Chereads / Nikah Dadakan / Chapter 14 - BAB 13: "Kita... Baikan?"

Chapter 14 - BAB 13: "Kita... Baikan?"

Langit yang terus-menerus menumpahkan isinya tanpa memerhatikan ada seorang anak kecil yang menangis sendirian di sebuah taman bermain.

Anak itu diam saja di tempatnya walau hujan terus mengguyur tubuhnya. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang demi menghindari hujan, dia mencari ibunya. Berharap kalau ibunya ada di antara orang-orang itu.

"Mama!" Panggilnya sambil terus menangis.

Walau suaranya diredam oleh hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya, dia terus memanggil sang ibu.

"Mama dimana?! Mama!"

Tidak ada yang peduli padanya, karena orang-orang sibuk menghindari air hujan.

Anak itu takut, sendirian di tempat asing ini bersama orang-orang asing pula. Seharusnya dia tidak meminta ibunya untuk kemari.

"Aku janji aku enggak nakal! Mama! Aku nggak nakal!"

Lalu tiba-tiba seorang wanita muncul di tengah-tengah lapangan yang sudah tidak ada orang. "Mama?"

Seketika tangisnya berhenti, anak itu pun langsung mengejar si wanita yang hanya diam menatapnya dengan tatapan kosong.

Dan kemudian sebuah petir yang sangat-sangat besar dikeluarkan langit, dan menghantam tepat di tempat si wanita berdiri.

"MAMA!"

Nafas Sakha memburu saat matanya terbuka lebar. Buru-buru pria itu duduk dari tidurnya. Tangan Sakha gemetaran saat mengingat kembali hal barusan. Dan saat matanya melirik ke seisi ruangan, barulah Sakha sadar kalau dia sedang bermimpi buruk.

Mimpi buruk yang sangat menakutkan. Mimpi buruk yang ingin membuatnya menangis sekarang.

"Udah bangun?" Suara khas baru bangun tidur itu membuat Sakha menoleh ke samping. Matanya melotot kaget saat melihat Naraya tidur di meja belajar miliknya.

"Aku di kamar kamu?" Tanya Sakha panik.

Naraya menganggukkan kepalanya, "Hm, tadi kamu pingsan."

"Pingsan?!"

Perempuan itu berdecak, "Iya, nggak usah heboh gitu. Tadi aku ketemu kamu lagi jongkok di gang buntu. Manggil-manggil mama, terus pas aku panggil kamu pingsan dan ternyata demam." Jelasnya. Naraya sengaja tidak mengungkit soal pelukan. Biarlah hanya dia, semut-semut, dan Tuhan saja yang tahu.

Sakha menatap Naraya dengan tatapan menyesal, "Maaf... Kamu bawa aku sendirian?"

Hembusan nafas pendek Naraya keluarkan, "Iyalah! Mana ada orang keluar hujan-hujan gitu." Balasnya jengkel.

Naraya berjalan mendekati Sakha yang masih duduk di atas kasurnya. "Gimana keadaan kamu? Baikan?" Lalu tanpa aba-aba dia langsung meletakkan telapak tangannya di kening Sakha.

Sakha berjengit kaget karena itu, "E-enggak apa-apa."

"Masih panas gini, apanya yang nggak apa-apa?"

Sakha hanya diam. Yah, sebenarnya dia memang masih merasa pusing dan lemas. Yang tadi itu hanya kata-kata spontan saja.

"Kamu harus makan biar bisa makan obat. Aku masakin bubur dulu." Perempuan itu kemudian bangkit untuk pergi ke dapur.

Tapi panggilan dari Sakha membuatnya berhenti di ambang pintu.

"Naraya,"

"Hm," jawab Naraya tanpa membalikkan tubuhnya.

"Maaf karena udah buka-buka barang kamu sembarangan."

Lagi, Naraya hanya bergumam pendek, "Hm," diam-diam dia menggigit bibirnya. "Aku juga minta maaf."

"Kita baikan?"

Ada jeda cukup lama di antara mereka. Sakha pikir Naraya tidak akan menjawabnya dan langsung pergi saja. Tapi melihat perempuan itu masih berada di ambang pintu, Sakha yakin masih ada yang ingin dia katakan.

"Iya," setelah mengatakan itu, Naraya melesat pergi ke dapur.

Sakha tersenyum lebar mendengarnya. Berarti mereka sudah berbaikan bukan?

***

Mata Naraya terus memandangi Sakha yang memakan buburnya sedikit demi sedikit.

"Enggak enak?"

Sakha menggeleng pelan, "Bukannya enggak enak. Cuma lagi nggak selera aja." Padahal sejujurnya... Ya, lagi-lagi masakan Naraya keasinan.

Suasana kembali menjadi hening.

Dari tadi situasi ini terus terulang. Ada yang berbicara, dijawab dengan singkat, lalu kembali hening. Suasana mereka menjadi canggung. Meskipun sudah maaf-maafan, tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal.

Naraya sebenarnya bukan mau berbasa-basi dari tadi, dia ingin mengatakan sesuatu yang sedari tadi dia simpan semenjak sadarnya Sakha. Tapi dia merasa canggung untuk mengatakannya. Lagipula, dia harus mulai darimana?

"Kamu nggak punya hape?" Perempuan itu mengulum bibirnya. Ingin deh rasanya dia memukul kepala sendiri. Kenapa jadi itu yang keluar dari mulutnya?!

"Hape ku hilang waktu aku lari-lari itu. Jadi sekarang aku nggak bisa ngehubungi siapa pun karena nggak ingat nomor siapa-siapa."

"Aku punya hape bekas, nanti aku perbaiki. Kamu pake itu dulu nggak apa-apa kan?"

Sakha mengangguk patuh, "Enggak apa-apa."

Diam kembali mengisi kekosongan di antara mereka lagi.

Mereka masih berada di kamar tidur Naraya, dengan Sakha yang duduk di atas kasur sambil makan, sementara Naraya duduk di meja belajar yang berjarak satu meter dari kasur. Benar-benar menjaga jarak bukan?

"Ada yang mau kamu bilang ya, Naraya?"

Mata Naraya mengerjap cepat, "Ha?" Refleksnya.

"Iya, dari tadi kamu lihatin aku terus."

Sial! Sial! Sial! Dia tidak sadar menatapi wajah Sakha dan dia ketahuan? Memalukan!

Dengan cepat dia memalingkan wajahnya ke samping sembari mengelus tengkuknya, berusaha meredam rasa malu.

Perempuan itu menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskan secara perlahan, "Aku cuma mau bilang, ini bukan rumah aku. Aku cuma jaga rumah ini aja." Ucapnya akhirnya. "Makanya aku marah kamu buka-buka kamar itu sembarangan."

Sakha yang mendengar itupun menatap Naraya heran, "Emang orangnya kemana?"

"Udah meninggal."

"Terus masalahnya dimana?"

"Aku nggak ngerasa kalau aku pemilik rumah ini. Jadi aku minta tolong ke kamu, jangan sembarangan buka-buka kamar atau barang di rumah ini."

Sakha diam, tidak menjawab. Dia tidak mengerti perkataan Naraya, tapi tenang saja dia paham kok bagian tidak boleh membuka sembarangan kamar-kamar maupun barang yang ada di sini.

"Aku boleh nanya?"

Naraya menoleh pada Sakha, "Boleh."

"Kamu nggak punya keluarga?"

Perempuan itu menggeleng, "Aku cuma sebatang kara."

Lagi, Sakha dibuat terdiam oleh Naraya. Tanpa dicegah, Sakha menjadi iba padanya.

"Kamu nggak mau bilang mama kamu kalau kamu udah menikah?" Naraya bertanya tiba-tiba.

"Mau," Sakha menghela nafasnya pendek, "Tapi aku nggak ingat nomornya. Aku juga nggak tahu jalan pulang. Juga nggak ingat alamatnya, karena memang aku tinggal di sana cuma sebentar. Kalau ke sana aku pasti dibantuin sama maps yang udah nyimpan alamatnya."

"Aku juga... Takut mati diamuk mama," Membayangkannya saja Sakha ngeri. Orang tua mana yang tidak akan kaget jika diberitahu kalau anaknya tiba-tiba sudah menikah? Dan Sakha yakin, begitu ibunya sudah ia beritahu kalau dia sudah menikah, maka dia pasti akan diamuk.

Suara tawa tertahan membuat Sakha menoleh ke samping. Jarang-jarang dia melihat Naraya tertawa seperti ini. Rasanya... Berbeda.

Sakha berdehem kecil, "Kok kamu ketawa?"

"Enggak boleh?"

Dengusan kecil Sakha keluarkan. Baru saja dia tertawa, dan sekarang sudah kembali ke Naraya mode galak.

Tapi Sakha senang setidaknya mereka selangkah lebih dekat. Karena sebelumnya mereka sama sekali tidak membicarakan kehidupan masing-masing.

"Minum obatnya. Habis itu istirahat ya,"

Sakha mengambil obat yang Naraya sodorkan. Kepala Sakha semakin berdenyut-denyut saat dia menjulurkan tangannya yang memegang gelas ke depan. Dia ingin memberikannya pada Naraya, tapi kepalanya terlalu sakit sehingga membuat seluruh tubuhnya yang sudah lemas menjadi semakin lemas.

Dan, yah, gelas itu jatuh ke lantai. Pecah, berkeping-keping, masih dengan air yang banyak tersisa.

Sakha terdiam saat sadar sudah memecahkan sebuah gelas. Takut-takut dia melirik Naraya yang sedang menatap naas gelasnya.

Naraya langsung menatap marah Sakha, "SAKHA!!!"