Pagi ini Jiraina mencoba untuk membuat sesuatu yang menyenangkan dan mengenakan, apalagi jika dimakan berdua dengan seseorang yang dekat dengannya akan tetapi perempuan tersebut sedang tak memiliki tambatan hati yang khusus terutama pasangan, Jiraina sengaja bangun setelah shalat subuh: jika kakaknya pergi meninggalkan dirinya sendirian di rumah karena harus pergi Tanjung Priok untuk mencari berbagai informasi, dirinya menyibukkan dirinya dengan toko onlinenya dan memasak makanan buat dirinya. Rumah sangat berantakan tak sedikit yang di gadis itu berantakin, persis seperti kapal pecah apalagi banyak barang online belum ia kirimkan ke pelanggannya, perempuan itu masih sibuk mencari letak wajan di dalam dapur, Jiraina terlalu bersemangat untuk membuat masakannya sendiri namun pada akhirnya semua makanannya hanya nterbuang saja dan menjadi makanan tidak enak dan gak sehat, perempuan itu terlihat letih dengan aktivitasnya. Bianca datang dengan beberapa varian makanan lalu gadis itu terperanjat kaget saat melihat rumah temannya sangat berantakan kaya kapal pecah. Bianca datang dengan beberapa varian makanan lalu gadis itu terperanjat kaget saat melihat rumah temannya sangat berantakan kaya kapal pecah. "Apakah! Lo habis demo heh! Gini amat?!" Jiraina menoleh cepat.
"A ... Untung ada lo, tolong dong bantu beresin." Bianca mengambil beberapa barang lalu disingkirkan begitu saja, perempuan yang lagi membereskan rumah Jiraina itu hanya memutar bola matanya jengah, padahal baru tadi siang ia membantunya untuk bersih-bersih rumah sekarang sudah seberantakan ini, bagaimana kalau besok, Bianca menyepak beberapa barang yang terlihat begitu berserakan di mana-mana. Dua perempuan itu tampak berpikir sebentar lalu melanjutkan aktivitasnya masing-masing yang membereskan rumah serta meja counter, cerocos Bianca tak berhenti sampai disitu saja, bahkan wanita yang kini sudah mulai bergerak dalam aksinya.
"Makanya lo tuh sering-sering kerja, kerjaan rumah tangga. Masa cewek cantik kaya lo gak bisa megang sapu!"
"Udah deh! Jangan ngoceh mulu!" sentak Jiraina yang tampak sebal akan ocehan temannya itu, "punya temen satu aja kerjaannya ngorceh terus." Jiraina sungguh-sungguh merasa sebal akan sikap cerewet dari Bianca, perempuan tersebut tidak hanya mengocehkan tentangnya saja semua yang ia dengar di kampus pun turut gadis itu ocehkan. Sang pemilik rumah sampai muak mendengarkannya, jika saja Brisia masih bersamanya pasti keduanya akan saling menyahut satu sama lain, perempuan itu tampak tercenung sejenak lalu menghela kasar saat lamunannya kembali buyar.
"Lo tau? Hari ini gedung cowok gue heboh pake banget?!" Perempuan yang terlihat sedang membersihkan lantai dapur itu tak mau peduli namun saat nama Linggar disebut secara tiba-tiba tangannya berhenti gerak begitu saja. Kepalanya menoleh cepat lalu mengernyitkan keningnya heran ketika menceritakan tentang kisah kampus sore ini, temannya itu tak sadar akan perubahan ekspresi wajah Jiraina yang semenit kemudian meninggalkan dapur tanpa sepengetahuan Bianca. Jiraina menelpon Aruna akan tetapi panggilannya tak terjawab, hey! Yang dia khawatirkan bukanlah teman satu kelasnya, bahkan perempuan tersebut tak mengerti mengapa dirinya begitu mengkhawatirkan keadaan Linggar. "Lha ke mana orangnya?"
Jiraina menghela panjang saat sampai di depan halaman, "ngapain gue khawatir sama cowok kaya Linggar? Gak mutu amat hidup gue," ucapannya meluruh lalu berbalik arah masuk ke dalam lagi. Perempuan tersebut tidak sempat berpamitan dengan Bianca tadi otaknya memang terlalu lemot jika sudah berhubungan dengan kampus, tak salah jika Brisia sering mengatainya: perempuan itu merindukan sosok Brisia. Yuandra menghela bosan melihat sosok yang ada di hadapannya lalu tersenyum manis— sangat manis hingga tak terlihat manis lagi, pemilik rumah itu menatap lurus perempuan yang kini sudah tinggal nama saja, tidak, jelas bukan Brisia kalau perempuan tersebut bermain-main dengannya maka bisa dipastikan bahwa ia akan menjadi target selanjutnya. Pisau itu tampak seperti seorang kekasih di mata Yuandra bukan terkesan barang mati yang tidak berharga, perempuan tersebut sudah menjadi gila sejak beberapa hari lalu.
"Apa lo mau kaya gitu juga?" Brisia menggeleng kepalanya cepat, agar pemuda itu cepat melepaskan dirinya. Perempuan tersebut mau tidak mau menjawab pertanyaan singkat dari pemuda itu, "satu pertanyaan, dua luka yang harus lo bayar. Itupun kalo lo jawab dengan jujur, bagaimana?"
"Terserah," pasrah saja Brisia.
"Oke!" seru pemuda tersebut senang, "siapa nama cewek cantik itu?"
"Jiraina."
"Boleh juga, ada hubungan apa si brengsek sama Jiraina?"
"Gak ada hubungan apa-apa." Yuandra tidak puas dengan jawaban Brisia, pemuda itu tampak berpikir sebentar lalu meraih pisaunya. Lalu tersenyum licik, "gue gak bohong! Dia sendiri!" Yuandra mengangguk sambil mengulas senyum tipis, kemudian ia menatap wajah Brisia dari dekat.
"Liat cewek itu," tunjuk pemuda tersebut. Yuandra rupanya tidak main-main dengan ancamannya, pemuda tersebut meletakkan tangannya pada leher perempuan yang lagi meringkuk ketakutan, "dia ... Mati ... Lo gak mau menyusul?" Brisia menggeleng kepalanya perlahan perutnya mual saat melihat darah keluar begitu saja karena tak ada penyekat ruangan di sana, Yuandra terkikik geli lalu melanjutkan permainannya. "Ada hubungan apa antara Jiraina sama si anjing!" paksa pemimpin BEM itu, Brisia hampir menangis.
"Sumpah gak bohong, mereka emang gak jalin kedekatan." Saat hendak menyayat leher perempuan tersebut, keduanya mendengar suara seorang mengetuk pintu kemudian kegiatan mereka berdua pun tertunda karena tiba-tiba polisi datang. Yuandra menyumpal mulut Brisia dan menghampiri mereka yang cukup lama berdiam diri di depan pintu masuk, Brisia menggeleng kepalanya perlahan seraya menunggu waktu saja untuk dirinya membuat sebuah isyarat. Perempuan tersebut menendang balok kayu yang digunakan sebagai penyangga pintu, brakh, Domain merasa aneh dengan pemuda ini, tidak berpikir bahwa Yuandra bukan tinggal sendirian di rumah itu.
Linggar menaruh mangkuk kecil di atas nampan lalu melintas dari arah belakang ke depan untuk menikmati hembusan angin segar sambil minum kopi yang baru saja ia buat sendiri, pemuda tersebut baru meletakkan bokongnya tetapi justru hidupnya sudah dibikin ribet oleh Rinco. "Apa Rin! Ganggu mulu heran."
"Adek lo berantem ege!"
"Ya terus kenapa? Kan udah gede." Rinco terperanjat ketika mendengar suara seorang Linggar yang benar-benar santai menanggapi beritanya, "kalo cuma mau bilang gitu doang, gue matiin telponnya." Rinco hampir memaki lelaki yang ada diseberang sana, belum sempat ia mengatakan jika Junior ada di kantor polisi sudah tidak diharaukan sama temannya itu, Bian menatap lurus pemuda yang terlihat seperti memiliki wajah oriental itu lalu bertanya.
"Gimana?" tanya Bian yang menunggu dengan cemasnya. Rinco mengendikkan bahu acuh lalu melanjutkan aktivitasnya sebagai wakil dari Junior, pemuda yang ada di dalam tahanan itu tidak terlihat seperti tertekan atau merasa takut. Berbanding terbalik dengan Linggar yang tampak tak peduli akan keselamatan Junior, bukan tak pedulikan juga sih hanya berpikir layaknya seorang kakak memercayai adiknya. "Gak mau dateng?"
"Boro! Langsung end coks!" Rinco sungguh kesal akan sikap Linggar. "Telponnya di matiin sama sama si kampret." Bian menghela panjang merasa tidak ada gunanya memanggil Linggar ke sana, Jiraina kesal akan berita kaleng yang dikasih sama Bianca karena perempuan tersebut membuatnya malu, sebenarnya yang berantem itu Linggar atau adiknya. Itu yang menjadi pikirannya.