Tercium bau busuk dari rumah samping, ya, seharusnya Yuandra tak konsekuensinya adalah warga mengetahui kegiatan di dalam rumah itu dan berakhir memanggil polisi untuk datang, karena meminimalisir terjadinya kemalangan pada rumahnya akan tetapi perempuan yang kini menjadi mayit itu sempat menuliskan sebuah pesan sebelum kepergiannya, penting bagi Brisia menyampaikan informasi terkait lelaki yang menyebabkan kematiannya, perhentian bukanlah sebuah perhentian biasa. Ada kisah menarik dalam perhentian itu, namun demikian Yuandra bukan lagi menargetkan perempuan biasa seperti Brisia dirinya sendiri tak yakin karena pesona gadis itu sungguh membuatnya merasa sangat tertarik, sadar diperhatikan dalam diam Jiraina dengan cepat seraya menyipitkan matanya tajam perempuan tersebut sudah berjalan lagi karena harus ke ekspedisi. Pemuda tersebut tidak ada waktu untuk mengikuti gadis tersebut lagi bahkan tidak memiliki belasan waktu untuk melakukan hal semacam ini, saat mendengar nama Brisia pria itu menjadi beku karena terlalu sering memakai belati yang sama dalam setiap langkahnya, simpang siur berita terbaru mengenai dunia perkampusan tidak Cuma mendengar suara perempuan tersebut saja, tetapi Yuandra adalah alasan mengapa Brisia memilih mati. Lelaki itu belum menyingkirkan mayitnya sungguh dirinya tak berbohong, demi Dewi padi yang turun dari langit biru! Pemuda tersebut belum membuangnya, bahkan bau itu semakin busuk dari dalam kamarnya; itu tampak seperti seorang pria kejam yang tak segan untuk membunuh setiap penghalang. Polisi tangkap pelaku pembunuh lain yang mengatasnamakan dirinya, beruntungnya itu bukan dirinya, "Head Master? Memuakkan sekali orang itu memakai namaku," decakan tampak seperti seseorang yang kesal.
Apa ia sudah benar-benar tidak waras hingga semua orang kampus berubah menjadi wajah Brisia? Hey! Bahkan baru tadi siang ia membuang mayit itu ke jurang dan tak ada yang bisa menemukan lokasi di mana mayit itu berada, Yuandra tak mungkin terbayang dalam ilusi. Obyek-obyek yang membuat perasaannya tidak waras kini sudah tinggal nama semua, lelaki itu pengin hidupnya tenang setelah mendengar penuturan setiap anggotanya di ruang rapat koordinasi BEM tak menutup kemungkinan kalau akan ada Mapala ke daerah di mana dia membuang Brisia, "pilihan buat Mapala itu sesuai sama hasil like anak kampus. Gak menutup kemungkinan juga orang-orang Hima ikut serta dalam kegiatan ini, elo harus bijak Yuan, kalo gini terus lo bakal tertinggal jauh sama ketua Hima." Pemuda itu diam namun menarik nafas dalam, tangannya menggerak secara refleks memainkan ketukan sembari berpikir bahwa mereka benar, perihal siapa ketuanya dan apa yang dirancang nantinya itu masalah belakang, yang terpenting event ini gak boleh gagal. "Jangan mau kalah kesempatan gak datang dua kali, bahkan rektor udah kasih kita pilihan buat acara ini, kan? Jadi tunggu apalagi? Festival photography bentar lagi, dan acara kita, Mapala berbentrokan sama acara itu." Lia mengangguk sambil mengulas senyum tipis, ada sesuatu yang membuat perempuan itu tampak seperti merencanakan kejahatan dibalik senyuman liciknya itu.
"Jeka bener, lo jangan mau jadi ketua yang gak ada harga diri kaya gini," ucap perempuan di sebelahnya mengatakan bahwa mereka tidak boleh kalah dari orang-orang Hima, Lia semakin mendominasi suasana yang ricuh itu menjadi sangat riuh.
Jiraina menghela panjang merasa tidak nyaman dengan tatapan anak-anak fakultas apalagi berita baru menyebar melalui sambungan telepon ke telepon lainnya, berita terkait lelaki yang berubah menjadi sangat liar karena dirinya, "eh! Bacot ya kalo emang Linggar masuk ke club' kenapa?! Urusan amat sama gue!!" bentak lelaki yang juga duduk menggosipkan dirinya, perempuan tersebut merasa kesal karena selalu jadi bulan-bulanan warga kampus.
"Ya urusan lo lah, kan itu cowok lo. Haha!"
"Ha-ha-ha! Mata lo haha! Si anjing ngeselin banget, awas aja kalo gue liat lo di tempat yang sama. Gue yang paling julid!" Jiraina mencoba untuk meredam amarahnya itu kemudian berjalan melewati lorong kampus dan mencibir setiap orang yang mengatainya, bahkan tidak menggubris perkataan teman-temannya padahal itu di dekat telinganya sendiri, Linggar menghampiri perempuan tersebut, pemuda itu kelihatan mengerutkan keningnya heran ketika memandang wajah gadis di sampingnya, Jiraina tetap menggerutu pelan. Kelas bahasa tidak begitu ramai karena dosen pengajarnya tidak hadir akan tetapi tugas tetap mengalir seperti air yang baru dibuka dengan kran, perempuan tersebut mengerjakan tugasnya di dekat jendela seraya memandang lurus arah luar jendela kelas, wanita yang tampak termenung menatap ke satu objek pemandangan indah.
"Dor!" Aruna mengagetkan Jiraina yang terlihat kaget lalu tersenyum manis pada perempuan tersebut, "gimana-gimana tugas kerkom? Udah selesai?" tanya pemuda tersebut.
"Gimana mau selesai, kalo anak-anak aja ngaret," keluh Jiraina yang terlihat begitu lelah dengan tingkah Diwangga dan kawan-kawannya. Bahkan perempuan itu tak mau disatukan lagi kecuali Aruna; itu masih jadi pertimbangan bagi Jiraina, menghela panjang lelaki itu pengin sekali menegur satu persatu dari anggota kelompok mereka. Keduanya saling mengobrol dengan santai lalu pandangannya agak sedikit berbeda dari sebelumnya, tidak, Jiraina tidak menyukai temannya itu namun demikian pemuda tersebut tampak kurang nyaman akan perhatian warga kelas, dua pasang obsidian menatap lurus ke dalam kelas yang letaknya tak jauh dari lapangan basket. Jiraina dan Aruna banyak membicarakan tentang organisasi dan semacamnya keduanya saling melengkapi dalam tawa, bahkan Linggar begitu tak fokus akan pertandingan terakhir mereka. "Gue sebenernya sih malas ke kampus hari ini, tapi tugas gue numpuk banget. Gak ada yang bisa dikerjain juga di rumah karena itu gue ke kampus," jelas perempuan tersebut.
"Yaudah nanti pas pulang bareng aja," ajak Aruna yang langsung mengalungkan tangannya pada bahu gadis di sebelahnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka lebar dan menampilkan sosok Linggar tengah tersenyum pada perempuan itu, Jiraina mengerutkan keningnya lalu tersenyum sembari membalas senyuman itu, tak hanya senyuman saja yang Linggar berikan kepadanya. Pemuda tersebut menarik lengan Jiraina lalu menahan perempuan ini bahkan Linggar menyuruh Aruna untuk pulang, agak sedikit canggung saat mengatakan hal itu namun demikian menolak pria yang ada di depannya tersebut malah tergelak. "Jadi lo udah ada yang jemput? Di dropin depan rumah, kan? Bukan cafetaria belakang fakultas?" ledek lelaki yang mulai berjalan menuju pintu keluar.
"Apaan sih! Lucu banget lo, Aruna." Aruna masih menertawakannya bahkan tidak menggubris cercaan dari Jiraina, perempuan itu menoleh pada Linggar yang tampak santai. "Dan elo lagi! Ngapain sih kesini? Ada perlu apa?" Malas Jiraina yang mendengus dingin kemudian melengos pergi meninggalkan pemuda yang ada di dalam sana, pemuda itu terkekeh geli karena memandang wajah gadisnya itu tampak menggemaskan. "Apasih! Kok ngakak!"
"Lo lucu," kekeh lelaki itu.