Nadia mengamati bayangannya yang terpantul lewat dinding yang ada di depannya. Ini masih pukul tujuh pagi, tapi ia sudah bersiap akan berangkat ke kampus. Bukannnya tidur nyenyak yang didapat, tapi tadi malam ia sama sekali tidak bisa tidur.
Banyak orang yang berkata, saat hormon dopamin dan oksitosin bekerja dalam tubuh seseorang, kadang itulah yang membuat seseorang susah tidur. Tiba-tiba Nadia teringat akan hal itu. Jika memang itulah yang terjadi padanya, artinya dia sedang jatuh cinta bukan? Tidak...tidak. Dia tidak ingin menyimpulkan sesuatu yang cukup berat sesingkat itu. Mungkin, memang dia sedang susah tidur saja. Seperti malam-malam sebelumnya. Lagipula, bukankah konyol dia bisa jatuh cinta pada orang yang baru saja ia kenal?
Meskipun tadi malam Nadia susah tidur, tapi saat ini badannya sangat segar. Sama sekali tidak mengalami gangguan apapun. Tentu saja, berbeda seperti biasanya. Nadia lama menyisir rambutnya di cermin. Di dalam kepalanya, terus melintas memori-memori tadi malam yang membuatnya susah tidur itu.
"Aku hanya ingin kamu memberikanku sebuah kesempatan. Kesempatan agar aku bisa mendekatimu dan lebih mengenalkan diriku padamu, tanpa harus diam-diam lagi."
Tiba-tiba saja terlintas kalimat Fauzan tadi malam. Ia benar-benar tidak menyangka jika ada seorang laki-laki yang sedang mengaguminya sebelumnya. Saat itu, Nadia merasa canggung sendiri. Nadia lalu berhenti menyisir rambutnya. Dan dengan sengaja, kembali mengingat kalimat Fauzan tadi malam.
"Jika kamu memberikanku sebuah kesempatan, maka terimalah bunga ini. Tapi, sebaliknya, jika kamu merasa aku mengganggumu, maka kamu bisa pergi meninggalkanku sekarang."
Nadia kemudian melihat ke arah satu ikat bunga yang ada di atas meja rias dekat cermin yang baru saja ia perhatikan. Ia mengambil bunganya, mencium aroma semerbak dari bunga tersebut. Nadia merasa tersipu sendiri. Ia kemudian memegangi salah satu pipinya dengan salah satu tangannya yang lain. Nadia tersenyum tersipu.
Nadia tidak pernah kepikiran, meski itu di dalam kepalanya. Ia rasa, dirinya hanya perempuan biasa, seorang kutu buku yang sama sekali tidak menarik, mendadak mendapat perlakuan spesial dari seorang laki-laki yang menganggapnya istimewa. Tentu saja Nadia tidak akan mengacuhkannya.
Selain menghargai semua perlakuan Fauzan padanya, ia sendiri tahu bagaimana rasa sakitnya menahan perasaan untuk mengagumi seseorang secara diam-diam. Nadia ingin memberikan kesempatan pada Fauzan. Juga, ia sendiri memiliki rasa ketertarikan pada Fauzan. Nadia jadi berpikir, apa karena memang ia hanya merasa hatinya kosong, sehingga ia mau membolehkan Fauzan masuk lewat celah-celah hatinya?
Tring. Mendadak pesan masuk ke dalam ponselnya. Nadia agak tersentak mendapati bunyi notifikasi dari ponsel yang ia taruh di meja riasnya. Nadia menaruh kembali bunganya, dan segera menyambar ponsel yang ada di dekat bunga tadi.
Dengan jantung yang sudah tak beraturan, Nadia membaca dari siapa notifikasi ponselnya berasal. Ia menahan nafas hanya untuk melihat pengirimnya. Ada pesan dari Mika. Mendadak, Nadia merasa kecewa. Ia menghela nafasnya.
[Nad, aku mau ke perpustakaan siang ini. Ayo, kita ke sana berdua]
Nadia membacanya dengan masih tak bersemangat. Nadia kemudian menjauhkan ponselnya sebentar. Ia melihat ke arah bunga yang baru dipegangnya tadi. Lalu, Nadia mengkerutkan keningnya. Tunggu! Kenapa ia jadi begini? Apa ia sedang menunggu pesan dari seseorang?
Nadia segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia kemudian membalas pesan Mika, menyetujui untuk bertemu bersama ke perpustakaan.
***
"Nad... Nad... Kenapa kamu masih saja begini?" Suara Mika menghenyakkan Nadia. Ia segera memutar kepalanya menoleh ke arah Mika, dengan sedikit kikuk.
"Ada apa?" tanya Nadia, masih dengan sikap canggung. Nadia, melihat Mika yang menyedekapkan kedua tangannya dan melihat ke arahnya dengan tatapan datar. Kemudian, Mika melihat ke arah ponsel yang ada di tangan Nadia itu. Mika tak habis pikir dengan sikap temannya itu.
"Kenapa kamu masih saja belum bisa mandiri?" kata Mika dengan tatapan sedikit jengkel ke arah Nadia. Nadia ikut melihat ke arah yang dilihat Mika, yaitu ponselnya. Nadia tahu apa maksudnya.
"Soal apa sih?" tanya Nadia pura-pura tidak tahu. Mika menghela nafasnya.
"Apa kamu baru saja berkirim pesan dengan Agra?" tanya Mika. Nadia segera menoleh ke arah Mika cepat. Astaga. Benar juga. Mika pikir, Nadia masih menghubungi Agra.
"Tidak," jawab Nadia sontak menyanggah pemikiran Mika. Ia yang ingin tersenyum itu, mendadak mengganti ekspresinya menjadi heran sendiri. Benar juga ya? Semenjak ada Fauzan, Agra sama sekali tidak pernah muncul di pikirannya lagi. Bahkan, Nadia baru sadar setelah Mika bertanya soal itu padanya.
"Sudahlah, Nad." Mika mengalihkan pandangannya dari Nadia sekejap. "Kamu tidak perlu menyangkalnya. Kamu sedang menunggu pesan dari Agra kan?" tanya Mika. Nadia yang mendengarnya, juga baru tahu kalau Mika sudah salah sangka. Ia tertunduk sambil tersenyum sendiri.
"Tidak, Mik," sanggah Nadia sambil tersenyum dan mengangkat kepalanya melihat ke arah temannya itu. "Kenapa kamu bisa yakin kalau aku sedang memikirkan Agra?" tanya Nadia baru saja.
"Karena selama ini kamu selalu begitu. Perasaanmu pada Agra yang sudah mengganggu aktivitasmu akhir-akhir ini," jelas Mika.
Nadia kembali tersenyum. Mika belum tahu sama sekali sebuah kejadian, di mana seorang Fauzan sudah mengisi hari-hari Nadia menggantikan Agra sejak Agra pergi. Nadia akan menjelaskannya pada Mika agar Mika tahu dan tidak mengkhawatirkan temannya lagi.
"Ini bukan soal Agra," kata Nadia.
"Lalu, soal apa?"
"Ini soal..."
Drrrt... Drrrt... Drrrt...
"Sebentar!" Tiba-tiba, ponsel Mika berbunyi begitu saja. Memotong kalimat Nadia yang akan mulai berbicara. Mika mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Ia melihat ada sebuah panggilan masuk. Saat melihat nama yang tertera di dalam ponselnya, Mika mengkerutkan keningnya.
"Halo?" tanya Mika dengan wajah masih berkerut. "Ya? Astaga! Iya. Iya...iya. Aku ke sana sekarang." Klek. Panggilan ditutup. Mika memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia lalu melihat Nadia yang tengah menunggu penjelasannya.
"Nad, tadi dosen pembimbingku sedang mencariku. Ini penting. Aku harus menemui beliau sekarang," kata Mika dengan sedikit tergesa.
"Iya. Tentu saja," jawab Nadia.
"Maaf ya. Aku pergi dulu. Nanti, aku akan ke sini lagi," lanjut Mika sembari mengambil buku yang baru saja ia baca, dan berniat akan mengembalikannya lagi ke rak. Nadia hanya mengangguk setuju dengan ungkapan temannya tersebut.
Mika langsung segera berdiri dan pergi menjauh dari Nadia yang termangu melihatnya. Nadia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat Mika pergi. Saat Mika sudah tak nampak, ia seolah teringat sesuatu. Nadia yang duduk itu, segera mengecek ponselnya. Tidak ada pesan masuk sama sekali. Ia mendadak menghela nafasnya dan menekuk bibirnya merasa kecewa.
Nadia kemudian berdiri dan melihat satu nama kontak di ponselnya. Nama itu masih baru saja ia simpan. Fauzan. Nadia membaca dalam hati nama yang juga sudah ada di kontak itu. Fauzan masih belum saja menghubunginya.
Nadia mengambil inisiatif sendiri. Ia lalu mulai mengetikkan pesan pada ponselnya. Ia ingin mengirim Fauzan pesan. Nadia sudah bersiap untuk mulai menempelkan jari-jarinya. Saat sudah siap, ia justru terhenti. Apa yang harus ia ketikkan? Tunggu. Kenapa ia harus susah-susah ingin tahu soal Fauzan? Benar-benar sungguh membingungkan. Nadia menghela nafasnya, dengan tertunduk sambil memejamkan kedua matanya. Dengan masih memegang ponsel di depannya. Dirinya ini, sungguh aneh. Pikirnya.
"Merindukanku?"
Suara seorang laki-laki tiba-tiba saja mengejutkannya. Nadia hampir saja menjatuhkan ponselnya yang ia pegang. Ia tersentak mendengar suara itu mendadak ada di sebelah telinganya. Nadia sontak menoleh dan mendapati Fauzan sudah ada di sampingnya. Jantungnya seketika berubah menjadi sebuah genderang dengan suara yang sangat kencang. Dan hanya dirinya yang bisa mendengarnya.