Nadia melihat-lihat layar ponselnya. Matanya terus melihat sebuah nama di dalam layar ponsel tersebut. Dari tadi, ia tidak bisa menghindarkan pandangannya dari sebuah nama. Agra Oktavio. Hanya terus mengusap layar ponselnya bolak balik dan akhirnya, Lalu kembali lagi ke nama itu.
Nadia, sangat merindukan Agra. Padahal, hanya sekitar tiga hari ia tidak menemui Agra. Maju mundur untuk menghubungi Agra. Ia ingin menggunakan alasan untuk bertanya masalah kuliahan atau menghubungi berpura-pura mengabari soal lomba yang sebenarnya sudah tuntas. Padahal, Nadia hanya ingin tahu kabar dan keadaan Agra. Proyek dosen di sana, Agra berada di luar kota. Tempat di mana kekasihnya tinggal. Di dekat rumah kekasihnya. Mengingat hal itu, rasanya Nadia ingin marah.
Astaga! Kenapa pula ia harus marah? Bukankah ia seharusnya tidak berhak untuk marah sama sekali? Agra menjadi sering bertemu dengan kekasihnya, dan itu adalah hal yang sangat benar. Justru ia salah jika saat ini, kepalanya penuh dengan semua tentang Agra. Nadia lalu menghela nafasnya sambil menundukkan pandangannya.
Nadia menaruh ponselnya di meja gazebo yang ada di depannya. Ia lalu melihat ke arah lapangan basket yang menjadi tempat bersejarah baginya. Nadia, tidak ada tugas kuliah yang menumpuk. Lombanya juga sudah selesai. Tidak ada alasan atau kegiatan lain untuknya melakukan aktivitas yang bisa mengalihkannya sejenak dari Agra.
Untuk apa lama-lama di sini? Nadia berniat untuk segera pulang saja. Ia mengemasi barangnya dan memasukkan semua miliknya ke dalam tasnya. Termasuk laptop yang nganggur dari tadi menyala di depannya. Setelah selesai semuanya, Nadia berdiri dan segera singgah dari tempat duduk di gazebo tersebut.
Nadia berjalan menuju gerbang keluar kampusnya. Karena tempat kosnya tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar satu kilometer, maka Nadia pulang pergi berjalan kaki ke kampusnya. Nadia melewati lapangan basket yang dari tadi menjadi fokusnya. Kemudian, kembali terlintas bayangan-bayangan soal Agra.
Di lapangan basket ini, tempat pertemuan pertamanya dengan Agra. Di lapangan basket ini, pertama kali ia menghabiskan waktu lama dengan Agra, membentuk sebuah tim, di mana pada akhirnya mereka bisa saling mengenal dekat dan dekat setiap harinya.
Nadia terus berjalan melewati gerbang dan keluar kampusnya. Namun, imajinasi soal Agra masih melekat padanya. Susah untuk menghilangkannya begitu saja.
"Pilihanku tidak akan salah. Karin adalah motivasi terbesarku."
"Kalau kamu sedang membutuhkan teman saat kamu ada masalah, kamu bisa segera menghubungiku."
Lagi-lagi, suara Agra muncul kembali di celah-celah otaknya. Ada dua kalimat Agra yang saling berkebalikan di dalam kepalanya. Saat Agra kadang menceritakan soal kekasihnya, dan juga ketika Agra menawarkan bantuan cuma-cuma pada Nadia.
Tapi, bagaimanapun juga, Nadia merasa sangat kesepian. Begitu hilangnya Agra, serasa ada yang hilang juga di dalam hatinya. Agra bilang kalau dia akan kembali dalam waktu beberapa bulan ini, tapi kenyataan yang dirasakan Nadia adalah ia tidak akan kembali untuk selamanya. Karena Nadia melihat Agra terakhir kalinya dengan Karin.
Semua urusan lomba mereka juga sudah selesai. Jadi, untuk apa lagi mereka terus bersama? Apalah arti sebuah persahabatan di masa kuliah? Toh pada akhirnya, jika sudah lulus, mereka juga akan berpisah untuk menemukan pekerjaan masing-masing.
'Sampai kapan aku harus seperti ini? Harus mengalami ini? Bagaimana cara untuk bisa lepas dari ini semua?'
Nadia berbicara pada dirinya sendiri dalam hati. Seolah ia bertanya mencari solusi dan mendiskusikannya dengan dirinya sendiri. Nadia tidak sadar, selama ia berjalan ia sudah melewati kos-kosan Mika. Biasanya, mereka sering pulang pergi bersama. Ia sudah berjalan agak jauh dari kos Mika. Karena jarak kos Mika lebih dekat dari kampus.
Selama berjalan, yang ada di dalam kepala Nadia adalah campur aduk memori dan perhelatan batinnya soal Agra. Ia tidak begitu memperhatikan sekitar, karena selama tiga tahun, ia sudah terbiasa ke kampusnya. Jadi, kakinya sudah otomatis menyesuaikan perjalananya dari memori selama tiga tahun.
"Awas!" Tiba-tiba, Nadia mendengar ada suara seorang laki-laki yang berteriak dari arah belakangnya.
Nadia yang kaget, sontak ingin menoleh ke arah belakang. Belum sempat menoleh ke arah belakang, pergelangan tangannya sudah ditarik dengan cepat dan kencang. Nadia mengikuti pergerakan tangannya, sehingga badannya juga ikut tertarik.
Sangking kagetnya, Nadia memejamkan kedua matanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, hanya menutup mata. Terjadi begitu saja. Telinganya yang masih berfungsi dengan baik, mendengar beberapa motor dengan suara yang kencang sangat dekat dengannya. Terdengar ada banyak motor yang tengah melintas di dekatnya.
Nadia tahu artinya ini. Ia yang berjalan di samping jalanan kampus yang biasanya sepi itu, tidak tahu jika banyak motor yang melaju kencang datang ke arahnya. Bahkan, mungkin ada beberapa motor yang akan menyerempetnya. Bagaimana bisa tahu? Nadia terus saja ada di dalam dunia khayalnya?
Setelah beberapa detik, Nadia yang masih kaget itu, berusaha membuka matanya pelan. Tubuhnya saat ini, terasa hangat. Ya. Suara laki-laki tadi, adalah suara orang yang meneriakinya. Nadia membuka matanya perlahan dan menyadari bahwa tubuhnya sedang dipeluk seorang laki-laki.
Jantung Nadia yang tadinya berdegup kencang, karena terkejut ada insiden yang nyaris membuatnya terluka, saat ini menjadi semakin kencang dengan hanya ada di dalam pelukan seorang pria yang menyelamatkannya. Karena tarikan tangannya tadi, membuatnya hanya menuruti langkah tubuhnya.
Suara motor itu, lambat lain sudah mulai hilang dan menjauh. Nadia yang sudah membuka matanya, mengangkat kepalanya dan wajahnya sudah sangat dekat dengan seorang laki-laki.
Dag... Dig... Dug...
Rasanya, baru pertama kali Nadia sedekat ini dengan seorang laki-laki. Bahkan, sangat dekat sekali, sampai ada di pelukannya. Laki-laki itu, menundukkan pandangannya dan melihat ke arah Nadia. Wajah Nadia sedikit memerah dengan kejadian itu.
Terjadi saling tatap di antara mereka berdua. Butuh proses yang agak lama di dalam kepala Nadia untuk bereaksi. Dan akhirnya, Nadia segera menjauh dari laki-laki itu dan melepaskannya dengan malu dan kikuk. Laki-laki itu juga melepaskan pelukannya.
"Maaf, apa kamu terluka?" tanya laki-laki itu dengan hati-hati.
Nadia diam kikuk dan menundukkan kepalanya. Ia masih memberikan ruang jeda cukup lama di dalam otaknya. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Nadia ingin marah, tapi bukankah laki-laki ini sudah menyelamatkannya? Ia masih bingung, dan sejujurnya Nadia kesulitan mengatur dentuman jantungnya.
"Maaf, atas sikapku baru saja. Apa kamu baik-baik saja?" tanya laki-laki itu lagi.
Sebelum sempat berbicara apapun, bahkan laki-laki ini sudah meminta maaf terlebih dulu. Bukankah, seharusnya Nadia yang harus berterima kasih padanya? Tunggu! Nada itu tidak asing bagi Nadia. Bagai de javu, Nadia pernah mendengarkan pertanyaannya satu kali sebelumnya. Rasa-rasanya juga, ia mengenali suara itu. Nadia mengangkat kepalanya sejenak. Ia terkejut melihat wajah yang pernah ia temui satu kali, dan juga wajah yang pernah ia lihat di foto dari buku yang ia bawa, beberapa kali. Kalau tidak salah, namanya adalah Fauzan Narendra.