Pria berkepala plontos itu hanya diam menunduk dalam. Tidak. Dia bukannya takut menghadapi amukan seorang gadis yang jauh lebih muda di hadapannya ini, hanya saja gadis itu adalah majikannya.
Dalam hati pria botak itu bertanya-tanya, punya dosa sebesar apa dirinya di kehidupan lampau sampai memiliki seorang bos gila seperti ini?
"Tono! Kamu kalau saya marah-marah itu dengerin! Saya itu lagi nggak mood ya! Apalagi kamu ngilangin calon masa depan saya!" Gadis itu berteriak kencang, sampai Tono si pria berbadan besar berkepala botak memejamkan matanya erat akibat suara cempreng si bos.
"Saya denger kok, non."
"Bohong!" teriak si gadis semakin menggelegar, "Kemana kamu hilangin Pangeran saya?!"
Tono hanya diam.
"Saya tinggal kamu sama jodoh saya itu sebentar karena ada urusan keluar negeri, dan sekarang setengah jam yang lalu kamu bilang dia kabur?!"
Si nona muda memegang dadanya saat sesak yang melanda dadanya. Aduh, dia tidak boleh terlalu emosi atau asmanya akan kumat. Dia harus tenang.
"Dimana terakhir kali kamu kehilangan dia?" Tanya nona muda ketika dia sudah bisa mengontrol emosinya.
"Di sebuah kampung yang dekat kota, non."
"Lalu kamu masih diam aja di sini nggak nyari dia?!"
Rasa kesal Tono berubah panik saat sang nona muda terduduk di tempatnya sambil memegangi dada.
Asmanya kumat lagi, ujar Tono dalam hati. Entah bisa Tono katakan beruntung atau tidak tapi kegiatan ini sering berlangsung di hadapannya, sehingga dia cepat tanggap untuk langsung memberikan inhaler kepada sang nona muda.
"Saya nggak mau tahu," Nona muda terbata di antara napasnya yang putus-putus, "Kamu bawa saya ke tempat Sakha!"
***
Naraya tidak tahu kalau hanya berbagi pesan saat malam hari bisa membuat keadaan di pagi hari menjadi canggung luar biasa.
Padahal berbalas pesan tadi malam itu sangat seru. Sakha memberinya banyak candaan, tapi kenapa pagi ini mereka hanya saling diam dan menunduk mengaduk-aduk makanan mereka dengan canggung?
"Naraya, canggung ya?" celetuk Sakha tiba-tiba.
Celetukan Sakha itu membuat Naraya tersedak makanannya sendiri. Lagipula kenapa sih Sakha ini suka berceletuk tiba-tiba?
"E-enggak! Biasa aja,"
Sakha menyeringai kecil, "Muka kamu merah, loh."
Bantingan sendok membuat Sakha mengerjap. Naraya menatap Sakha sebal. "Kamu sekarang makin nyebelin, ya?"
Alunan tawa pelan yang sangat merdu masuk ke dalam telinga Naraya bagai sebuah lagu yang menenangkan. Naraya makin merasakan suara tawa Sakha semakin lama semakin tulus dan lepas. Membuatnya rela berlama-lama tahan dengan suara tawa merdu milik Sakha, tapi tentu saja gengsi tidak membiarkan.
"Ketawa?"
"Nggak, Naraya. Lagi gali kuburan."
Tatapan tak percaya Naraya layangkan pada Sakha yang kini sudah bisa makan makanannya dengan tenang. Sekarang laki-laki ini sudah bisa sarkas begitu?
"Naraya?"
Naraya hanya menggumam pendek. Masih merasa kesal dan shock Sakha bisa sarkas begitu padanya.
"Kamu mau memulai semua ini dari cerita kamu?"
Gerakan tangan Naraya berhenti mengaduk-aduk buburnya. Sekarang suasana berubah menjadi serius rupanya.
"Aku," Naraya terbata.
Sakha dapat melihat kerjapan penuh keraguan dari mata Naraya. Pria itu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kalau berat. Kita pelan-pelan aja-"
"Nggak!" potong Naraya cepat, "Setidaknya aku akan mulai dari keluarga aku yang udah nggak ada."
Senyuman tipis Sakha berubah menjadi senyuman senang. Sakha tahu Naraya menyimpan sebuah rahasia berukuran raksasa dari dirinya. Tapi tak apa, Sakha akan menunggu. Karena mereka memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan hati masing-masing. Karena Sakha juga memiliki segunung rahasia yang akan dia bagi secara pelan-pelan pada Naraya.
Naraya menghembuskan napasnya pelan. Tangannya meletakkan sendok yang sedari tadi hanya menyentuh mulutnya beberapa kali itu. "Aku cuma punya ayah dan ibu. Aku anak tunggal. Mereka juga anak tunggal, jadi aku nggak punya tante atau om. Nenek kakek dari ayah dan ibu aku juga udah nggak ada."
Sakha memusatkan segala atensinya pada Naraya yang tampak menunjukkan senyum kecilnya. Mengenang kedua orang tuanya.
"Hidup kami sederhana. Tapi kami nggak perlu mengkhawatirkan uang. Setidaknya begitu sampai ayah aku meninggal lebih dulu pas aku kelas 2 SMA."
Sakha sadar cahaya yang Naraya pancarkan dari matanya mulai meredup. Dia tahu Naraya kesulitan untuk melanjutkan, jadi dia menggenggam punggung tangan Naraya yang untungnya tidak ditepis.
"Ternyata ayah menyimpan hutang yang segunung dari kami berdua. Ibu stres berat, karena memang selama ini ayah nggak pernah membiarkan ibu bekerja dan menyuruh ibu buat fokus pekerjaan rumah. Ibu bingung, dia nggak tahu apa-apa soal pekerjaan. Apalagi ibu nggak pernah susah seumur hidupnya. Sampai suatu waktu," Naraya memejamkan matanya erat saat mengingat kenangan-kenangan pahit itu. "Sampai suatu waktu ibu bunuh diri karena nggak sanggup lunasin hutang ayah pas aku kelas 3 SMA."
Sakha bergeming di tempatnya. Dia tidak tahu harus berkata apa kini selain semakin menggenggam erat tangan Naraya yang mulai dingin.
"Tapi Sakha, itu hanya pelengkap penderitaan aku. Itu cuma kunci penutup penderitaan aku. Aku kira aku bisa melewati semuanya karena setidaknya ibu masih sama aku, tapi ternyata ibu nggak mikir sama kayak aku."
Naraya tersenyum pilu, "Cuma aku yang mikir gitu," ulangnya lagi, kali ini lebih terdengar menyedihkan.
Sakha tidak tahu Naraya menyembunyikan lukanya yang begitu besar ini sendirian. Sakha tahu Naraya masih memiliki setumpuk rahasia, tapi biarlah hari ini cukup sampai di sini saja. Karena menceritakan ini Naraya membutuhkan segunung keberanian, Sakha tahu itu.
"Aku boleh peluk kamu?" tanya Sakha pada Naraya.
Naraya masih tersenyum pilu saat Sakha memeluknya. Dia tidak menolak, tapi tidak juga membalas pelukan hangat Sakha.
Tapi Sakha tahu, kalau kini Naraya diam-diam menangis.