Chereads / Dorgante / Chapter 13 - 13

Chapter 13 - 13

Jiraina menjerit-jerit kecil seperti orang yang kurang waras hingga di detik berikutnya pemuda tersebut tidak dapat menahan rasa kesalnya lagi kemudian memukul pelan kening perempuan tersebut dan berjalan keluar parkiran kampus, perempuan itu tentu tak akan mau diam saja setelah menerima pukulan itu dengan wajah sok sucinya Jiraina tampak menggembungkan pipinya merasa jengkel dengan sikap kekanakan Linggar, padahal lelaki itu tak melakukan apapun. Jiraina kembali membuat pemuda tersebut merasa gemas karena setiap kelakuan wanita cantik itu selama berjalan bersamanya terus saja bertingkah memuakkan bagi siapa pun yang melihatnya, dari sudut bibirnya melengkung senyuman samar— sangat samar hingga orang lain tak dapat melihatnya. Sebenarnya agak letih dengan semua aktivitas hari ini namun dengan mendengarkan segala ocehan tak berdasar dari Jiraina itu cukup menghiburnya, apalagi perempuan tersebut mengomel sembari melangkah beriringan dengannya bagaimana tidak? Pemuda itu memaksa sedikit, hanya sedikit saja, sungguh. Pulang bersama, sang perempuan tak dapat menolaknya jika saja tadi dia pulang bersama Aruna pasti takkan seperti ini, pemuda tersebut nampak memandangi wajah manis Jiraina. "Lo berisik ya? Apa emang setiap hari kaya gini? Lucu?" Jiraina memerah dengan pujian itu, perempuan tersebut meninju lengan kurus Linggar lalu tergelak keras agak canggung saat mendengar pujian dari orang yang baru ia kenali.

"Ey, gak ada yang muji gue. Btw gue emang lucu kok," dengan pedenya perempuan itu mengatakan hal demikian. Linggar mengerutkan keningnya heran dan mengangguk mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh Jiraina, mencoba untuk membuat sang gadis merasa senang: pemuda tersebut bahkan tersenyum tipis dengan mengusak sebentar rambut panjang Jiraina. Perempuan tersebut bahkan terdiam dan mengartikan semua perlakuan yang dilakukan oleh pemuda di sampingnya, perempuan tersebut juga tampak ragu dan berpikir bahwa Linggar tak tulus berteman dengannya apa yang dilakukan lelaki itu seperti memiliki maksud lain, tak ada artinya juga kalau Jiraina merasa pemuda tersebut memiliki perasaan padanya akan sangat tidak pantas. "Apasih! Liatin biasa' aja dong!"

"Emang lo mau gue liatin kaya gimana?" Jiraina agak salty dengan perkataan teman lelakinya itu, perempuan tersebut tidak mau menjawab pertanyaan dari lelaki. Linggar berdeham sebelum melanjutkan perkataannya tadi agak deg-degan saat mengatakan pujian yang benar-benar sebuah pujian dari hati, bahkan pemilik wajah anime ini sangat tidak berguna jika dibandingkan dengan adiknya yang lihai dalam merayu seorang wanita, "lo cantik hari ini," gumamnya lirih.

"Huh? Apaan? Tadi lo bilang apa? Gue gak dengar." Theo mengeluh tentang hal ini jika ia ada diposisi tersebut, pasti sangat cuek jika dirinya yang menemani perempuan tersebut. Namun sangat disayangkan karena dirinya Linggar sang pemilik asli tubuh jadi pemuda tersebut tergelak renyah menutup rasa canggungnya, itu bisa kapan saja terjadi akan tetapi perempuan tersebut tidak mengerti situasi yang ada makanya hal ini tidak terpikirkan sebelumnya.

"Gak ada," pelan lelaki itu.

Entah sejak kapan perempuan itu merasa pusing dan mual membuat sang pemuda merasa curiga dengan aktivitasnya seharian, Yuandra bukan orang yang mudah terpengaruh oleh keadaan seperti ini lelaki itu bahkan tidak bisa menjelaskan bagaimana cara menarik kepercayaan pada seseorang, pemuda itu menghela nafasnya memburu para wanita yang di bayar untuk memasakkan makanan untuknya hanya bisa menahan hawa amis yang menguar dari dalam lorong atas. "Yuan—" ucapan perempuan tersebut langsung dipotong.

"Bisa gak usah bacot?" sela lelaki yang mulai berjalan ke arah atas, kegiatan mereka hanya sebatas pembantu dan majikannya. Bahkan kalau perlu mereka berdua tidak usah  datang sekalian hanya merepotkan pria itu saja, "kalian kerjakan apa yang harus dikerjakan, dan jangan bacot!" Tegas lelaki itu yang membuat perempuan-perempuan cantik itu meringkuk takut, karena itu keduanya tak lagi bersahutan. Jiraina mencoba menghubungi Yuandra yang langsung berbalik diangkat oleh pemuda itu, perempuan tersebut memandang lurus wajah yang menjadi penanggung jawab BEM fakultas itu, tampak berpikir sebentar ingin berbicara apa lalu menjadi sangat canggung, sesaat setelah itu dirinya tak nyaman dengan tatapan mata legam tersebut.

Keduanya saling menatap satu sama lain jika di sampingnya ada seseorang seperti Bianca pasti ia akan menjadi bahan olokan, tidak pernah bisa berhenti jika tak dibalas oleh perempuan itu, berjalan beberapa detik akhirnya perempuan tersebut bisa menyampaikan niatnya menelepon.

Bianca bertanya pada bapaknya karena wanita itu tidak melihat sosok ibunya, "pak, ke mana mama? Kok gak keliatan?" Bapaknya menoleh tetapi hanya sekilas lalu mengirim surel lagi, tak ada jawaban pasti dari pria tua itu. Tetapi dapat dilihat dari dekat jalan kalau bapaknya lebih sayang sama kambingnya sendiri, "pak?! Aku nanya lho!! Ke mana mama?!"

"Apasih kamu! Berisik banget! Mana bapak tau!! Emang bapak bawa ke manapun mama kamu!!?" Bianca menggeleng kepalanya perlahan seraya memajukan langkahnya kemudian menoleh pada salah satu rumah tetangganya, perempuan tersebut tidak mau mendebat sang ayah hingga di menit berikutnya perempuan tersebut tidak lagi melihat sosok bapaknya di depan kandang kambing, "Prilly, Priscilla, makan yang banyak ya. Biar cepat besar." Perempuan yang mendengarnya mengendikkan bahunya ngeri karena sang bapak memberi nama yang tak manusiawi, "cantik banget kalian berdua."

"Pak! Itu kambing lho! Masa cantik!! Bapak sehatkan!!" Sahut Bianca dari dalam ruangan tamu lalu berlari menghindari amukan bapaknya itu, menganggap bahwa bapaknya mulai gak waras ngajak ngobrol hewan itu terlalu gila apalagi mamanya masih ada.

"Anak semprul!" Jiraina mencoba mendengarkan keluhan dari para anggotanya yang ada di ruangan lain, hey! Bukannya gadis itu malas bertemu mereka akan tetapi perempuan bungsu dari dua bersaudara itu tampak tak mau menemui teman sekelompoknya walaupun kenyataannya laporan mereka baru akan selesai pada malam hari nanti, siapa pun pasti akan mengeluh jika dirinya mendengarkan kata-kata Diwangga, lalu ia harus apa? Menghadapi satu manusia seperti Bianca saja membuatnya cukup menjengkelkan. Karena posisi mereka berbeda ruangan bukan disebabkan adanya sekat dalam waktu mereka melainkan perempuan tersebut sedang ada urusan dengan beberapa Kadep Humas, Diwangga mencerewetinya yang dikata malas dan sebagainya, Jiraina hampir berteriak kencang jika tak ingat lagi raker fakultas untuk Porseni nanti.

Bosan. Bosan. Bosan.

Perempuan terus saja menguap lebar mendengar pidato dari ketua kelasnya, "siapa yang milih dia sih, bosen amat," gerutu Jiraina yang terlihat begitu skeptis. Bianca tak datang itu yang membuat perasaannya merasa bosan karena dirinya hanya perempuan sendiri, gadis yang lagi menguap-nguap kecil itu sempat terhenyak mendengar suara timpukan dari arah belakang tepatnya tempat Aruna dan Deswita berada, mereka berdua mengatakan menggunakan suara seperti berbisik: Jiraina memerhatikan gerakan bibir ranum Aruna yang berakibat pikirannya menjadi liar.