"Belajar dari awan, Nad. Setiap awan pasti punya mendung. Sama halnya dengan manusia, setiap manusia hidup pasti punya masalah."
Teringat kalimat Agra ketika suatu waktu, mereka tengah memperhatikan awan bersama. Di sela-sela kegiatan yang menumpuk, mereka masih punya waktu bagaimana untuk menikmatinya. Kadang awan-awan itu bergerak tertiup angin.
Bruk!
Mika menggebrak sesuatu di atas meja yang ada di depan Nadia. Nadia yang tidak menolehnya sedikit terkejut. Nadia sampai sedikit miring memegang gelas berisi airnya yang diminumnya.
"Astaga Mika! Kenapa selalu datang seperti itu sih!" celetuk Nadia yang masih kaget.
"Hehe... Maaf," kata Mika cengengesan. "Sudah kebiasaan," lanjutnya. Mika kemudian duduk di kursi di depan Nadia. Nadia yang tadinya menggelengkan kepalanya, hanya diam melihat Mika duduk di depannya.
"Sedang apa kamu Nad?" tanya Mika yang tengah memperhatikan temannya.
"Tidak ada. Hanya melihat awan-awan itu," kata Nadia.
"Itu, sama saja dengan melamun," ujar Mika.
"Tidak juga. Aku tahu soal filosofi awan. Agra yang bilang padaku," tukas Nadia. Mika lalu menoleh ke arah Nadia dengan wajah setengah menyelidik kembali.
"Oh, jadi ini masih soal Agra ya?" tanya Mika. Nadia segera mengalihkan pandangannya kikuk. Ia tadi hanya keceplosan.
"Maksudku, Agra memang pernah bilang begitu padaku," ujar Nadia.
"Hm..." kata Mika dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Eh! Ngomong-ngomong soal Agra, apa kamu tahu dia kemarin mendapat penghargaan mahasiswa terbaik tingkat fakultas tahun ini juga?" tanya Mika.
"Iya, tentu saja aku tahu," jawab Nadia.
"Wah, Agra keren sekali ya? Sudah tampan, pintar, berprestasi lagi," ungkap Mika.
"Ya, memang benar," kata Nadia. Ada pandangan sedih saat Nadia membenarkan kalimat Mika. Entah, kenapa ia tiba-tiba sedih? Mika kembali memperhatikan Nadia, tanpa disadari Nadia.
"Sudahlah Nad," ujar Mika yang membuat Nadia menoleh ke arah Nadia. "Apa kamu masih mau menyangkal kalau kamu menyukai Agra?" tanya Mika.
"Tidak," jawab Nadia ragu.
"Sudah tidak menyangkal lagi?" Nadia terkejut dengan jebakan kalimat Mika.
"Maksudku, aku tidak suka dengan Agra." Nadia masih berusaha mengelaknya.
"Ya sudah kalau kamu masih tetap kukuh tidak mau mengakuinya." Mika terlihat menyerah. Tapi, sebenernya ia tahu kebenarannya. "Oh iya, Nad. Apa kemarin kamu pulangnya kehujanan?" tanya Mika mengganti topik pembicaraan.
"Iya, Mik. Padahal kemarin keluar dari perpustakaan masih belum hujan, tapi di tengah jalan hujan deras sekali," jelas Nadia.
"Aku bisa menebaknya, karena setelah kamu pulang itu, aku langsung pulang juga," kata Mika. Nadia hanya menaikkan salah satu bahunya. "Sayang sekali, padahal kemarin ada seorang laki-laki yang memberikan payung untukmu loh!" ucap Mika. Mendengar ungkapan Mika, Nadia sedikit kaget.
"Siapa?!" tanya Nadia sangat terkejut.
"Tenang saja, bukan Agra kok," celetuk Mika segera. Nadia langsung tercekat. "Justru itu menariknya. Karena dia bukan Agra, mangkanya aku ingin tahu tentangnya. Dia memberikan payung padaku, katanya untukmu," ujar Mika. Nadia segera menoleh ke arah Mika heran.
"Tunggu! Untukku?" tanya Nadia penasaran. "Kenapa kamu bisa tahu kalau itu untukku? Yang diberi payung kan kamu?"
"Dia memang memberikan payung padaku, tapi ditujukan untukmu, Nad?" jelas Mika.
"Loh, kok bisa aneh begitu?" tanya Nadia lagi.
"Dia kemarin bilang, ini payung untuk kalian. Nah, artinya dia kan tahu kalau kita sedang bersama sebelumnya. Meskipun kamu sudah pulang duluan. Kalau dia bilang untukku, jelas aku langsung tahu kalau memang payung yang dia maksud itu untukku kan, Nad," jelas Mika seolah menganalisa. Nadia terdiam mendengar ungkapan Mika itu.
"Siapa dia Mik?" tanya Nadia.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nad. Siapa dia?"
"Aku saja tidak melihat wajahnya," ujar Nadia.
"Pokoknya, dia itu tinggi, tampan, tegap, dan wajahnya bersih," terang Mika sedikit sumringah. Yang seperti itu banyak Mik," ujar Nadia yang menurutnya tidak membantu. "Siapa namanya?"
"Aduh! Aku lupa bertanya. Siapa namanya ya, Nad?" tanya Mika berbicara sendiri. Nadia hanya menaikkan kedua bahunya.
Dalam hatinya, ia tidak begitu memperdulikan laki-laki yang memberi payung pada cerita Mika tadi.
***
Sejak sepuluh detik yang lalu, Nadia tak merubah posisinya. Ia tak bergerak mengamati wajah seseorang. Orang itu sedikit tertunduk memejamkan mata dan nampaknya tertulis jelas bahwa di wajahnya sedang ada masalah. Agra sedang duduk di gazebo bersama Nadia yang sedang mengerjakan proyek mereka.
Saat Agra membuka mata dan mengangkat kepalanya, Nadia segera mengalihkan pandangannya dan berpura-pura melihat ke arah lain. Sampai kapanpun, Agra tidak tahu kalau Nadia tadi baru saja memperhatikannya.
"Nad, besok kamu mengerjakan dengan Dimas saja, ya?" tanya Agra pada Nadia.
"Hei!" Sebelum sempat Nadia menjawab, Dimas datang di antara mereka membuat mereka terkejut. "Kalian menungguku?" tanya Dimas.
"Kemana saja kamu? Kita hampir setengah jam menunggu kedatanganmu," ujar Agra setengah kesal.
"Maaf, tadi dosennya lama," ujar Dimas. Kemudian, ia duduk di di samping Agra, di depan Nadia. Nadia masih terdiam sampai Dimas menyiapkan laptopnya.
"Tolong kamu besok temani Nadia, ya," ujar Agra, begitu Dimas sudah selesai.
"Loh, bukannya sama kamu?" tanya Dimas sedikit terkejut.
"Aku, harus pulang besok. Ke rumahku," kata Agra. Nadia memperhatikan laptopnya seolah tak peduli. Padahal, ia benar-benar memasang telinganya tajam-tajam mendengarkan mereka berdua.
"Ke luar kota? Kenapa?"
"Ada sesuatu yang harus aku selesaikan," kata Agra.
"Soal Karina?" tanya Dimas.
"Iya," jawab Agra singkat. Nadia meremas tangannya di depan laptop yang menutupi pandangan Dimas dan Agra. Nadia sudah menduganya dari awal.
"Kalian bertengkar?"
"Sedikit," jawab Agra lagi. "Oh iya, lanjutkan ini dengan Nadia ya. Aku ada kumpul proyek dosen," kata Agra.
"Sekarang kamu yang pergi begitu saja," ucap Dimas. Agra nampak tak menghiraukan kalimat Dimas.
"Nad, maaf ya. Kamu lanjutkan dengan Dimas," ujar Agra pada Nadia.
"Ya, tentu saja," jawab Nadia dengan tersenyum. Agra tidak tahu, jika Nadia sedang memaksakan senyumnya dan berusaha terlihat baik-baik saja.
Tanpa berpamitan dengan Dimas lagi, Agra pergi meninggalkan mereka. Nadia melihat ke arah Agra yang berjalan semakin menjauh dengan tatapan sedihnya.
'Kamu pasti berpikir kalau aku tidak peduli padamu, kan? Kamu ada masalah, aku tahu! Tapi aku hanya pura-pura tidak tahu. Karena aku tahu masalahmu itu dengan Karina, kekasihmu itu. Aku tidak ingin tahu tentang kalian, karena aku pasti tidak akan kuat mendengarnya.'
Nadia berkalimat dalam hati berusaha mengungkapkan kerisauannya pada Agra yang sudah tak terlihat itu. Ia masih terus memperhatikan jalan yang dilalui Agra.
"Nad!" panggil Dimas yang membuyarkan pikiran Nadia sejenak soal Agra. Nadia menoleh ke arah Dimas. "Lihat laki-laki di sana," ujar Dimas menunjuk ke sebuah arah. Nadia menoleh ke arah yang ditunjuk Dimas.
"Siapa? Yang mana?" tanya Nadia sedang mencari-cari.
"Dia baru saja pergi," ujar Dimas.
"Kenapa memangnya?" tanya Nadia yang kembali melihat ke arah Dimas.
"Dari tadi, dia memperhatikanmu," kata Dimas. "Begitu aku melihatnya, dia segera mengalihkan pandangan dan pergi begitu saja," ujar Dimas.
"Lalu kenapa kalau dia memperhatikanku, biarkan saja," kata Nadia nampak tak acuh.
"Dasar!" ucap Dimas pada Nadia. Dimas adalah salah satu anggota kelompok lomba dengan Nadia dan Agra. Dia juga teman akrab mereka sejak semester awal. "Kalau ada laki-laki yang menperhatikanmu lebih dari lima menit, hanya ada dua arti. Dia ingin berkenalan, atau dia menyukaimu," jelas Dimas.
"Memang yang mana orangnya?" tanya Nadia lagi.
"Tepat duduk di sana tadi," kata Dimas.
"Kamu tahu laki-laki itu?" tanya Nadia lagi.
"Sepertinya pernah melihat dua sampai tiga kali. Tapi di mana ya?" tanya Dimas berbicara sendiri.
"Ah, sudahlah. Paling cuma kebetulan saja. Ayo, kita harus segera mengerjakan laporan ini," kata Nadia yang kembali berfokus pada proyek mereka.