Matahari sudah semakin tinggi saat semua orang tengah bersiap-siap untuk shalat Dzuhur di masjid yang tampak lebih indah itu.
Semua jerih payah para warga tampak terbayarkan dengan pemandangan masjid kini. Pemandangan masjid tampak lebih segar dengan bunga-bunga yang sengaja ditanam di sekitar pintu masuk masjid, apalagi lukisan indah yang Sakha buat di dinding samping.
Lukisan itu hanyalah sketsa pemandangan sebuah pohon di ladang rumput tanpa warna yang Sakha buat di tembok samping masjid, jalan yang paling sering dilalui oleh orang-orang ketika ingin memasuki tempat itu. Memang hanya sketsa dan ditebalkan serta ditegaskan dengan arsiran cat hitam, tapi detail demi detail yang Sakha torehkan itu sangatlah indah. Rasa-rasanya lukisan itu mampu menarik siapapun yang menatapnya, seperti mampu membawa siapapun masuk ke dalam sana. Naraya memang tidak mengerti tentang lukisan, tapi lukisan ini benar-benar membuatnya merasa tersedot ke dalam.
"Aku nggak nyangka lukisan kamu beneran bagus," puji Naraya saat dia menatap lukisan itu pada Sakha yang berdiri di sampingnya.
"Aku baru dengar kalau aku benar-benar berbakat di bidang melukis."
Naraya menoleh dengan kaget pada Sakha yang memandangi lukisannya dengan sedih. Meskipun itu hanya gumaman, tapi Naraya dapat mendengarnya dengan jelas.
"Siapa yang bilang gitu? Buta banget matanya." Naraya jadi kesal sendiri. Orang seberbakat Sakha dikatai tidak berbakat? Lalu yang mengatai itu sehebat apa sih sampai menghina orang lain seperti itu?
Dengan cepat Sakha menoleh kepada Naraya dengan senyum di wajahnya. Ekspresi sedih itu terganti dengan cepat, seolah itu adalah keahliannya. "Mamaku."
Perempuan itu terdiam seribu bahasa. Dia tidak mengerti tentang betapa rumitnya hubungan Sakha dan ibunya. Respon apa yang harus dia berikan ketika Sakha mengatakan ibunya lah yang mengatai kalau dia tidak punya bakat di bidang seni? Apa harus Naraya maki ibu mertua yang belum dia lihat itu demi menyenangkan hati Sakha? Tampaknya dia tidak boleh melakukan itu.
"M-mama kamu?"
Sakha mengangguk yakin.
Naraya diam, membuat kekosongan yang mengambil alih. Tidak ada yang berbicara lagi, karena sudah terlampau sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Sakha, Naraya, ambil wudhu nya. Sebentar lagi kita shalat berjamaah." Pak RT menginterupsi kekosongan di antara mereka. Setelah mengatakan itu, pak RT masuk terlebih dahulu ke dalam masjid.
Sakha mengetukkan jari telunjuknya beberapa kali di bahu Naraya, "Giliran kita ambil wudhu. Orang-orang udah pada selesai."
"Ingat ya, tungguin aku." Sambung pria itu.
Perempuan itu mengangguk dan kemudian berpisah di tempat wudhu.
Para warga RT kemudian shalat berjamaah dengan pak RT sebagai imamnya, ditutup dengan doa, dan terakhir bersalam-salaman.
Naraya yang selesai shalat, melipat mukenanya dan meletakkannya dengan rapi pada tempat semula dia mengambilnya. Dia sengaja berlama-lama agar tidak keluar berdesakan yang lainnya. Tapi sepertinya itu keputusan yang salah karena kini dia dipanggil oleh Bu Wati yang disampingnya ada Bu Iin dan Bu Ina. Dan saat Naraya melirik ke seisi masjid, tempat ini sudah kosong dan hanya diisi oleh mereka berempat.
Ah, seharusnya Naraya langsung keluar saja tadi meskipun harus berdesak-desakan.
Firasatnya sudah tidak enak saat dipanggil, apalagi wajah Bu Wati sama sekali tidak ada ramah-ramahnya.
"Kenapa ya, Bu?" Tanya Naraya dengan sopan, tak lupa juga dengan senyum palsunya.
"Akrab ya, sama suaminya." Kata bu Ina.
Naraya tahu kalau itu adalah sebuah sindiran, tapi dia senyum saja.
Bu Iin ikut menimpali dengan nada remeh, "Katanya aja nggak kenal, tapi nempel-nempel terus ya, neng."
"Mbak nggak berusaha jadi munafik kan?"
"Lagian mana ada yang bisa nolak cowok seganteng mas Sakha?"
Telinga Naraya berdengung beriringan dengan suara-suara yang semakin samar terdengar. Jantungnya berdegup dengan kencang, juga keringat dingin yang mulai membasahi tubuhnya perlahan-lahan.
Dia takut mendengar kata-kata kejam itu semakin lama. Dia ingin menutup kedua telinganya, tapi tangannya seperti membatu, tidak mau bergerak.
"Waktu kita datang subuh itu juga Naraya berani-beraninya keluar pakai baju tidur tipis. Bukannya itu udah ngejelasin ya, Naraya orang yang kayak gimana?"
Naraya tidak tahu lagi siapa yang berbicara. Apalagi suara tawa meremehkannya mulai terdengar.
Dia... Hanya mampu terdiam di tengah-tengah ejekan ini.
"Setidaknya tahu malu lah, mbak. Katanya nggak kenal, tapi pegang-pegang."
Nafas Naraya mulai sesak, dengan ingatan yang tumpang tindih. Tangannya juga bergetar saat suara-suara ejekan dari masa lampau kembali teringat.
"Cewek nggak tahu diri lo!"
"Cewek munafik!"
"Katanya aja nggak kenal, tapi kok lo sok dekat gitu?"
Kenapa? Kenapa Naraya tidak bisa lepas dari semua ini? Padahal dia sudah berlari sejauh mungkin. Padahal dia sudah menghilang sebisa mungkin. Tapi kenapa Tuhan selalu memberikannya cobaan yang sama?
Tolong! Siapapun tolong Naraya untuk menghentikan ini semua!
Naraya yang sedang memejamkan matanya dengan erat, membuka matanya saat sebuah tangan menyentuh telinganya, ah tidak, lebih tepatnya menutup kedua telinganya. Seperti ingin menghalau perkataan-perkataan buruk itu agar tidak bisa Naraya dengar.
"Emang kenapa kalau saya deketan sama Naraya? Emang nggak boleh megang-megang istri sendiri?" Yah, meskipun begitu Naraya masih dapat mendengar suara Sakha yang bertanya seperti anak kecil yang sedang marah itu.
"Ya, enggak masalah sih. Tapi kalian dari awal ngaku nggak kenal biar nggak dinikahkan. Dan itu munafik!" Teriak Bu Wati pada Sakha.
Sakha mendengus sebal, "Kami kan udah nikah, masa harus jauh-jauhan? Lagian kami mau serius di pernikahan ini, memang nggak boleh?"
Para wanita paruh baya itu terdiam, begitu juga dengan Naraya.
"Ibu iri Naraya dapat suami ganteng?"
Pertanyaan itu membuat ibu-ibu itu tercengang mendengarnya. Naraya sendiri sudah sibuk menetralisir emosi yang hampir saja meledak.
"Kalau gitu tinggal cari aja sana suami ganteng biar nggak irian lagi sama Naraya!"
Sakha menurunkan tangannya dari telinga Naraya ke bahu perempuan itu, kemudian membalikkan tubuhnya agar menghadap Sakha. Sakha menatap para wanita paruh baya yang membatu itu dengan alis menukik tajam, "Kalau ibu-ibu masih gangguin Naraya, saya nggak akan tinggal diam. Jangan sampai masalah sepele kayak gini bikin kalian masuk penjara."
Nada bicara Sakha berubah. Tidak seperti tadi yang berbicara seperti anak kecil merajuk. Sakha berbicara dengan nada menyeramkan, sampai-sampai bulu kuduk Naraya berdiri. Tatapan itu juga... Tidak pernah ia lihat dari Sakha. Dia tampak seperti orang lain sekarang.
Tapi tatapan marahnya berubah menjadi tatapan polos ketika menatap Naraya.
"Yuk, pulang." Ajaknya sambil tersenyum lembut.
Naraya yang awalnya terdiam, kini merasa agak terlindungi karena Sakha. Dia menatap Sakha lama, "Hm,"
Sakha kemudian menggenggam tangan Naraya dan keluar dari masjid itu, meninggalkan para wanita paruh baya yang tampak tak senang dengan perilaku tak sopannya.
Tapi Sakha tidak peduli, kali ini dia sudah bertekad. Karena hutang budinya pada Naraya, dia akan melindungi perempuan itu dengan segenap jiwa dan raganya.
Dia mendeklarasikan ini di dalam dirinya, bagi siapa yang mengganggu Naraya. Maka hidupnya tidak akan Sakha biarkan berjalan dengan tenang.