Nathan menatap ibunya dengan pandangan yang sulit diartikan, dia tidak suka jika ibunya membawa wanita lain ke tengah-tengah rumah tangganya yang harmonis, apalagi saat ini Adelia tengah rapuh. Jika terus seperti itu maka Nathan yakin jika Adelia akan semakin terpuruk dan kembali drop.
"Iya, memang Marissa tidak ada kepentingan di kantor ini, tapi Mama yang mengajaknya! Memangnya mama perlu izinmu jika ingin mengajak seseorang?" tanya ibunya sambil berjalan dan duduk di samping Adelia.
Istri Nathan itu masih berusaha menormalkan perasaannya yang tengah kacau karena obrolan karyawan suaminya saat di toilet tadi. Jangan sampai jika kedatangan mertuanya kali ini juga membuat moodnya semakin terjun bebas ke dasar jurang.
"Ada apa? Tumben mama datang ke kantor? Biasanya juga mama hanya menelpon Nathan, apa papa baik-baik saja?" Nathan mencoba untuk meredam amarahnya terhadap sang ibu, biar bagaimanapun dirinya tidak mungkin bicara dengan anda tinggi pada ibunya.
"Tidak, papa baik-baik saja. Tapi mama kemari karena ingin membahas ucapan mama waktu itu," ujarnya sambil melirik Adelia dengan sinis.
"Ma ...." Nathan tidak sanggup jika harus memilih antara ibu dan istrinya. Kedua wanita itu memiliki tempat masing-masing dalam hatinya.
"Untuk apa lagi kamu mempertahankan wanita yang tidak bisa memberikanmu keturunan?" tanya sarkas ibunya sambil mengubah posisi duduknya jadi bersandar dan memperhatikan ekspresi Adelia yang kini menunduk.
Adelia duduk hanya diam mendengarkan maksud dari ucapan mertuanya, dia tidak berniat ikut campur atau sekedar menjawab ucapan mertuanya yang membuat Adelia sakit hati. Apalagi saat wanita yang dibawa mertuanya berdiri dengan begitu angkuh seolah kini mereka tengah mengadakan kompetisi dan wanita yang diketahui Adelia bernama Marissa itu akan keluar sebagai pemenangnya karena mendapatkan dukungan dari ibu mertuanya.
"Ma, apa pembahasan seperti ini layak dibicarakan di kantor? Apa pantas orang asing juga ikut dalam masalah ini? Sampai kapanpun, Nathan tidak akan pernah mau mengikuti ucapan mama tempo hari," sahut Nathan sambil membawa Adelia berdiri dan pergi dari ruangannya.
Pria itu mengajak istrinya keluar karena tidak ingin jika Adelia semakin terpuruk, apalagi tadi dirinya melihat jika Adelia menangis dan belum sempat bercerita, dia tidak tahu apa penyebab istrinya sampai seperti itu.
"Nathan ...." Ibunya berteriak saat Nathan keluar. Dia kesal melihat anaknya kini jadi pembangkang.
Sementara Marissa mendekati ibu Nathan dan mengusap lengan wanita baya itu, mengambil simpati wanita yang memintanya untuk jadi menantu.
"Sabar Tante, mungkin Nathan butuh waktu." Marissa menenangkan dengan suara yang terdengar begitu lembut dan mendayu di telinga Riska ibu dari Nathan.
Wanita baya mengangguk sambil menghela napas panjang, dia melirik Marissa yang tengah melemparkan senyum padanya.
"Maafkan Tante, Tante pikir Nathan tidak akan seperti itu. Biasanya dia anak yang penurut tidak pernah membantah ucapan Tante," ujar Riska dengan raut wajah yang tidak enak terhadap Marissa.
"Aku mengerti, cinta Nathan begitu besar terhadap istrinya. Jadi sulit bagi Nathan menerima orang asing meskipun hanya untuk sekedar berteman," sahut Marissa lirih.
Riska mengusap pucuk kepala wanita yang dia pilih untuk jadi menantunya, dia ingin cucu dari wanita yang jelas bibit bebet bobotnya dan itu adalah Marissa.
"Kamu wanita baik, Tante tidak salah memilihmu untuk Nathan. Tapi seandainya Nathan tetap pada pendiriannya dan tidak ingin menceraikan Adelia apa kamu tidak masalah jika di madu?" tanya Riska. Marissa mengubah posisi duduknya, dia menatap ke arah pintu karena tidak ingin melihat wajah sendu Riska.
"Aku tidak masalah Tante, asal ketika aku menjadi madu Adelia, istri pertama Nathan itu mau menerimaku sebagai madunya." Marissa berucap lirih.
"Lagipula aku paham bagaimana posisi mereka berdua, mungkin bagi sebagian orang atau bahkan nanti mereka menilai jika aku adalah penghancur rumah tangga orang," sambung Marissa.
"No! Tidak akan ada yang berani menilaimu seperti itu. Kamu menikah dengan Nathan nanti karena permintaan Tante, tentu saja kamu menantu Tante dan bukan penghancur rumah tangga orang." Riska menenangkan Marissa yang terlihat menunduk sedih.
***
Sementara di luar Nathan terus saja menggenggam tangan istrinya dan menggumamkan kata maaf berkali-kali, mata sembab Adelia semakin terlihat apalagi sebelum kedatangan ibunya, sang istri juga sudah menangis.
"Maafkan sikap mama, aku yakin jika dia hanya terbawa obsesi. Nanti dirinya juga akan tenang dan meminta maaf padamu, hmm!" Nathan memeluk istrinya dan menghujani seluruh wajah istrinya dengan kecupan.
Adelia tidak menjawab, dirinya masih diam memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi kedepannya, tidak menutup kemungkinan jika suaminya menuruti permintaan mertuanya suatu hari nanti.
"Sayang ...." Nathan memanggil Adelia karena istrinya tidak menjawab sejak tadi.
"Hmm." Adelia hanya bergumam tanpa berminat untuk menjawab.
"Apa yang membuatmu menagis tadi?" tanya Nathan.
Sejujurnya ... tadi Adelia sudah ingin bicara kebenarannya, tapi urung dia lakukan karena kedatang Riska. Nyali Adelia juga kini semakin menciut saat kedatangan Riska yang terang-terangan meminta suaminya menikah lagi ketika dirinya sakit beberapa hari lalu. Adelia harus kembali menekan perasaannya karena tidak mau membuat beban pikiran untuk Nathan. Yang dilakukan Adelia hanya menggeleng saat suaminya kembali bertanya perkara tadi.
"Tidak apa-apa, aku juga sudah lupa." Adelia memperhatikan lalu lalang kendaraan yang berlalu di depannya.
Nathan menggenggam tangan istrinya membawa fokus wanita itu padanya. Dia berjongkok dan menatap tepat iris mata Adelia.
"Tolong untuk jangan berbohong padaku, dirimu sendiri tahu jika aku tidak bisa kamu bohongi."
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Oh ya, besok aku masuk ke sekolah untuk mengajar saja, lagipula aku di kantor tidak bisa membantumu mengerjakan apapun," ujar Adelia membelokkan pembicaraan. Nathan menghela napas berat, dia sebenarnya ingin menyuruh Adelia istirahat minimal hingga akhir pekan, tapi jika dengan kembali mengajar keceriaan istrinya bisa kembali maka pria itu juga tidak mungkin melarangnya.
"Hmm, baiklah ... selama itu bisa membuatmu kembali tersenyum," ujarnya mengalah.
Adelia mengangguk dengan senyum terulas di bibirnya, wanita itu meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada rekannya yang sesama tenaga pengajar jika besok dirinya akan masuk. setelah mendapatkan balasan Adelia lantas berdiri membuat Nathan juga ikut berdiri.
"Kenapa? Mau kemana?" tanya Nathan karena tadi Adelia sempat berkirim pesan lalu kini istrinya itu tiba-tiba saja bangkit.
"Aku ingin bertemu seseorang," sahut Adelia singkat.
"Siapa?"
"Temanku, apa kamu ingat Lisa? Tadi aku berkirim pesan dengannya dan dia mengajakku untuk bertemu, jika tidak percaya lihat saja!" Adelia menyodorkan benda persegi pada suaminya.
Nathan membacanya sekilas dan memang benar apa yang dikatakan istrinya. Dengan berat hati Nathan mengijinkan Adelia pergi sendiri, meskipun awalnya dia berniat menemani dan mengantarkan istrinya.