"Mereka... Ciuman?"
Sakha dengan cepat membekap mulut Naraya dari belakang.
"Ssst!" Sakha berdesis kecil, mengode Naraya untuk diam.
Naraya membeku karena Sakha yang berdesis di samping telinganya. Bulu yang ada di tubuhnya merinding karena deru nafas hangat Sakha yang menyapu tengkuknya. Tubuh pria itu pun tanpa sadar ia tempelkan pada punggung Naraya, seperti sedang memeluk dari belakang.
Sekarang mereka menonton aksi silat lidah itu dengan jantung yang berdetak cepat, membeku dan tidak bergerak satu inci pun.
Kedua orang yang wajahnya disamarkan oleh gelap itu tampaknya sudah masuk ke tahap yang selanjutnya. Tangan masing-masing mulai meraba-raba kulit yang ditutupi oleh pakaian.
"Naraya..."
Deg! Jantung Naraya berdetak lebih kencang mendengar Sakha yang memanggilnya dengan suara serak.
Naraya melirik kecil Sakha yang di belakangnya, tidak menjawab karena tangan Sakha masih membekap mulutnya. Dari balik punggung ini, dia bisa merasakan suara detak jantung Sakha yang menggila.
"Kayaknya aku pernah lihat ceweknya di masjid waktu kita gotong-royong."
"H-ha?"
Mendengar itu, Naraya langsung menjauhkan tangan Sakha dari wajahnya. Mata perempuan itu kemudian memicing untuk melihat wajah perempuan yang dimaksud oleh Sakha.
Mata Naraya langsung membulat saat menyadari siapa wanita yang sedang bercumbu dengan begitu mesranya. Itu kan... "Ti-Tissa?!" Iya, Tissa anaknya Bu Wati.
Naraya yang masih terkaget-kaget itu semakin kaget karena Sakha yang menariknya dan mendorong punggungnya ke dinding. Tak hanya itu, pria itu semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Naraya.
Wajah pria itu tampak panik, "Kamu mau kita ketahuan ngintip?!" Bisiknya pada Naraya yang membeku.
"B-bukan gitu..."
Sakha menyembulkan kepalanya lagi keluar, memeriksa apakah kedua orang yang berbuat mesum itu sudah pergi atau belum. Hembusan nafas lega keluar, menandakan orang-orang itu sudah pergi.
Pria itu kemudian menyenderkan kepalanya ke bahu Naraya, "Mereka udah pergi." Ucapnya lemas.
Tapi andai Sakha tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang itu sama sekali tidak membuat Naraya lega. Perempuan itu semakin tegang bersamaan dengan detak jantung yang berdetak semakin gila. Belum lagi adegan demi adegan tadi berlalu-lalang dengan liarnya di kepala.
Sakha memiringkan kepalanya yang masih ia senderkan di bahu Naraya, "Naraya?"
"Y-ya?" Aduh! Kenapa dari tadi Naraya tidak bisa berhenti gagap, sih?!
"Kok muka kamu merah?"
"H-ha?" Bahkan wajahnya sampai memerah?
Sakha menegakkan punggungnya dan kemudian menempelkan telapak tangannya pada dahi perempuan yang ada di hadapannya itu, "Enggak demam, kok.
Pria itu menyeringai kecil saat menyadari sesuatu, kemudian ia mendekatkan wajahnya pada wajah Naraya yang semakin memerah karena aksinya itu.
"M-mau ngapain dekat-dekat?!" Naraya berteriak panik.
"Menurut kamu mau ngapain?" Mata Sakha sayu saat menatap Naraya yang berada di kungkungannya, "Kalau nonton blue film di hape aja bisa bikin laki-laki ereksi, terus menurut kamu laki-laki yang menonton adegan itu secara langsung gimana?"
Naraya menelan ludahnya susah payah. Apalagi mendengar suara Sakha yang kembali menjadi serak. Naraya jadi bingung sendiri sekarang. Jadi intinya Sakha ingin melakukan hal yang sama seperti yang pasangan tadi lakukan? Begitu kan?
Tapi secepat kilat seringaian tadi berubah menjadi senyuman cerah bersamaan dengan wajah yang menjauh. Tak lama, suara tawa keluar dari bibir Sakha.
"Bercanda aja, kok. Serius banget muka kamu," katanya di sela-sela tawanya.
Tak mendengar respon Naraya, Sakha pun menatap perempuan yang sedang menatapnya dalam diam itu.
Tawa pria itu terhenti dan berganti menjadi senyum canggung, "Kamu... Marah?"
Sakha mengulum bibirnya menyadari raut wajah Naraya yang menjadi serius. Padahal, sungguh, niatnya hanya untuk bercanda saja.
"Maaf, aku cuma pengin bercanda aja--"
"Kamu mau coba?" Potong Naraya cepat.
"Coba... Apa?"
"Ini," Tangan lentik itu Naraya lingkarkan di tengkuk leher Sakha, "Ciuman,"
Sakha tak dapat merespon apa-apa karena terlalu kaget. Apalagi sekarang atensinya mengarah pada tiap inci wajah Naraya. Pandangannya mengarah pada mata indah perempuan itu, lalu pada hidung mancungnya yang mungil, dan terakhir yang sekarang paling menggoda adalah bibir Naraya yang mendadak warnanya merah merona seolah meminta Sakha untuk melumatnya sekarang juga.
Wajah mereka perlahan-lahan semakin dekat hingga nafas hangat yang menyapu masing-masing wajah. Sampai dimana Sakha membuka matanya yang sempat terpejam, sempat terlena pada situasi yang sangat mendukung melakukan yang tidak-tidak atau... Iya-iya karena mereka sudah sah?
"Tunggu!" Sakha dengan cepat menurunkan tangan Naraya dari tengkuk lehernya, "Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa. Aku juga nggak menuntut kamu."
Naraya mengerjapkan matanya pelan, "Kita udah menikah. Aku nggak mau kita tetap di titik itu-itu aja, sementara kita menganggap serius pernikahan ini."
"Umur pernikahan ini baru satu minggu lebih, Naraya." Sakha tersenyum lembut saat matanya bertabrakan dengan manik mata sedih Naraya, "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain."
"Kamu begini karena nggak mau ngelakuin itu sama aku kan?"
Mendengar pertanyaan bernada menuduh itu, Sakha langsung menggenggam tangan Naraya.
"Tangan kamu dingin sama gemetaran. Tadi pas kamu meluk aku, ataupun sekarang."
Naraya terdiam seribu bahasa mendengar itu.
"Itu udah nandain kalau kamu memaksakan diri buat ngelakuin itu sama aku kan."
Naraya membuka mulutnya, hendak mengucapkan kata-kata yang sudah dia siapkan, tapi itu semua hanya bertahan di ujung lidahnya. Karena yang keluar malah air mata.
"Aku memang laki-laki yang sesekali tergoda buat ngajak kamu nge sex. Apalagi kita tinggal berdua di rumah itu. Tapi aku juga bukan laki-laki yang bakal maksa seseorang yang bahkan belum sebulan aku kenal untuk aku ajak tidur, Naraya. Meskipun kita udah sah, kamu perlu mempersiapkan hati dan fisik kamu. Ada kok pasangan suami istri yang bahkan belum sex meskipun udah satu tahun menikah."
Tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menyeka air mata perempuan yang selalu tampak rapuh di matanya itu, "Waktu kita banyak. Gunakan aja semau kamu. Dan yang paling penting, kita harus saling mengenal lebih dalam dulu."
"Apa, sih." Gumam Naraya. Meski berkata seperti itu, Naraya malah menyenderkan kepalanya ke dada bidang milik Sakha. Dan dia juga menggenggam tangan Sakha semakin erat. Sakha pun mengelus rambut perempuan itu dengan lembut.
Ucapan panjang lebar yang Sakha katakan dengan tulus untuk Naraya itu membuat hatinya menghangat. Sakha benar, umur pernikahan mereka bahkan belum lama dan Naraya sudah berspekulasi sendiri kalau Sakha menginginkan 'itu'.
"Naraya? Kamu nggak tidur kan?"
Decakan sebal Sakha dengar sebagai balasan.
Naraya menarik kepalanya menjauh dari dada pria itu dan menatap Sakha dengan kesal, "Ngerusak suasana aja."
Sakha tertawa, "Kita harus pulang. Poppy belum makan malam."
Ah, Poppy! Bisa-bisanya Naraya melupakan Poppy!
"Ayo, cepat pulang! Malah rumah gelap lagi." Kata Naraya panik sambil berjalan dengan menarik-narik tangan Sakha.
"Iya, maminya Poppy."
"Ih! Jangan rese' deh!"
Suara tawa renyah Sakha dan omelan-omelan Naraya mengisi kosongnya gang di malam itu. Pernikahan mereka memang mendadak dan tak terencana, tapi di dalam hati mereka masing-masing, mereka menganggap tali pernikahan itu adalah ikatan yang suci. Mungkin suatu saat benih-benih cinta itu akan muncul sendirinya bersamaan dengan waktu yang terus berjakan