"Pilihanku tidak akan salah. Karin, adalah motivasi terbaikku selama ini. Dia yang paling bisa mengerti aku. Gadis seperti dia adalah gadis yang patut untuk diperjuangkan."
Nadia terdiam kaku, seolah kakinya tidak bisa digerakkan. Ia mendapati Karina berjalan terus mendekat. Saat melihat Karina untuk pertama kalinya, kalimat Agra yang justru melintas di otaknya. Nadia teringat Agra pernah mengatakan hal itu padanya. Inilah gadis itu. Kekasih Agra yang lumayan sering diceritakan Agra padanya.
Karin berjalan ke arah Agra. Cantik. Cantik sekali. Kesan pertama saat Nadia melihat Karina. Saat itu, Karin juga melihat ke arah Nadia. Awalnya, Karina melihat wajah Nadia dengan wajah datar dan penasaran. Namun, semakin lama semakin mendekat Karina seolah mengenali Nadia. Karina kemudian tersenyum ke arah Nadia. Namun, karena refleks dari kecamuk perasaan yang dialami Nadia, Nadia tidak merespon apapun dari senyuman Karina.
Sedangkan Agra, yang saat itu baru menyadari Karina datang mendekat, segera berdiri dan memasang senyum sumringah. Ia lalu berjalan meninggalkan laptopnya, dan mendekat menyambut kekasihnya itu. Ia berjalan melewati Nadia yang sedang berdiri, akan menjauh darinya tadi. Ada sebuah rasa tidak nyaman pada Nadia. Meski semua itu berjalan dengan benar.
"Sayang, kamu sudah datang?" tanya Agra pada Karina.
"Iya," jawab Karina sambil menganggukkan kepalanya. "Maaf, aku tadi tidak memberitahumu kalau aku sudah masuk kampus. Aku tahu kamu di sini. Tadi aku sudah bertanya pada mahasiswa di sekitar, gazebo fakultas Fia," jelas Karina pada Agra dengan melihat ke sekitar saat bercerita pada Agra.
Nadia, tak bisa lepas memperhatikan mereka berdua. Ia hanya terdiam dan terpaku dengan pandangan tak biasa. Sebenarnya, Nadia sibuk dengan kemelut di dalam hatinya sendiri. Melihat mereka berdua berbicara, Nadia tidak berani mendekat sama sekali. Bahkan hanya untuk sekedar menyapa.
"Nad," panggil Agra saat sudah ada di depan Nadia. Nadia bahkan tak menanggapi saat mereka berdua berjalan ke arahnya tadi. Agra menggandeng tangan Karina dan berjalan ke depan Nadia. "Kenalkan, ini Karina," kata Agra. Sedangkan, Karina memberikan jabatan tangan pada Nadia bermaksud untuk menyalami Nadia.
Mau bagaimana lagi? Nadia tidak bisa melakukan hal lain selain menerima sodoran kenal pertama dari Karina. Ia tidak bisa pula mengelak. Nadia perlahan memberikan tangannya juga dengan ragu, membalas ucap perkenalan dari Karina.
"Karina," ujar Karina dengan tersenyum manis.
"Nadia," balas Nadia. Ia ingin sekali tersenyum lebar, namun kenyataannya tidak bisa. Ia masih harus terus saja berkemelut dalam hati. Sesaat, mereka kemudian saling melepaskan jabatan tangan.
"Nah, jadi kalian sudah saling kenal. Semoga, ke depannya kita semua bisa akrab," ujar Agra. Karina mengangguk tersenyum senang dengan kalimat Agra. Sedangkan, Nadia... Ia hanya bisa memberikan senyum kecut berusaha untuk baik-baik saja.
"Aku sudah janji, aku akan membawamu ke tempat menarik setelah ini," kata Agra.
"Hm...mm..." Karina mengangguk dengan cepat.
Agra memperhatikan wajah kekasihnya itu. Kemudian, ia mengusap lembut rambut Karina. Dengan sedikit gemas, sebenarnya. Karina lagi-lagi hanya tersenyum. Kejadian itu, nyata terjadi di depan mata kepala Nadia. Kenapa ia harus melihat adegan itu di depannya? Pikirnya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," ucap Nadia segera. Ia tak tahan lagi melihat kemesraan mereka.
"Loh, kamu yakin tidak mau duduk di sini bergabung dengan kami, Nad?" tanya Agra pada Nadia itu.
'Duduk bersama kalian? Yang benar saja? Mau cari mati apa?' gumam Nadia dalam hati.
"Mika, sedang menungguku," kata Nadia kembali. Ia lalu pergi menjauh begitu saja. "Kalau begitu, aku duluan ya!" serunya sambil melambaikan tangan.
Nadia segera melewati mereka tanpa perlu menoleh ke arah mereka lagi. Ia berjalan dengan cepat sampai-sampai sedikit setengah berlari. Ia ingin mencari jalanan sepi sampai ia bisa meluapkan semua didihan di dalam dadanya.
Nadia sampai di sebuah koridor di dalam kampusnya. Saat ia sudah merasa sekitar sepi dan tidak ada orang di sana, ia memelankan jalannya. Ia tidak dapat menjelaskan rasa yang dialaminya saat ini. Ia merasa marah, sedih, tapi tidak bisa menangis. Nadia segera berhenti sejenak. Ia mencengkeram baju bagian depannya, memohon pada dirinya sendiri agar bisa tenang.
Mengingat sekelebat hal kecil di depannya tadi, membuat hatinya berkecamuk tidak jelas. Kemelut-kenelut di dalam dadanya mulai bekerja. Tidak semudah itu untuk bisa kembali bersikap normal.
Nadia tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Sebuah janji dengan Mika, adalah suatu alasan bohong agar Agra tidak menyeretnya bersamanya. Nadia akan segera pulang saja. Saat itu, ia kembali berjalan, namun tiba-tiba....
Bruk!
Ada seorang laki-laki yang menabraknya dari belakang. Tabrakan itu lumayan keras. Tas selempang Nadia, tertarik oleh sesuatu dari laki-laki itu, sehingga tasnya jatuh. Begitu juga dengan dirinya. Ia sempat tertarik ke lantai, bersamaan dengan semua isi di dalam tasnya yang berhamburan. Buku-buku yang ada di dalam tasnya tercecer.
Laki-laki yang baru saja menabraknya tadi, segera berjongkok di samping Nadia dan meminta maaf, serta membereskan buku-buku Nadia. Namun, sepertinya Nadia tampak tak perduli dengan laki-laki tadi. Nadia yang terduduk di lantai, menyangga badannya dengan kedua tangannya. Entah kenapa ia tidak segera berdiri? Ia merasa kakinya masih sangat lemas. Tiba-tiba, ia merasa pandangannya kabur. Air matanya mulai menggenang menutupi pupil dan bola matanya. Tak lama, air matanya keluar begitu saja.
"Maaf." Nadia mendengar suara laki-laki yang sangat pelan sekali.
'Siapa?' gumam Nadia dalam hati.
"Maaf, maafkan aku." Suara itu semakin jelas. Namun, Nadia tidak segera merespon dengan benar. Ia masih terjebak di dalam pikirannya yang kalut. Merasakan campur baur perasaan di dalam hatinya.
"Maaf, apa kamu terluka?"
Nadia tersadar dari imajinasinya sesaat. Tubuhnya terasa tergoncang sedikit. Laki-laki yang menabraknya tadi, baru saja menggoncangkan tubuhnya dengan pelan. Jadi, suara tadi berasal dari laki-laki ini?
Nadia segera menghapus air matanya. Ia merasa sedikit malu juga dengan tingkah yang tak bisa dikontrolnya seperti itu. Di depan seorang laki-laki, dengan alasan memikirkan seorang laki-laki. Laki-laki itu, melihat ke arah Nadia dengan tatapan heran. Laki-laki yang menabraknya tadi, segera membantunya berdiri. Saat Nadia sudah berdiri, laki-laki itu mengambil tumpukan buku Nadia yang ia tata di bawah dan memberikannya pada Nadia.
"Maaf, apa kamu baik-baik saja?" tanya laki-laki itu sekali lagi.
"Tidak. Tidak apa-apa," jawab Nadia sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya. Nadia masih menundukkan pandangannya karena malu. Ia kemudian berjalan melewati laki-laki yang baru saja menabraknya tadi, dengan masih menundukkan pandangannya.
"Tunggu, apa kamu butuh bantuan? Apa aku perlu mengantarmu?" ujar laki-laki itu menawarkan sesuatu pada Nadia, karena masih merasa bersalah. Nadia terhenti sejenak, dan ia menoleh ke samping, tidak sepenuhnya melihat ke arah laki-laki itu.
"Tidak. Tidak perlu," ucap Nadia pelan. Kemudian, ia melanjutkan jalannya meninggalkan laki-laki itu.
Dari arah belakang Nadia, laki-laki yang menabraknya tadi hanya terdiam memperhatikan Nadia. Terus menatap Nadia dengan mengerutkan keningnya. Ada ungkapan lain selain rasa bersalah dari pancaran mata laki-laki yang menatapnya itu. Tanpa Nadia sadari sama sekali.