"Hai Nad!" seru Mika sambil menaruh tas besarnya di atas meja yang panjang dengan sedikit keras. Nadia agak kaget dengan tingkah temannya itu.
"Sssst..." ujar Nadia dengan menempelkan satu telunjuknya pada bibirnya. "Jangan berisik. Kamu tidak ingat kita ada di perpustakaan? Lihat, banyak yang melihat ke sini," kata Nadia memberi kode pada Mika dengan pandangan matanya.
Mika yang awalnya tidak sadar, melihat sekitar, sekarang jadi tahu dan memang benar adanya. Banyak yang tengah melihat ke arahnya dengan tatapan dingin. Mika sedikit merasa malu. Kemudian ia menciut dan duduk di depan Nadia yang diseberangi oleh meja panjang sekali. Maklum saja, Mika baru saja dari luar yang ramai, hingga akhirnya terbawa suasana ramai tadi.
"Hehe..." Mika sedikit terkekeh. "Maaf, aku senang sekali hari ini," kata Mika dengan wajah sumringah dan berbicara pelan.
"Ada apa?" tanya Nadia.
"Aku, baru saja menyelesaikan tugasku," ujar Mika.
"Begitu saja sudah senang," kata Nadia.
"Aku memang senang. Jarang-jarang kan aku bisa menyelesaikan tugasku secepat ini?" ujar Mika kembali. Nadia hanya tertawa sebentar. Lalu, ia kembali membaca buku yang ia bawa. Mika melihat buku yang dibawa Nadia. Mika merasa aneh dengan buku yang ada bersama Nadia itu.
"Nad, ini bukannya buku psikologi?" tanya Mika pada Nadia.
"Hm...mm..." kata Nadia sembari mengangguk beberapa kali.
"Tumben kamu membaca buku psikologi? Biasanya saat pertana kali masuk perpustakaan, kamu selalu membawa banyak buku misteri? Kenapa tiba-tiba tertarik dengan buku psikologi?" tanya Mika. Mika kemudian melihat ke arah Nadia lebih jeli lagi.
"Aku perhatikan akhir-akhir ini, kamu suka mempelajari soal psikologi? Memangnya kenapa Nad?"
"Ya, memangnya kenapa? Ini bagus kok," ucap Nadia.
"Di kamarku juga banyak buku-buku seperti ini. Jangankan membacanya, menyentuh saja kamu tidak pernah," kata Mika sambil melihat Nadia kembali dengan pandangan menyelidik. Nadia merasa ragu dan tetiba sedikit kikuk mendapati pertanyaan dari temannya itu.
"Ya, sekarang aku suka saja," jawab Nadia tak dapat memberi alasan lain.
Mika masih memperhatikan Nadia dengan pandangan curiga. Atau, sebenarnya Nadia yang terlalu paranoid sendiri? Nadia merasa semakin kikuk begitu Mika sedang memperhatikannya. Namun, kemudian Mika menaikkan kedua bahunya.
"Baguslah kalau kamu suka," ujar Mika.
Nadia bisa menghela nafas lega. Untung saja Mika tidak bertanya macam-macam lagi. Nadia kembali mencoba berkonsentrasi pada buku yang ia baca. Ia dapat membaca judul buku yang ia bawa di atas setiap halamannya. Ada satu orang yang merekomendasikan buku ini untuknya. Namun, Nadia tidak menyangka kalau benar-benar harus membacanya.
'Buku ini bagus sekali, Nad. Aku bahkan sudah membacanya berulang kali, dan masih saja tidak pernah bosan. Kamu harus membacanya.'
Nadia menyisakan ingatannya tentang seseorang. Ia terhenti berkonsentrasi sebentar dan mencoba menerawang dalam pikirannya. Suara yang baru saja terlintas di pikirannya itu...
"Agra," ucap Mika pelan.
Mendengar itu, Nadia segera menoleh ke arah Mika dengan cepatnya. Seolah ada sesuatu hal yang amat genting saja.
"Apa?" tanya Nadia tidak yakin.
"Agra," ulang Mika sekali lagi. "Itu, pesan masuk dari Agra," tukas Mika menunjuk ponsel Nadia yang baru saja bergetar dan menyala sebentar. Nadia segera menyambar ponselnya dan membukanya secepat kilat. Mika bisa melihatnya dengan jelas, sampai ia terkejut.
"Ya ampun, Nad. Memangnya sepenting itukah Agra?" tanya Mika heran. Menyadari sikapnya sedikit aneh di depan Mika, Nadia lalu mencoba beralasan.
"Eee... Ada hal genting yang masih harus di selesaikan, Mik. Jadi, aku harus tahu informasinya," jelas Nadia. Mika, kembali hanya menaikkan pundaknya dan melihat Nadia sedang membaca pesan masuk dari Agra tadi.
Selang beberapa detik, lalu Nadia meletakkan kembali ponsel di atas meja panjang di dalam perpustakaan itu. Saat Nadia meletakkan ponsel di atas mejanya itu, Mika kembali memperhatikannya.
"Jadi, masalah genting apa yang membuatmu sangat antusias akan pesan masuk dari Agra tadi?" tanya Mika lagi.
"Ya, ini berhubungan dengan proposal yang aku buat," jawab Nadia yang kembali, berusaha agar senormal mungkin.
"Proposal lomba yang pernah kamu ceritakan padaku dulu?" tanya Mika.
"Iya," jawab Mika singkat.
"Satu tim dengan Agra dan Dimas?" tanya Mika lagi.
"Iya," jawab Nadia.
"Kamu suka sekali satu tim dengan mereka ya, Nad?" tanya Mika.
"Tentu saja. Karena mereka sangat cekatan. Agra tidak pernah kehabisan ide untuk inovasi di setiap lomba yang kita ikuti. Dia juga..."
Tanpa sadar, Nadia menceritakan Agra lebih dari yang ditanyakan oleh Mika. Saat bercerita juga, Nadia sangat menggebu-gebu. Mika bisa memperhatikan sekaligus mengetahuinya. Nadia lalu melihat Mika yang melihatnya dengan tatapan aneh.
"Ada apa, Mik?" tanya Nadia.
"Nad...Nad. Aku kan tanya soal Dimas dan Agra. Bukan tentang Agra saja," ujar Nadia. "Apa jangan-jangan, kamu..."
"Tidak. Mana mungkin aku menyukai Agra."
"Loh, aku kan belum selesai bicara, Nad," kata Mika.
"Sudahlah Mik. Siapapun pasti tahu kamu akan menebak soal apa," ujar Nadia.
"Jadi benar? Kamu suka padanya?"
"Tentu saja tidak," sanggah Nadia.
"Akhir-akhir ini, aku tahu kalian dekat sekali?" tanya Mika kembali.
"Karena kami memang terlibat dalam satu kegiatan lomba bersama," jelas Nadia mengganti ekspresi paniknya dengan biasa. "Aaaah, kamu ini. Mana mungkin aku suka dengan Agra?" Nadia, sambil mengibaskan salah satu tangannya di depan wajahnya.
"Memangnya kenapa? Agra ganteng, pintar, cerdas, keren, idealis dan juga... dia itu bijaksana. Seperti yang selalu kamu katakan padaku, dulu." Mika seolah masih menyidik Nadia.
"Tapi, bukan berarti aku menyukainya, kan? Kita sudah jadi sahabat sejak dulu," jelas Nadia.
"Tapi, bukan berarti juga kalau kamu tidak menyukainya kan?" Mika nampaknya masih belum puas dan masih menanyakan hal yang membuatnya penasaran itu.
"Tentu saja tidak, Mik. Lagipula, dia kan sudah punya pacar," kata Nadia pelan.
"Jadi, karena itu?" tanya Mika tak mau berhenti.
"Sudahlah Mik. Cepat cari buku referensi untuk mengerjakan skripsimu itu. Sebentar lagi aku ada kuliah," kata Nadia.
"Ya ampun, ini sudah jam sembilan ya? Baiklah. Aku cari dulu sebentar ya," ujar Mika yang teringat sesuatu. Ia lalu berdiri, lalu berjalan ke arah rak-rak buku yang berjajar banyak itu.
Setelah Mika menjauh dan sudah merasa teralihkan, lagi-lagi Nadia bisa bernafas lega. Nadia harap, Mika tidak bertanya-tanya lagi soal Agra. Namun ia tidak yakin kalau Mika akan percaya padanya atau tidak.
Seberapa banyak pertanyaan bisa saja teralihkan. Seberapa besar rasa penasaran, Nadia terus berusaha mengelak. Nadia bisa membohongi teman dan orang-orang sekitarnya, tapi ia tidak bisa membohongi hatinya sendiri kalau saat ini, di dalam pikirannya hanya ada Agra. Jika Nadia mau jujur, ia sangat menyukai Agra.