuat Rara curiga rencana apalagi yang akan dibuat Bagas untuknya.
"Ra, tolong ambilkan kami jus jeruk dan cemilan ke depan ya Papa dan suami kamu mau bermain catur," ucap Bagas membuat Rara sedikit lega karena papanya tidak merencanakan sesuatu yang macam-macam seperti pemikirannya saat ini. Rara segera ke dapur untuk menyiapkan jus jeruk permintaan Bagas dan setelahnya mengantarkannya ke depan.
"Ini Pa, oh iya bolehkah Rara pergi bareng teman Pa, Rara mau belajar kelompok sama Salsa jika boleh nanti aku akan memintanya menjemput Rara ke rumah." Dzaky melirik sekilas pada Rara yang ternyata Rara pun sedang menatapnya intens.
"Kau salah jika meminta ijin pada Papa Ra, minta ijinlah pada suami kamu karena dialah yang bertanggung jawab atas dirimu saat ini," balas Bagas seraya menata permainan catur.
"Tapi Pa, jika Rara minta ijin padanya pasti takkan dikasih olehnya," sahut Rara ketus sekarang dia sudah malas untuk keluar jika ternyata harus meminta ijin pada Dzaky yang dia sendiri sudah tahu jawabannya adalah 'tidak boleh' dan akan banyak serangkaian alasan yang menyertainya nanti.
"Cobalah dulu, kau belum mencobanya bukan?" ucap Bagas.
"Tapi Pa," Rara memberengut kesal pada dua orang laki-laki di depannya yang justru asyik bermain catur.
"Mas Dzaky, bolehkah aku pergi keluar bareng Salsa untuk belajar bareng?" ucap Rara sedikit ragu dan juga kesal. Dzaky melihat Rara yang masih menunggu jawabannya.
"Kau boleh pergi tapi hanya untuk belajar bukan bermain, selesai tidak selesai nanti jam empat aku akan menjemputmu, dan malamnya aku akan mengecek hasilnya kau mengerti pergilah."
Mendengar jawaban yang tak sesuai dengan harapannya Rara hanya bisa tersenyum kecut ternyata alasannya untuk belajar tak mempan untuk membohongi keluarganya karena niat awalnya dia hanya ingin keluar mencari angin segar nongkrong di kafe bareng teman-teman.
"Baiklah, terima kasih. Cup." Rara segera pergi setelah mencium bibir Dzaky sekilas membuat Dzaky mematung dengan perubahan sikap Rara padanya.