Dengan lihai Naya memasak menu kedua. Dito hanya terus memanjangkan lehernya karena tidak mau aktifitas Naya memasak tertinggal.
"Itu apa Nay?" tanya Dito sambil mendkati Naya.
"Ini merica. Gak tau ya Lo? Masa gak tau sih?" Naya terkekeh.
Dito pun mengambil merica bubuk yang ada di tangan Naya, lalu menciumnya. "Ohhhhookk.... Emmm, ko gini sih Nay baunya? Pedes banget ke idung. Gue kira wanginya kek royko gitu, asem gue. Ohoookk..." Dito terus batuk setelah mencium merica bubuk, sedangkan Naya terkekeh melihat kelucuan yang terjadi.
Tanpa merespon lebih panjang, Naya mengambil alih lagi merica yang akan digunakan untuk masak menu kedua.
Naya menngolek-golek masakannya, sesekali ia mencicipi rasanya. Bukan Dito jika tidak membuat usil, ia menambahkan satu sendok makan garam ke dalam wajan ketika Naya mengambil mangkuk.
"Hhha... rasain nih. Pasti mukanya jelek banget pas nyobin lagi," Dito terkekeh pelan sambil menggendong Mauren.
Naya kembali dengan mangkuknya, ia simpan dan mencicipinya kembali. "Uoook..." raut wajah Naya mengkerut keasinan. "Astaghfirullah, ko rasanya jadi asin begini? Perasaan tadi gak asin banget gini." Naya terdiam sesaat, kemudian langsung melirik ke arah Dito yang sudah duduk rapi di kursi tadi.
Tatapan Naya membuat Dito tak tahan menahan tawanya. Tapi ia berusaha untuk tetap polos tak tau apa-apa, ia memalingkan tatapannya sebelum Naya bertanya.
"Pasti kerjaan Lo kan?!" Naya menyelidiki.
"Apaan?" tanya Dito polos. Padahal sebenarnya ia benar-benar ingin tertawa puas.
"Jujur atau...." Naya sedikit mengancam dengan acaman biasa.
Dito langsung tertawa dan mengakui semuanya, ia takut kalau Naya mengambil sarang laba-laba dan disimpan di atas kepalanya. Dito memang tidak suka dengan sarang laba-laba, karena ia merasa jiji dengan kotornya sarang laba-laba yang menggantung di mana-mana.
"Ngapain sih Dit, ini kan buat makan kamu juga. Gak ada kerjaan deh. Mau dimakan kalau asin kayak gini?" mood Naya sedikit berubah.
"Eh iya maaf-maaf, gue cuma mau liat muka Lo jelek aja. Lagian tiap hari cantik mulu, iyayyy gak Mauren?!" tanya Dito pada Mauren yang hanya mengedipkan matanya sambil menjilat tangannya sendiri.
"Gak usah gombal! Gue gak mau lagi temenan sama Lo kalau sering gombal, nanti beda cerita ke sananya Dit." rengek Naya yang sering dilihat oleh Dito sejak lama.
Dito tertawa puas, "Oke enggak lagi deh," Dito mengalah, ia pun menghentikan tawanya.
Setelah drama yang terjadi, Naya dan Dito makan bersama. Ekspresi Dito sangat beda ketika makan masakan Naya, sampai beberapa kali nambah.
"Ini sih Lo wajib jadi chef, Gue dukung terus pokoknya. Apalagi menu yang kedua nih, cumi jagung mudanya beuuh... maknyus bangggettt. Sayang sih si Mauren belum bisa makan masakan kakaknya, padahal rasanya udah kaya di hotel yang berbintang." celoteh Dito sejak tadi tak mau berhenti.
"Emang Lo pernah makan di hotel?" Naya menaikkan kedua alisnya.
Sontak Dito langsung menunjukkan giginya yang rapi, "Hehehe belum, tapi bener enak loh. Mami Gue wajib coba, ini sisanya buat mami aja kali ya?" Dito meminta persetujuan Naya.
"Iya boleh, tapi kan ini dikit lagi. Lo juga yang ngabisin," Naya menatap dengan ujung matanya.
"Eh hhe maaf Nay, lagian enak banget masakan Lo." Dito kembali terkekeh dengan mulutnya yang penuh dengan makanan.
Naya menggeleng heran pada sahabatnya yang sangat konyol, ia benar-benar tidak habis pikir mempunyai sahabat seperti Dito.
Usai makan bersama, Dito pamit dengan membawa kresek berisi lauk masakan Naya. Belum juga melangkah menjauhi pintu kosan, Dito dikejutkan dengan kedatangan seorang pria muda yang tidak dikenalnya.
Naya melirik ke arah Dito dan pria muda tadi. Begitupun dengan Dito dan pria muda, mereka sama-sama melirik dengan sedikit kaku untuk bicara terlebih dahulu.
"Emm Naya, ini ada yang ketinggalan. Padahal ini lebih penting dari barang yang semalam," ucap di pria muda tadi sambil menunjukkan kresek besar berwarna hitam.
Jelas Dito kebingungan, pria ini siapa datang-datang ngasih kresek jumbo. "Semalam??" tanya Dito pada Naya.
"Ah iya, aku eh gue... belum cerita sama Lo, kalau mas ini ngasih kebutuhan Mauren semalam. Ah mas perkenalkan, ini Dito sahabat saya dari kecil." ucap Naya dengan cepat karena tidak mau ada salah paham diantara mereka.
Dengan cepat pula pria muda ini mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Dito.
"Ardi!"
"Dito!" Dito menerima uluran tangan pria muda ini.
"Oh mas Ardi namanya, makasih ya mas. Kebutuhan Mauren sangat bermanfaat, padahal tidak perlu dibelikan, nanti kerepotan masnya." Naya sedikit terkekeh untuk menghilangkan kecanggungan diantara Dito dan Ardi.
"What?! Lo baru tau nama dia?" tanya Dito heran.
Naya mengangguk dan menyengir, ia pun benar-benar baru mengetahuinya kali ini. Meskipun di tempat kerjanya mereka sempat bertemu, dan di malam tadi pun bertemu. Tapi, Naya tidak sempat bertanya siapa pria ini.
"Masnya tinggal di kosan sini juga?" tanya Dito yang langsung dijawab oleh Ardi. "Ah iya, kebetulan baru beberapa hari ini saya pindah ke sini." Jawabnya.
"Oh gitu, kebetulan atau memang direncanakan niat ke sini?" Dito menyelidiki.
"Dit!!" Naya memperingati kalau pertanyaan Dito mengasal.
"Eh iya kan gue nanya bener Nay, siapa tau dia emang ada rencana pindah ke sini. Kan kosan di sini sebenarnya kurang layak untuk mas itu," bisik Dito yang dapat didengar oleh Ardi.
Ardi terkekeh, "Enggak ko mas, saya kebetulan ketemu Naya di sini. Saya hanya ingin membantu aja sesama rekan kerja," Jelas Ardi meyakinkan Dito agar percaya kalau Ardi memang tidak memiliki niat lebih selain membantu sesama rekan kerjanya.
Dito pun mengangguk sambil menarik sebelah mulutnya, terlihat Naya pun menggeleng dengan sikap Dito yang belakangan ini dianggap aneh.
"Oh iya, bukannya Lo mau pergi? Lauknya keburu dingin nanti, terus si..."
"Enggak! Bentar lagi gue pulang. Setelah masnya pergi," Jawab Dito sedikit ketus. Tanpa disadari, Ardi pun menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Ah baiklah, Naya, ini diterima ya. Semoga kamu dan Mauren sehat selalu, maaf mengganggu waktunya." Ardi menatap Naya dan mengalihkannya cepat ke wajah Dito.
Naya pun tersenyum dan mengangguk, "Maaf juga mas merepotkan, terima kasih atas keaikannya. Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik,"
"Aamiin Nay. Emm, saya permisi dulu. Mari, mari mas!" senyuman Ardi terlihat manis di hadapan Dito dan Naya, tapi di pandangan Dito senyuman itu bagaikan makanan yang diberi garam tujuh puluh sendok, sangat asin, dan mungkin terasa pahit.
"Kenapa sih Lo?!" Naya tersenyum tipis dengan tatapan di ujung matanya.
"Gue?! Gak papa, gue cuma mau tau aja siapa dia. Lagian sih Lo gak cerita kalau orang tadi ngasih kebutuhan Mauren,"
"Terus kalau gue cerita Lo mau apa?" pancing Naya.
"Ya... enggak mau apa-apa, cuma tau aja. Gak salah kan gue?!"
Naya mengangkat kedua bahunya tak mau melanjutkan lagi, lalu ia pergi masuk membawa Mauren duduk di kursi dalam.
"Eh Nay! Ko masuk sih?!" tanya Dito kesal.