"Kerja apaan gajinya sampe puluhan juta begitu? Dalam waktu sekejap lagi, gak sampe satu bulan." Kekesalan di dalam diri Dito masih terlihat.
"Sepertinya jika mau diceritakan dari awal kita harus duduk deh, Mi!" Ajak Naya dengan tatapan yang meledek pada Dito.
Dito memalingkan pandangannya, lalu ia memosisikan tidurnya senyaman mungkin.
"Jadi gini, Mi. Naya bekerja di rumah Seno, sebagai pembantu rumahnya. Tapi di sana gak banyak yang dilakukan oleh Naya, Naya hanya dikhususkan untuk memasak lauk sarapan dan makan siang. Terus … " di sana Naya menceritakan mengapa dirinya bisa mendapatkan uang puluhan juta dengan waktu yang tidak sampai satu bulan.
Bu Asih, suaminya, dan Dito mendengarkan penjelasan Naya dengan sangat fokus. Tapi kefokusan itu terhenti ketika handphone Naya berdering setelah datanya dinyalakan.
"Seno?!" Lirih Naya dengan kedua alisnya yang menyatu.
Dito sedikit melirik ke arah handphone Naya, "Kenapa gak diangkat?!" Tanyanya sewot.
"Gak penting." Jawabnya simpel.
Jawaban itu membuat Dito berekspresi semakin datar, "Oh gak penting ya, coba rijek kalau gak penting." Titahnya.
Dengan cepat Naya merijek panggilan itu dan mematikan handphone-nya. Lalu ia buka SIM card-nya dan disimpan di nakas rumah sakit.
Tatapan Bu Asih dan suaminya beradu. Dalam sorot mata mereka mengatakan jika anaknya itu cemburu dengan pria yang menelepon Naya barusan. Enggan hanyut dalam kecanggungan, Bu Asih langsung meminta agar Naya kembali menceritakan soal uang itu.
Dengan tulus Naya memenuhi permintaan Bu Asih. Ia tidak mau lagi ada kesalah pahaman di dalam diri Dito. Meskipun cape, Naya terus belajar ikhlas melakukan itu semua.
Tidak hanya itu, Naya menjelaskan siapa orang yang mengantarnya ke gedung Wish untuk mengikuti acara tehnikal meeting. Meskipun geram, tapi Dito tetap menghargai Naya yang sudah menjelaskan semuanya hingga tuntas.
Saat suasana itu mulai mencair, Naya tak lelah menceritakan apa saja yang dilakukan di gedung Wish. Ia pun memberitahu Dito kapan acara lomba dari Rebmo Group itu dilaksanakan.
"Sepertinya gue masih di sini deh, gue nyesel gak bisa nganter Lo ke mana-mana, Nay!"
Mendengar itu Naya tersenyum, lalu ia memukul lengan Dito dengan jawaban, "Tak apa, yang penting Lo sehat dulu." Ucapnya dengan alis yang terangkat.
Kedua orang tua Dito tersenyum bersama, tapi mereka pun tetap akan waspada mengawasi anak bujangnya itu.
Tujuh hari berikutnya, Naya berjalan menuju jalan raya. Ia berniat pergi ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan lain untuk latihan masak. Percobaan ini adalah percobaan Naya yang kesekian kalinya.
Meskipun rasanya tidak pernah gagal, tapi Naya terus berlatih dan terus mencoba agar dirinya tidak mengecewakan banyak orang termasuk dirinya sendiri.
Berhasil memasak adalah sebuah penghargaan bagi dirinya sendiri. Mengapa tidak? Ia yang terus berharap menjadi chef itu terus berusaha dan merelakan dirinya terkena Omelan bahkan usiran dari ayah kandungnya sendiri.
Bukan hal mudah, tapi Naya lakukan itu karena rasa cintanya terhadap cita yang selama ini ia genggam dan jaga.
"Ayah, beli ini, ini, ini, ini, dan ini." Tunjuk Naya pada sayuran yang tergelar di depannya.
Ayah Dito yang sedang menjaga dagangannya langsung mengambil sayuran yang ditunjuk Naya barusan. Bahkan sayuran itu langsung dibungkus dengan kresek hitam berukuran sedang.
"Kamu mau jam berapa pergi ke rumah sakit?" Tanya ayah Dito sambil menimbang sayurannya yang ada di kresek putih.
"Sepertinya nanti malam, Yah. Naya mau latihan masak, sama nanti juga mau bawain masakan buat Dito." Jawab Naya dengan yakin.
Lumayan lama mengobrol dengan ayah Dito, Naya kembali ke kosannya dengan berbagai macam tentengan di tangannya. Tak hanya tentengan, ia pun menggendong Mauren yang sejak tadi rewel karena kegerahan.
Sesampainya di kosan, Naya menggelar berbagai sayurannya di meja reyot yang sudah ada di kosan itu sejak lama.
Ada dua menu yang akan dibuat untuk percobaan, lalu dua menu lagi akan dibuatnya untuk Dito dan orang tuanya nanti.
Percobaan pertama, Naya akan membuat sup yang lumayan menarik. Sup kali ini termasuk menu tradisional dari Solo atau Surakarta.
Naya menyiapkan bahan-bahannya berupa: tepung bumbu instan satu bungkus, tiga telur ayam, daun bawang, penyedap rasa, garam, gula, bawang Bombay, jagung pipil, wortel, ayam cincang, tiga siung bawang putih, merica, dan lada.
Naya memasak percobaan ini sambil menggendong Mauren. Ia tidak mau melepas Mauren atau pun meninggalkannya seorang diri di kamar. Sangat sulit, tapi itu menjadi tantangan tersendiri baginya.
"Semoga percobaan ini berhasil ya, Mauren!!" Seru Naya sambil memainkan pipi Mauren yang sangat tembem.
Naya mengocok dua telur terlebih dahulu, lalu ia buat atau masak menjadi telur dadar. Sambil menunggu telur dadar matang dengan sempurna, ia memotong wortel menjadi kotak-kotak dan langsung mengukusnya bersamaan dengan jagung pipil.
Naya mencoba telur dadar itu, dan rasanya enak dan bumbunya pas. Kemudian ia melanjutkan dengan mencampurkan ayam cincang dengan tepung bumbu, satu telur ayam, dan daun bawang. Ia mengaduk bahan itu sambil mengajak Mauren berbicara.
"Nya, nya, nya, nya." Jawab Mauren yang Naya sendiri pun tidak tau apa artinya.
Dengan tubuh yang meliuk-liuk, Naya mengambil piring yang akan digunakan sebagai penampungan telur dadar yang diisi bahan ayam cincang tadi. Lalu mengukusnya dengan waktu setengah jam.
Dengan lantunan shalawat yang sangat merdu, Naya lanjut menumis bawang Bombay, bawang putih, lada, dan sejumput garam. Tidak lupa Naya memasukkan air, penyedap rasa, dan gula pasir ketika tumisan bawang itu tercium harum.
"Yeyyy, terakhir!!" Teriak Naya sambil mengangkat kedua tangan Mauren tinggi-tinggi.
Naya menyiapkan mangkuk, lalu menaruh kukusan telur isian daging ayam kedalamnya.
"Burrr … " Naya menyiram kuahnya ke dalam mangkuk tadi.
Baru saja menyelesaikan percobaan pertama, Dito sudah menelepon Naya hingga lima kali. Saking asiknya memasak, ia sampai lupa jika handphone-nya berdering sejak tadi.
"Apaan sih?! Gue lagi masak juga. Ganggu aja, Lo!" Omel Naya yang langsung dijawab kekehan oleh Dito dari seberang sana.
"Kangen, kangen. Gak ada kata lain apa selain kangen? Awas ya kalau udah sembuh, liat aja! Gue cubit hingga berdarah, gue tahan kekesalan gue karena Lo sering bilang kangen kek gitu. Udah kena cubitan tau rasa, Lo!" Ancam Naya yang lagi-lagi malah dapat kekehan dari Dito.
"Cubit saja, Nay! Jangan dikasih ampun!" Teriakan Bu Asih terdengar oleh telinga Naya. Sehingga Naya menyengir karena malu sudah mengancam anaknya.