Chereads / Secret Love for Secret Admirer / Chapter 8 - Getting Confused

Chapter 8 - Getting Confused

"Nad? Hei. Naaaad!" Suara Mika membuyarkan lamunan Nadia sejenak.

Membuat Nadia menoleh ke arahnya, dengan sedikit salah tingkah. Sebenarnya, bukan Nadia saja yang menoleh, beberapa orang dekat di sekitar mereka juga menoleh ke arah Mika. Bagaimana tidak? Mereka sedang ada di perpustakaan. Nadia melihat ke sekitar dengan pandangan kikuk. Nadia lalu melihat ke arah Mika. Mika berdecak pelan dan menggelengkan kepalanya beberapa kali, sembari mendekat ke arah Nadia.

"Kamu baru saja mendengarku tidak?!" tanya Mika yang berteriak, dengan berbisik.

"Maaf, aku..."

"Sudahlah Nad," potong Mika.

Mika menjauhkan wajahnya dari Nadia kemudian menghela nafas dengan memijat-mijat keningnya pelan. Nadia memperhatikannya dengan sedikit bingung. Apa, Mika benar-benar marah padanya? Masalahnya, tadi pikirannya sedang linglung sendiri. Benar juga. Masalahnya, sangat mengganggu kehidupan pribadinya. Nadia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apapun pada Mika.

"Nad, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Ini soal Agra, kan?" tanya Mika tanpa basa basi. Ia bertanya dengan bersedekap di depan Nadia. Nadia terkejut. Ia melebarkan sedikit kedua matanya memberitahu ekspresinya pada Mika bahwa ungkapan Mika benar adanya. Mika masih melihatnya dengan tatapan datar.

"Tidak. Aku sudah bilang kalau aku..."

"Cukup Nad," potong Mika kembali. Membuat Nadia semakin tercekat mendengarnya. Ia melihat ke arah Mika dengan mengerjap-kerjapkan kedua matanya beberapa kali.

"Nad, aku pikir kamu sudah terlalu jauh. Kamu akhir-akhir ini sering murung, sering sedih, aku juga sering melihatmu sembab setiap harinya. Kamu tidak bisa fokus. Ini semua karena Agra, kan?" tanya Mika.

"Tidak!" jawab Nadia cepat.

"Masih mau menyangkal ya?" ujar Mika dengan mengalihkan pandangannya dari Nadia yang duduk berhadapan dengannya.

"Ini, karena aku sendiri," gumam Nadia pelan. Amat pelan. Tapi, Mika masih bisa mendengarnya.

"Apa?" tanya Mika ingin mendengarkan sekali lagi kalimat Nadia itu.

"Ya, Mik. Aku mengakuinya. Aku memang menyukai Agra," ungkap Nadia pelan. Pandangannya tertunduk pelan dengan menerawang. "Aku bilang, aku seperti ini karena salahku sendiri. Aku tidak bisa mengontrol perasaanku padanya." kata Nadia dengan pasrah. Untuk apa ditutup-tutupi lagi kalau sebenarnya Mika sudah tahu.

"Aku memendamnya sangat lama, dan dia sama sekali tidak tahu." lanjut Nadia kembali.

"Kata siapa dia tidak tahu?" tanya Mika pada Nadia. Nadia menoleh ke arahnya. "Nad, bisa saja dia sudah tahu. Tapi, dia hanya berpura-pura saja," ujar Mika.

"Tidak mungkin," balas Nadia sembari tersenyum kaku. "Selama ini, dia sering bercerita soal pacarnya padaku. Kalau sudah begitu, bukankah dia tidak tahu?"

"Belum tentu seperti itu, Nad," kata Mika lagi. Nadia hanya mengernyit mendengar Mika tidak paham maksudnya. "Bisa saja, dia tahu soal kamu menyukainya, tapi dia mencoba membangun kesadaranmu kalau dia sebenarnya sudah punya pacar. Jadi, secara tidak sengaja, dia sedang memberitahukan bahwa seharusnya kamu tidak lagi menyukainya. Tapi, dia tidak akan menjauhimu. Dia masih ingin menjadi sahabatmu. Bukankah begitu?" ujar Mika mengungkapkan analisisnya. Nadia hanya bergeming mendengarkan kalimat Mika.

"Tidak mungkin," gumam Nadia seraya menggeleng pelan. Ia berbicara sendiri, tidak menanggapi kalimat Mika. Mika masih memperhatikannya.

"Kalau kamu penasaran, kenapa kamu tidak mengatakannya saja pada Agra?" ujar Mika.

"Mudah sekali bicaramu? Kamu pikir, aku tidak sedang dilema?" balas Nadia cepat. Ia lalu kembali menunduk dan tatapannya kosong. "Lagipula, aku tidak mau kehilangan dia sebagai seorang sahabat," kata Nadia lagi.

"Nad, sesuai ceritamu. Agra itu kan bijaksana. Dia juga baik. Tidak mungkin dia meninggalkanmu begitu saja. Apa kamu tidak yakin dengan itu? Bukankah, selama ini membuktikan kalau dia masih sering bersamamu? Lagipula, jika melihat Agra yang pintar itu... mana mungkin dia tidak tahu kalau kamu menyukainya?"

Nadia semakin diam berpikir. Jika dipikir dalam-dalam, mungkin omongan Mika ada benarnya juga. Nadia justru terdiam sangat lama sekali. Ia masih belum membalas ungkapan Mika, ketika Mika menunggunya.

"Sudahlah Nad, daripada kamu bingung-bingung, bukankah lebih baik kamu mengatakan perasaanmu itu pada Agra?" tanya Mika.

"Kalau dia menjauhiku, bagaimana?" tanya Nadia ragu.

"Tidak akan." Mika menjawabnya dengan mantap. "Aku taruhannya. Aku yakin, Agra bukan orang seperti itu," lanjut Mika lagi.

Benar juga. Seharusnya Nadia sudah menyadari itu sejak lama. Dengan kalimat Mika ini, sebenarnya memang bisa segera dicoba. Paling tidak, Nadia bisa lega karena beban perasaannya selama ini hilang. Selang beberapa detik kemudian, wajah Nadia menjadi berubah murung kembali dengan cepatnya. Mika mengamatinya.

"Kenapa? Kamu masih ragu?" tanya Mika.

"Aku, sudah terlambat," kata Nadia dengan lemas.

"Apa maksudmu?" tanya Mika.

"Agra, pergi ke luar kota beberapa bulan ke depan. Dia, sedang menangani proyek dosen. Lagipula, dia sudah menyelesaikan semua kuliahnya. Jadi, dia bisa bebas menangani proyek dosennya," kata Nadia tidak bersemangat.

"Kamu kan, bisa menelponnya," kata Mika.

"Kamu pikir, semudah itu?!" sanggah Nadia lagi.

"Ya, paling tidak kamu bisa..."

Drrrt... Drrrt... Drrrt...

Getar ponsel milik Mika menghentikan kalimatnya. Mika melihat ponselnya yang ditaruh di meja yang ada di depannya itu. Mika tidak melanjutkan kalimatnya, dan segera mengambil ponselnya. Ia melihat layarnya, sambil mengerutkan keningnya.

"Halo?" panggil Mika pada seseorang di seberang sana. Menunggu beberapa detik sambil terdengar suara kecil dari dalam ponsel Mika itu. "Apa?! Ya. Ya...ya... Aku segera ke sana sekarang," kata Mika segera. Ia kemudian menjauhkan ponselnya dari telinganya, dan memutus panggilannya.

"Ada apa?" tanya Nadia yang melihat Mika mendadak panik. Hal apa yang membuatnya terburu-buru itu?

"Ya ampun Nad. Ada sedikit masalah dengan skripsiku," kata Mika seraya memasukkan ponsel dan beberapa barang miliknya ke dalam tasnya. Ia menutup buku yang dibacanya, dan menumpuknya untuk dikembalikan ke rak. "Aku sekarang harus segera pergi menemui dosenku. Nanti, kalau ada waktu luang, aku akan menceritakannya padamu, Nad," lanjut Mika. Masih dengan nada tergesa.

"Iya...iya," jawab Nadia ikut sedikit panik.

Setelah selesai membereskan semua peralatannya, Mika berdiri dan mengambil tasnya yang ia gantungkan di kursi tempat ia duduk tadi. Mika, segera menyelempangkan tasnya itu ke salah satu bahunya. Ia melihat ke arah Nadia sekali lagi.

"Aku pergi dulu, Nad," pamit Mika. Nadia tidak menjawabnya. Ia hanya mengangguk beberapa kali dengan cepat, tanda mendukung temannya itu. Mika lalu berjalan menjauh, dan mengembalikan buku yang ia ambil di rak perpustakaan dan dikembalikannya. Nadia bisa melihat Mika yang sudah berjalan keluar dari perpustakaan.

Nadia lalu kembali melihat bukunya. Sampai mana dia tadi? Pikirnya. Oh iya. Dia bahkan dari tadi sama sekali belum membaca buku yang ia pegang. Nadia menghela nafasnya. Percuma saja dia berlama-lama di sini jika hanya menghabiskan waktunya dengan melamun.

Nadia kemudian memutuskan untuk menutup bukunya dan juga akan mengembalikannya pada rak saja. Nadia juga membereskan beberapa peralatannya ke dalam tas miliknya. Saat ia membuka tasnya, ia melihat buku biru yang bukan miliknya lagi.

Nadia baru teringat soal buku itu. Buku milik laki-laki bernama Fauzan. Laki-laki yang sudah menabraknya. Nadia lalu mengambil buku itu dari dalam tasnya. Kemudian, ia membuka-buka buku itu berusaha mencari informasi lain mengenai Fauzan itu. Paling tidak, Nadia harus mengembalikannya, bukan?

Setelah membuka-bukanya, Nadia menemukan sebuah nomor ponsel yang tercantum di sana. Di sana, tertulis tepat di bawah nama Fauzan ini. Bukankah, ini nomor pemilik buku ini juga? Nadia segera menyimpannya, dan berniat akan menghubunginya untuk mengembalikan buku milik Fauzan ini, pikirnya.