"Iya, nggak apa-apa mas."
Suara samar-samar itu menginterupsi tidur Sakha.
"Iya, mas."
Mas? Ulang Sakha dalam hatinya. Suara itu bukankah suara Naraya? Dia memanggil orang lain dengan panggilan mas?
"Mas kapan pulang? Di sana baik-baik aja kan?"
Perlahan tapi pasti, Sakha membuka matanya. Rasa pusing langsung menyergap kepalanya. Cahaya yang ada di kamar membuatnya harus menyipitkan mata agar dapat melihat Naraya yang sedang membelakanginya sambil menempelkan ponsel di telinga.
"Aku baik-baik, kok. Mas juga di sana." Naraya membalikkan tubuhnya, dengan tenang dia melanjutkan pembicaraan, "Udah ya mas. Iya, dia udah bangun."
Apa kata 'dia' itu untuk Sakha?
"Siapa?" Suara Sakha serak saat bertanya, khas orang yang bangun tidur.
"Bukan siapa-siapa," jawab Naraya cuek. Perempuan itu mendekat ke arah Sakha yang masih tiduran di kasur dengan lemah. Dia menempelkan telapak tangannya pada dahi Sakha, mengecek tubuh pria itu.
"Udah turun, tapi masih panas." Gumamnya tapi masih bisa Sakha dengar. "Masih pusing sama lemas?"
Sakha mengangguk. Tangannya mengeratkan selimut ke tubuh karena rasa dingin yang menusuk kulit. Padahal AC sudah dimatikan, tapi kenapa dia masih merasa kedinginan?
"Mau ke dokter? Takutnya makin parah. Katanya kalau sampai mimpi buruk kemungkinan kamu demamnya tinggi banget." Terselip nada khawatir di kalimat yang Naraya ucapkan.
Sakha hanya mampu menggeleng. Rasanya tenggorokannya terlalu kering untuk membalas perkataan Naraya.
Dengusan Naraya terdengar. Dia membuka mulutnya hendak mengucapkan rentetan kata-kata omelan untuk Sakha agar dapat membawanya pergi ke dokter, tapi suara ketukan pintu membuat Naraya menutup kembali mulutnya.
"Bentar ya, aku lihat siapa yang datang." Katanya pada Sakha yang hanya diangguki pria itu.
Perempuan itu membuka pintu kamar, dan ada Poppy yang duduk di depan pintu. Langsung saja Naraya menggendongnya, sedikit merasa bersalah karena tidak memberikan perhatian lebih pada kucing putih itu karena terlampau sibuk mengurusi Sakha yang sedang sakit.
Sekarang dia berjalan ke arah pintu bersama dengan Poppy yang berada di dalam dekapan. Saat tangannya menekan gagang pintu dan mendorongnya, dia dapat melihat pak RT dengan senyum lebarnya, sampai membuat keriput di bagian mata.
"Masuk dulu, pak." Naraya menggeser tubuhnya agar pak RT dapat masuk ke dalam rumahnya.
Pak RT mengibaskan tangannya, "Enggak usah. Di sini aja. Bapak mau bilang kalau hari Minggu kita ada gotong royong, dalam rangka mau mempercantik mesjid kita."
Perempuan itu sekuat tenaga menahan desahan malasnya. Sudah dikatakan kan kalau dia itu paling malas bersosialisasi. Apalagi sosialisasi besar-besaran seperti ini.
"Ajak suami kamu juga, ya. Kalau begitu bapak pamit."
Naraya hanya dapat tersenyum paksa sambil mengangguk. Dia tidak dapat membuka mulut dan berkata 'iya'. Karena... Dia benar-benar tidak ingin datang! Baik hari Minggu ini ataupun hari-hari lainnya.
Poppy yang menyenderkan kepalanya ke dada, membuat Naraya menunduk menatapnya. Mata gadis itu tampak sedih, "Mami malas..."
"Tapi kalau nggak pergi, nggak enak sama pak RT." Sambungnya.
"Siapa?"
Suara lemah itu membuat Naraya menoleh dengan heboh. Raut wajah panik tidak dapat dia sembunyikan saat melihat Sakha yang memegang pintu sebagai sanggahannya untuk berdiri.
"Kok keluar kamar, sih?! Kan udah aku bilang istirahat aja."
Naraya berjalan cepat ke arah Sakha dan menurunkan Poppy dengan hati-hati. Kemudian perempuan itu memapah Sakha yang masih lemas untuk tidur di kasur.
"Habis kamu nggak balik-balik ke dalam kamar,"
"Belum 10 menit lho, Sakha." Balas Naraya geregetan. Dia berusaha sekuat mungkin agar tidak menjitak jidat Sakha yang mulus itu.
Sakha menipiskan bibirnya, "Itu lama."
Naraya menatap Sakha dengan lekat. Dia terus berpikir keras, Sakha ini sebenarnya kenapa sih? Apa yang salah dengannya? Kenapa dia tidak ingin berjauhan dan selalu ingin Naraya berada di jangkauan penglihatannya?
"Kamu kenapa pengennya nempel terus sama aku, sih?" Akhirnya Naraya menyuarakan keheranannya.
"Aku takut,"
Dahi Naraya semakin berkerut heran dibuatnya, "Takut apa?"
Sakha mendongak dan menatap Naraya dengan mata yang berkaca-kaca. Matanya tampak jelas memancarkan ketakutan yang luar biasa. "Takut kamu bakalan ninggalin aku."
***
Langit yang tadinya cerah, kini mendadak dihiasi awan abu-abu. Sama seperti suasana hati Naraya, sama-sama mendung.
Dia sedang duduk di gazebo belakang rumah bersama dengan Poppy yang tidur di pangkuannya. Tangannya terus bergerak mengelus kepala Poppy, namun pikirannya sudah melalang buana jauh entah kemana.
Sakha sendiri sudah kembali tidur, makanya Naraya bisa duduk di belakang, memisahkan diri sebentar dari Sakha. Perempuan itu merasa bingung memikirkan Sakha, apalagi kalau bukan karena kalimat terakhir yang ia ucapkan tadi?
Terutama dengan ekspresi itu, semakin membuat Naraya kepikiran.
Sakha berkali-kali juga memperlihatkan kalau dia tidak ingin Naraya tinggalkan, bahkan sebelum sakit sekalipun.Tapi... Yah, memang semakin parah saat sakit.
"Jangan jauh-jauh,"
"Harus pegangan sama aku. Kalau aku tersesat gimana?"
"Jangan tinggalin aku!"
"Pegangan!"
Kira-kira itulah beberapa kalimat yang sering Sakha ucapkan pada Naraya kalau mereka sedang berpergian berdua.
"Sebenarnya dia kenapa?" Gumam Naraya pelan. Pikirannya kini benar-benar terpenuhi oleh Sakha.
Apa Sakha memiliki luka dalam yang menjadi trauma untuknya?
Naraya mengacak rambutnya frustasi, "Akh! Kenapa aku jadi mikirin dia sih?! Hidup aku sendiri aja udah rumit!"
Poppy mengeong pelan.
Perempuan itu pun menunduk menatap kucingnya. Yah, hidupnya sendiri saja sudah berat, dan sekarang dia malah memikirkan kehidupan orang lain. Lucu sekali.
Melihat langit yang semakin gelap, membuat Naraya masuk ke dalam rumahnya sambil menggendong Poppy. Disaat perempuan itu sedang asyik menciumi wajah Poppy sambil berjalan, tampaklah wajah Sakha yang pucat pasi dan juga tubuh yang sudah basah oleh keringat.
"Kamu kemana?!" Teriaknya pada Naraya.
Naraya tentu saja bingung tiba-tiba diperlakukan seperti itu oleh Sakha. Dia terlebih dahulu menurunkan Poppy ke lantai, kemudian dia menatap Sakha dengan heran.
"Kenapa, sih? Aku duduk di belakang aja, kok, nggak kemana-mana."
Kaki Sakha melangkah dengan lebar ke arah Naraya, tanpa diduga-duga dia memeluk Naraya dengan erat. Yang dipeluk tentu saja kaget dan memberontak. Perempuan itu bukan hanya kaget, tapi takut juga datang menghampirinya.
"Aku takut,"
Dan dua kata itu membuat Naraya berhenti memberontak. Dia terdiam dengan tangan yang membeku di udara.
"Mimpi itu kebayang-bayang terus, bikin aku mau gila."
Naraya dapat merasakan tubuh Sakha yang gemetaran, juga dapat merasakan bahunya yang mulai basah akibat air mata Sakha.
Tanpa dapat ia cegah, tangannya menepuk pelan tubuh Sakha yang kini tampak begitu rapuh.
"Aku janji bakalan bilang kalau mau kemana-mana," Sakha mengangguk membalas perkataan Naraya.
Naraya tidak tahu ada trauma apa yang menimpa Sakha. Tampaknya pria itu seperti dihantui oleh mimpi buruknya. Naraya tidak ingin menghakimi perlakuan Sakha yang mungkin akan dianggap oleh orang lain berlebihan. Karena... Dia paling tahu seperti apa dihantui oleh trauma.