Pak Budi dan Ibu Fadila sudah menunggu Eliza untuk sarapan bersama.
"El, kemarin malam kamu pulang jam berapa?" tanya Ibu Fadila.
"Jam 10 lewat 15 menit Bu."
"Kamu pergi sama siapa sih El?"
"Sama teman Bu," jawab Eliza sembari menyantap roti yang ada di depannya.
"Teman atau teman?"
Eliza berhenti makan, dia melirik Ibunya, "Pasti kemarin Ibu lihat aku berangkat sama Mas Dirga, harus jawab apa ya .…" batin Eliza.
"Sudahlah Bu, biarkan Eliza sarapan dulu .…" celetuk Pak Budi.
"Kan mengobrol ringan saja sih Pak, wajar dong Ibu tanya anak gadisnya semalam ke luar dengan siapa … jarang-jarang juga Eliza ke luar malam, iya kan El?"
"Iya Bu, itu teman saja. Kebetulan dia baru datang dari Magelang, jadi ajak ketemuan gitu .…"
"Dia yang perwira polisi itu bukan sih El?" tanya Ibu Fadila lagi.
"Iya Bu."
"Kamu punya teman perwira polisi El? Hebat benar pergaulanmu Nak, sampai perwira saja ajak kamu ketemuan. Keren anak Bapak …" sahut Pak Budi tersenyum.
"Husss apa-apaan sih Pak, memang kenapa kalau perwira polisi?"
"Ya keren dong Bu, perwira polisi loh .…"
Bapak dan Ibu Eliza berdebat tidak jelas, Eliza tidak ikut campur. Dia membiarkan Bapak dan Ibunya ribut memperdebatkan status Dirga.
"El, sebenarnya hubungan kamu sama Eric sudah bagaimana sih?"
"Ya begitu saja Bu."
"Begitu bagaimana? Jangan digantung loh El .…"
"Aku gak ada menggantungkan hubungan kami Bu."
"Terus namanya apa? Kamu pacaran sama Eric tapi jalan sama si perwira polisi itu. Itu namanya apa El, itu gak baik loh."
"Sudahlah Bu, biar itu jadi urusan Eliza. Eliza bukan anak-anak lagi, biar dia yang urus urusannya." Pak Budi memberikan pembelaan pada Eliza.
"Justru itu Pak, karena dia bukan anak-anak tapi yang Ibu lihat dia bertingkah seperti anak-anak gitu loh," jawab Ibu Fadila tegas, "Ibu gak mau kamu nanti jadi malu El, kamu ambil keputusan dengan siapa kamu berhubungan."
"Bu, aku sama Dirga itu hanya teman. Gak lebih .…" Eliza berusaha meyakinkan Ibu Fadila.
"Kamu tatap mata Ibu," ujar Ibu Fadila mengangkat dagu Eliza. "Sekarang kamu bilang lagi, kalau kamu hanya teman biasa dengan Dirga."
"Bu … suduhlah .…" Eliza menghindar, memang Eliza paling tidak bisa berbohong pada Ibu Fadila.
"El, kurangnya Eric itu apa?"
"Aku juga gak tahu Bu, tapi aku merasa hubungan kami sudah terasa hambar. Aku sudah gak merasa nyaman lagi dengan Eric Bu." Akhirnya Eliza memberikan pengakuan.
"Apa karena sakitnya? Kamu gak mau terima dia dalam keadaan sakit?"
"Ya mungkin itu salah satunya Bu, dengan dia sakit semua rencana kami gak akan bisa jalan. Jadi hubungan kami juga berhenti begitu saja, gak tahu dibawa kemana."
"Tapi kan dia masih dalam proses pengobatan El .…"
"Bu, aku dokter loh. Aku tahu persis sakitnya itu apa dan bagaimana. Itu penyakit berat dan sewaktu-waktu akan .…"
"Sudah … sudah … Ibu sudah paham," potong Ibu Fadila. "Terus kamu kapan mau selesaikan sama Eric semuanya?"
"Aku gak tahu Bu, aku belum berani bicara sama Eric sekarang .…"
"Kalau kamu belum berani bicara dengan Eric sekarang, kenapa kamu berani jalan sama laki-laki lain? Kamu lebih dari sekedar teman kan dengan polisi itu?"
Eliza hanya diam, dia sadar kalau dirinya memang salah.
"El, kamu punya hak untuk memilih dengan siapa kamu berhubungan. Tapi kamu gak punya hak untuk menyakiti hati orang lain, terutama hati Eric. Hubungan kalian sudah lama, Bapak dan Ibu juga sudah mengenal keluarganya, hubungan kalian sudah menyangkut keluarga 2 belah pihak. Kamu juga tahu kan bagaimana Ibunya Eric menaruh harapan kalau kamu yang akan menjadi istri Eric. Jadi kalau kamu mempermainkan perasaannya, sama saja kamu menyakiti keluarganya. Kalau memang kamu sudah tidak punya perasaan lagi sama dia, selesaikan. Terlepas dari apapun alasannya kamu meninggalkannya, entah itu karena alasan sakitnya Eric ataupun karena kamu baru kenal dengan si polisi itu. Datangi Eric, bicara baik-baik. Ibu gak mau anak Ibu dicap sebagai tukang selingkuh."
"Iya Bu." Eliza mengangguk lemah.
"Apa yang dikatakan Ibu kamu itu benar El, kamu selesaikan dulu hubungan kamu dengan Eric baru buka hati dengan orang lain. Kamu tidak sepenuhnya salah, posisi kamu tidak mudah. Wajar saja kamu berpikir kembali untuk melanjutkan hubunganmu dengan Eric mengingat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Itu manusiawi," tambah Pak Budi.
Pagi-pagi Eliza sudah mendapat sarapan tambahan dari kedua orangtunya, Eliza paham apa yang dikatakan kedua orangtuanya benar tapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Dia belum cukup berani datang pada Eric untuk menyudahi semuanya.
***
Sudah beberapa hari ini Eric mengurung dirinya di kamar, emosinya tidak terkontrol. Telepon selulernya hancur dibanting. Tidak ada yang tahu kenapa Eric bisa seemosi itu.
"Mia … tolong kamu telepon Eliza dong. Suruh ke sini, Mamah gak tahu gimana mengendalikan Eric lagi."
"Mah, kalau Eliza niat pasti datang kok .…"
"Heiiii kamu kenapa jawabnya begitu sih, Eliza itu pasti sedang sibuk makanya sulit membagi waktu. Bukan gak niat datang ke sini."
"Ya sudah, berarti dia lagi sibuk kan? Gak usah diganggu lagi .…"
"Tapi itu Eric marah-marah terus Mia, hanya Eliza yang bisa mengendalikan dia."
"Mamah saja deh yang telepon."
"Kamu ya, buat adik sendiri saja susah dimintai tolong!" gerutu Ibu Eric kesal.
Mia tidak menjawab, bukan dia tidak mau membantu hanya saja dia sudah tidak menyukai Eliza lagi semenjak dia tahu Eliza jalan dengan laki-laki lain. "Kalian gak tahu sih apa yang dilakukan Eliza di belakang Eric," gumam Mia.
Ibu Eric menghubungi Eliza memintanya datang siang ini ke rumah untuk membujuk Eric makan dan minum obatnya. Eliza menyanggupi dan berjanji akan datang ke rumah Eric siang ini. Jam 2 siang Eliza sampai di rumah Eric dan langsung disambut Ibu Eric.
"El … maaf ya sudah merepotkan."
"Gak apa-apa Tante .…"
"Tante bingung lihat Eric, marah-marah terus. Makan gak mau, obatnya dibuang, kontrol ke dokter juga gak mau. Tante bingung bagaimana menghadapinya."
"Ooh pantas saja … tadi aku coba telepon Eric, nomornya gak aktif."
"HP nya hancur El, dilempar sama dia."
"Astaga, kenapa bisa sampai seperti itu ya Tante?"
"Tante juga gak paham, kamu coba bujuk ya El … dia sedang ada di kamarnya."
"Iya Tante."
Eliza masuk ke kamar Eric, Eric sedang duduk di dekat jendela. Begitu mendengar pintu dibuka, Eric menoleh. Dia menatap wajah Eliza dengan sendu. Eliza merasa iba, dia mendekati Eric, "Hei, kamu kenapa? Katanya marah-marah terus, ada apa Ric?" tanya Eliza lembut.
Eric tidak menjawab, dia hanya menatap Eliza lebih lekat lagi.
"Ric, jangan diam saja dong. Tadi aku hubungi kamu, nomor kamu gak aktif. Ada apa sih?"
"Jangan tinggalkan aku El …" ucap Eric lirih.
Dada Eliza seketika menjadi sesak, bagaimana dia sanggup untuk menyudahi hubungan mereka dengan keadaan Eric yang seperti ini. Mata Eric berkaca-kaca, memelas minta dikasihani. "Kenapa kamu jalan dengan laki-laki lain El, tunggu aku sembuh. Aku akan ajak kamu kemana kamu mau," tambah Eric lagi.
Hati Eliza semakin tersayat, tapi dia sadar bahwa ini bukan bagian dari cinta lagi tapi ini hanya sebatas rasa kasihan.