Nathan memasang senyumnya meskipun tidak bisa menyembunyikan mata sembabnya. Adelia melirik Nathan lalu memejamkan matanya, perlahan dia membalas genggaman Nathan.
"Mas," panggil Adelia lirih.
"Ya, Sayang, ada apa hmm? Apa kamu butuh sesuatu?" jawab Nathan sambil mengusap pipi Adelia.
"Apa aku sakit parah? Kenapa kamu menangis?" tanya Adelia saat Nathan mencoba menyembunyikan mata sembabnya.
"Kita tunggu pemeriksaan dokter, ya! Tadi dokternya habis jam kerja dan menyarankan kita menunggu dokter lain. Aku sudah menghubungi teman yang kebetulan bekerja di sini, lagipula wajar jika aku menangis. Aku panik melihatmu seperti tadi, tidak biasanya kamu seperti itu. Kamu tahu ... kamu selalu saja sukses membuatku takut," jawab Nathan jujur meski dalam hati dia juga takut jika pemeriksaan nanti sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya.
Di tengah obrolan mereka suara ketukan pintu membuat Nathan menoleh dan mendapati senyum manis dari seorang dokter wanita yang datang menghampiri keduanya.
"Selamat pagi," sapa dokter tersebut dengan ramah yang dibalas senyum lemah Adelia sementara Nathan hanya mengangguk dan memberikan ruang untuk dokter tersebut memeriksa istrinya.
"Saya harus memastikannya lewat pemeriksaan USG," ujar sang dokter membuat Nathan dan Adelia bertukar pandang. Ada sekelebat rasa bahagia saat dokter mengatakan USG sementara rasa takut Nathan justru lebih mendominasi dalam hatinya.
"Apa sesuatu yang buruk terjadi?"
"Untuk itu, saya memerlukan USG untuk melihat apakah analisa saya benar atau tidak."
Nathan mengangguk singkat dan membiarkan dokter yang di rekomendasikan oleh temannya itu bekerja sesuai keahliannya. Adelia disuruh untuk tidur di ranjang yang ada di ruangan dokter tersebut setelah tadi Nathan membawa istrinya menggunakan kursi roda. Pria itu memperhatikan perut istrinya yang di beri gel bening, Adelia terlihat menghela napas panjang dan menggenggam erat tangan Nathan menyalurkan rasa takutnya. Dia takut akan kenyataan buruk yang mungkin saja menghampirinya apalagi ketika beberapa waktu ke belakang Adelia selalu berusaha mengajak Nathan untuk mengecek kondisi kesehatan rahimnya sekaligus mengetahui apakah dia subur atau tidak tapi Nathan selalu menolaknya, kali ini mau tidak mau siap atau tidak keduanya harus mampu mendengar kenyataan yang dokter jelaskan.
Perlahan dokter menggerakkan benda yang Nathan dan Adelia tidak tahu apa namanya tapi benda itu juga yang memperlihatkan kondisi rahim Adelia. Wajah dokter yang sejak tadi tersenyum pada pasangan suami istri itu kini perlahan meredup dan berubah pucat saat alat yang dipegangnya berhenti di satu titik, dia melirik Nathan dan Adelia bergantian.
"Nona, Tuan, sepeti yang kalian lihat jika di layar monitor nampak sesuatu yang tidak beres di rahim nona Adelia," terang dokter tersebut.
Genggaman Adelia semakin kuat saat mendengar hal tersebut dari dokter meski dirinya belum tahu apa itu, begitu pula Nathan yang mencoba menenangkan istrinya yang sudah terlihat berkaca-kaca.
"Apa yang terjadi? Cepat katakan!" Nathan tidak sabar mendengar penjelasan dokter.
"Tuan, Nona, ada miom yang tumbuh di rahim Nona. Sebelumnya apa nona sering merasakan nyeri hebat akhir-akhir ini?" tanya dokter yang bername tag Nina tersebut.
Adelia mengangguk membuat Nathan terkejut, dia tidak pernah tahu jika istrinya merasakan sakit dan menahannya sendirian.
"Tenang, Sayang, ada aku di sini yang menjagamu. Semuanya pasti baik-baik saja, maafkan aku karena tidak tahu jika dirimu sakit." Nathan mencium tangan Adelia yang tengah dirinya genggam.
Tatapan Nathan beralih pada dokter Nina yang tengah memperhatikan keduanya.
"Jadi bagaimana Dokter, apa itu bisa membahayakan istriku?" Nathan mengusap kasar wajahnya dan menatap Adelia yang sudah menangis dalam diam.
"Hal itu tidak berbahaya Tuan, selama ditangani dengan benar dan tepat." Dokter Nina memberikan penjelasan.
Adelia terlihat merenung, entah dia mendengarkan penjelasan dokter Nina atau tidak karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah ibu mertuanya. Riska begitu menginginkan kehadiran seorang cucu bahkan hingga membuat wanita paruh baya itu tega menyuruh Nathan menikah lagi, apalagi jika Riska tahu kondisi Adelia yang seperti ini entah apa yang akan dilakukan Riska nanti. Mungkin mertuanya itu akan memaksa Nathan menikah dengan Marissa yang sudah dirinya kenalkan pada Nathan.
"Solusi terbaiknya adalah kita mengangkat miom tersebut, karena saat miom semakin besar maka ia akan menekan bagian di sekitarnya. Hal itulah yang menyebabkan rasa nyeri dan penuh di perut anda Nona, juga ... karena miom inilah anda mengalami anemia," jelas dokter Nina.
"Apa itu aman?"
"Itu hanya operasi kecil, Tuan, untuk waktu pemulihannya juga tidak akan lama." Dokter Nina menjelaskan apa langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pasangan dihadapannya.
"Sayang, kamu dengar? Semuanya akan baik-baik saja, jadi jangan menangis seperti ini." Nathan mengusap air mata Adelia dan membantu istrinya untuk duduk.
"Apa saya bisa hamil, Dokter?" tanya Adelia dengan suara parau. Dia menatap lekat dokter Nina dengan tatapan menuntut jawaban. Sementara Nathan dibuat membatu dengan pertanyaan yang dilontarkan istrinya pada dokter yang kini tengah menautkan jarinya.
"Tentu saja Nona, anda tetap bisa hamil setelah miom diangkat. Tapi pastinya menunggu setelah kondisi rahim anda benar-benar kondusif," jawab dokter Nina diiringi senyuman yang mampu membuat Adelia mengembuskan napas panjang yang sejak tadi dia tahan. Adelia sudah siap menerima kenyataan terburuk meskipun hatinya akan hancur, tapi mendengar ucapan dokter Nina beban yang selama ini dirinya pikul seperti terangkat begitu saja.
"Kapan istriku bisa dioperasi?"
"Lebih cepat lebih baik, Tuan."
"Baiklah, segera jadwalkan dan jangan terlalu lama!" Nathan kembali mbawa Adelia ke ruangannya setelah mereka sepakat untuk melakukan operasi nanti siang.
Sepanjang jalan Adelia hanya diam meskipun Nathan mencoba mengajaknya bicara. Dirinya tidak mendengarkan apa saja yang Nathan katakan. Hingga Adelia sadar jika sepanjang jalan dia melamun ketika Nathan mengangkat tubuhnya dan kembali meletakkannya di ranjang. Pria itu membelai pipi Adelia dengan tatapan hangat yang begitu dalam. Nathan juga menggenggam tangan istrinya seolah tengah menyalurkan kekuatan pada wanita yang sudah menemani hidupnya selama hampir empat tahun itu.
"Mas, jika seandainya aku tidak bisa hamil bagaimana? Jadi selama ini miom di rahimku yang menghalangi keinginanmu, impianku dan juga mama. Jika mama memintamu menikahi Marissa setelah kamu tahu keadaanku apa kamu akan menurutinya demi keturunan keluarga kalian?"
Pertanyaan Adelia membuat Nathan menatapnya tajam, dia paling tidak suka mendengar ketakutan Adelia apalagi sampai istrinya menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan mau menikah dengan Marissa, jikapun kita tidak bisa memiliki keturunan lebih baik kita adopsi saja anak dari panti asuhan jika memang itu yang kamu inginkan. Tapi ingat satu hal, aku ... tida akan pernah menikahi siapapun kecuali istriku!" ucap Nathan tegas sambil berlalu meninggalkan Adelia.