Dengan masih gelisah, Nadia menunggu sebuah bunyi dari ponsel yang sudah menempel di telinganya. Saat itu, ia sudah berada di dalam kamarnya. Baru juga beberapa detik, tapi Nadia benar-benar merasa sangat tidak nyaman dan seolah lama sekali menunggu.
Tuuuut... Tuuuut...
Begitulah suara nada sambung yang semakin membuat jantungnya berdetak kencang berkali lipat. Nadia masih menunggu sampai nada sambungnya terputus. Aarrgh! Dia tidak tahan dengan ini. Kenapa
Fauzan ini benar-benar membuatnya bertanya-tanya? Untuk membuktikan Fauzan adalah orang baik, Nadia harus segera mencari tahu jawabannya. Entah kenapa Nadia yakin jika Fauzan berbohong, pasti ada alasannya. Itulah yang ada di benaknya saat ini.
Klek!
"Halo?" Terdengar suara laki-laki yang sangat familiar dari seberang sana sedang mengangkat panggilan ponselnya. Nadia terjingkat dan seketika jantungnya mendadak berhenti. Ia menelan salivanya, mencoba mengeluarkan suara juga.
"Halo?" ucap Nadia dengan pelan dan ragu. Hening terjadi beberapa saat. Nadia menunggu Fauzan kembali memberikan respon, tapi nampaknya Fauzan tidak berencana untuk melakukan itu. Jadi, Nadia memutuskan untuk memberitahu Fauzan saja jika nomornya ini adalah nomor miliknya.
"Halo, ini aku..."
"Nadia?" tanya Fauzan pada Nadia segera. Nadia sempat tercekat beberapa detik. Namun, kemudian ia merasa lega. Ternyata, Fauzan masih mengingat suaranya.
"Iya. Maaf, aku mengganggumu," ujar Nadia santun.
"Ada apa?" tanya Fauzan pada Nadia.
"Aku, ingin mengembalikan bukumu yang sampai sekarang masih tertinggal padaku."
"Oh, sebenarnya kamu tidak perlu buru-buru mengembalikannya," kata Fauzan.
"Tidak. Aku merasa tidak enak membawa barang milik orang lain bersamaku," jelas Nadia. Mendengar itu, Fauzan nampak diam saja. Ia seolah tidak ingin menanggapi Nadia. Agar suasana tidak canggung, akhirnya Nadia memilih meneruskan kalimatnya.
"Jadi, di mana aku harus mengembalikannya padamu?" tanya Nadia. Fauzan masih bergeming dan tidak berkata apapun. Nadia merasa aneh. Ia kemudian menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat layarnya. Panggilan ini masih tersambung? Pikirnya. Lalu, Nadia kembali mendekatkan ponsel ke telinganya kembali.
"Halo? Zan?" panggil Nadia di dalam panggilannya.
"Ya. Aku mendengarmu," jawab Fauzan singkat. Oh, syukurlah.
"Jadi, aku akan ke tempatmu sekarang. Kamu ada di mana?" tanya Nadia lagi. Berhubung dengan ini semua, Nadia sangat gatal ingin bertanya soal kos-kosan laki-laki yang ada di dekat kos-kosan tempat ia tinggal. Nadia akan mencoba untuk tidak menyinggung perasaan Fauzan.
"Em... tadi, sebenarnya aku ke kos-kosanmu untuk mengembalikan bukumu, tapi..."
"Besok di taman dekat kota," ucap Fauzan tiba-tiba memenggal kalimat Nadia. Nadia tercekat dan berhenti berbicara. Nadia semakin merasa janggal. Tadi itu bukan kos-kosan tempat Fauzan tinggal kan? Nadia bahkan harus sedikit malu untuk menemukan tempat orang yang salah.
"Aku akan memberitahukan waktunya. Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Jadi..."
Tut...Tut...Tut...
Panggilan ditutup begitu saja. Nadia segera menjauhkan ponsel dari telinganya. Panggilannya benar-benar sudah mati. Nadia mengkerutkan keningnya. Aneh sekali orang ini? Pikirnya dalam hati.
Karena Nadia tidak puas, ia segera menghubungi Fauzan kembali. Nada satu tersambung, tapi tidak diangkat. Dua kali, tiga kali sampai nada sambungnya mati. Ya. Mungkin saat ini Fauzan memang sedang sibuk. Nadia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Fauzan lagi. Ia meletakkan ponselnya kembali di mejanya.
Nadia mulai berpikir serius. Kenapa sikap Fauzan sangat misterius sekali? Sudah jelas bahwa tadi di kos yang Nadia datangi adalah bukan kos-kosan Fauzan. Tapi, Fauzan tidak menjelaskan apa-apa. Justru, saat Nadia ingin bercerita Fauzan langsung memotong ceritanya. Ada apa sebenarnya dengan Fauzan ini?
Tring!
Sebuah notifikasi pesan dari ponsel Nadia masuk. Nadia segera buru-buru mengambil ponselnya kembali. Ada pesan dari nomor yang baru saja ia hubungi tadi. Fauzan? Gumamnya dalam hati. Nadia segera membuka pesan masuk dari Fauzan.
[Besok, temui aku di taman dekat kota, pukul tujuh malam. Kamu bisa mengembalikan bukuku di sana]
Begitulah pesan Fauzan yang dibaca oleh Nadia. Bukankah ini sangat aneh? Fauzan justru mengajaknya untuk bertemuan di tempat lain. Jika memang hanya sekedar mengembalikan buku, kenapa harus ke taman dekat kota? Kenapa tidak langsung ke kosannya saja? Apa yang diinginkan Fauzan sebenarnya? Tidak...tidak. Fauzan adalah orang baik. Nadia terus berpikir seperti itu karena selama ia bertemu dengan Fauzan, Fauzan tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk padanya. Meski memang kadang sikapnya sedikit aneh.
Nadia semakin berpikir dalam. Ada apa dengan Fauzan ini? Nadia tidak sadar bahwa separuh waktunya sudah hilang untuk memikirkan seorang Fauzan. Nadia rasa, ia seperti ini karena ia masih membawa buku milik Fauzan. Untuk memastikannya, Nadia hanya ingin segera datang besok, menuruti Fauzan untuk menemuinya di taman kota pukul tujuh malam. Setelah itu, ia tidak akan kepikiran lagi soal buku Fauzan yang dibawanya.
***
Nadia menyiapkan dirinya. Setelah membersihkan dirinya, memakai baju rapi ia mencari sepatu yang senada dengan bajunya. Yang terpenting adalah ia membawa buku berwarna biru milik Fauzan itu.
Nadia memasukkan buku Fauzan ke dalam tasnya. Kemudian, ia menyelempangkan tasnya ke salah satu bahunya. Nadia sekali lagi melihat cermin untuk memastikan wajahnya sudah cantik. Saat memandangi cermin, ia berpikir sejenak, kenapa dia harus seperti ini ya? Nadia lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan cepat. Ia semakin bingung merasakan perubahan di dirinya secara tiba-tiba itu.
Nadia melangkah keluar kosnya dan berjalan menuju taman dekat kota. Jarak antara kos dan taman kota tidak terlalu jauh. Hanya sekitar setengah kilometer. Biasanya, Nadia juga sering ke sana kalau sedang mengerjakan tugas.
Saat di jalan, ia berpikir apa dia akan mengirim pesan pada Fauzan? Memberitahu jika dia sudah ada di jalan? Tapi, tidak perlulah. Lagipula, pesan dari Fauzan sudah sangat jelas. Nadia melihat jam tangannya kembali. Sudah pukul tujuh pas. Tepat dengan waktu yang sudah ditentukan.
Nadia sampai di taman kota. Saat ia sudah ada di jalan masuk taman, mendadak ponselnya bergetar. Nadia yang merasakan itu, segera mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya. Ada nama Fauzan di dalamnya. Nadia sempat mengkerutkan keningnya, kemudian ia menjawab panggilannya.
"Halo?" sapa Nadia.
"Halo? Kamu sudah sampai?" tanya Fauzan.
"Iya. Ini baru saja sampai. Aku ada di pintu gerbang utama taman," jawab Nadia.
"Aku tahu," ujar Fauzan singkat. Nadia mengkerutkan keningnya. Apa maksudnya Fauzan tahu?
"Nadia?" panggil Fauzan lembut. Mendengarnya, Nadia merasa sedikit tercekat. Kalau tidak salah, dari dulu, Nadia tidak pernah memberitahukan namanya pada Fauzan. Fauzan juga tidak pernah bertanya. Kenapa Fauzan bisa tahu kalau namanya Nadia?
"Nadia Naraya?" ucap Fauzan yang membuat Nadia membelalakkan kedua matanya. Sungguh aneh bukan? Bagaimana Fauzan bisa tahu nama lengkapnya?
"Kenapa kamu bisa tahu namaku?" tanya Nadia akhirnya. Fauzan tidak menjawab pertanyaan Nadia.
"Aku ada di dekat bangku panjang tempat favoritmu mengerjakan tugas biasanya. Masuklah, akan ada sebuah kejutan untukmu," kata Fauzan.
Klek! Panggilan dimatikan. Nadia kembali merasa linglung. Ada apa dengan orang ini? Karena penasaran setengah mati, Nadia segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya.
Nadia berjalan masuk dan mencari bangku tempat favoritnya, seperti yang dikatakan Fauzan baru saja. Bahkan, Fauzan tahu tempat favoritnya. Bukankah ini benar-benar aneh?
Saat Nadia sudah menemukan bangku tempat ia mengerjakan tugas, betapa kagetnya ia. Itu bangku yang biasanya ia datangi setiap hari. Tapi, malam ini benar-benar berbeda dari biasanya. Banyak lampu penerangan di sana sini. Terangkai dengan begitu indahnya.
Di sana, ada Fauzan yang berdiri tegap dengan menghadap ke arahnya. Ia tengah membawa satu ikat bunga di depan dadanya. Salah satu tangannya bersembunyi di belakang. Nadia hanya bisa mengerjap-kerjapkan matanya mendapati semua ini.