"Kenapa nih, siang-siang udah ngalamun aja? Sampe-sampe makanan di depan mata di anggurin aja. " ucap Sinta yang baru datang dan menepuk pundak ku. Sehingga sedikit mengejutkan ku karena tepukan nya.
"Eh, kamu Sin. Ngagetin aja." balasnya.
"Hehe, lagian ngalamun nggak ngajak-ngajak. Kan kalau kesambet setan bisa barengan." ucapnya sambil menyomot bakso yang berada di dalam mangkok.
"Eh, enak aja." cegah ku sambil mengarahkan sendok yang berada di tangannya ke mulutku.
"Ihhh, pelit banget sama kawan sendiri." ucapnya pura-pura marah.
"Lagian mau minta kok nggak nanya-nanya dulu. Kan sama aja ngambil yang bukan hak kita. "
"Iya deh, iya maaf ya Fira cantik. Minta ya, sesuap aja." ucapnya sambil pura-pura sok imut.
"Heleh, kalau ada maunya aja ngrayu-ngrayu mulu. Coba kalau nggak ada maunya pasti nyebelin tuh sekarang." balasku tak terpikat dengan muka sok imutnya.
"Hihh, salah mulu perasaan dari tadi." ucapnya sambil cemberut.
"Hahah, udah ini makan aja. Aku udah kenyang lihat wajah kamu yang sok manis itu." ucapku sambil menyodorkan bakso yang baru aku makan satu biji itu ke hadapannya.
"Wah, beneran nih." ucapnya dengan sumringah.
"Iya," balasku sambil menyeruput es teh di depanku.
"Eh, jadi enak nih. Nggak sekalian es tehnya gitu. Masa' makanan aja nggak ada minumnya. Kalau haus gimana?" ucapnya sambil melahap bakso itu dengan rakusnya.
"Yeee, ngelunjak. Udah dikasi hati minta jantung. Kalau haus pesan sendiri lah." balasku sedikit sewot.
"Hahah, bercanda kali. Serius amat nanggepinnya." ucapnya dengan mulut penuh bakso.
"Ini beneran nih, baksonya nggak mau?" ucapnya basa-basi.
Padahal saat itu juga yang tersisa dalam mangkok hanyalah sawi dan beberapa keping mi saja. Sedangkan baksonya, sudah habis di lahap masuk ke perutnya.
Aku lebih memilih menjawab dengan anggukan saja. Malas rasanya menanggapi ucapan Sinta barusan. Aku lebih memilih membaca novel yang belum selesai di baca tadi.
Sedangkan Sinta masih asik melahap kuah bakso sampai habis tak tersisa.
"Bu, pesan baksonya 1 lagi ya. Nggak pake lama!" ucap Sinta sambil menyerobot minuman yang ada di depanku.
Aku yang melihat itu hanya bisa melongo tak percaya ternyata anak dengan postur badan kecil tapi tinggi ini memiliki selera makan yang banyak.
"Belum makan setahun ya? kok sampai nambah gitu!" tanyaku dengan memandang wajahnya yang cengengesan.
"Hehe, laper. " jawabnya singkat.
"Laper apa doyan!"
"Hehe, coba kalau ada yang nraktir pasti aku bisa nambah sampai berkali-kali. Kan sayang kalau di anggurin." ucapnya sambil tersenyum tanpa dosa.
"Yeeee, ngarep. Itu aja kamu yang bayar semua kali kan kamu yang makan." ucapku acuh.
"Lho kok gitu, kan tadi kamu yang pesan makanannya. bener nggak?" ucapnya.
"Terus siapa yang ngabisin makanannya?" tanyanya balik.
"Aku," ucapku sambil mengacungkan telunjukku ke diriku sendiri.
"Terus kalau gitu siapa yang bayar?" balasku enteng.
"Ya kamu lah, masa' aku sih." jawabnya nggak mau kalah.
"Enak aja. Ya bayar kamu lah. Kamu yang kenyang aku yang tekor kalau gitu."
"Waduh, ngerti gitu nggak usah pesan lagi aja. Nggak jadi untung malah buntung." ucapnya sambil menepuk dahi dengan sebelah tangannya.
"Makanya jangan serakah," ucapku sambil tersenyum.
Akhirnya, setelah pesanan yang diinginkan Sinta pun kembali datang kembali. Tak ada obrolan yang terucap seperti tadi. Yang ada hanya keheningan, sedingin angin yang berhembus siang ini.
Karena cuaca yang tak menentu terkadang panas, terkadang hujan. Bahkan saat panas menyengat pun disertai dengan gerimis yang turun secara rintik-rintik.
"Fir?" ucapnya.
"Hmm," balasku sambil tetap fokus membaca.
"Fira!" ucapnya sedikit keras. Sehingga hampir setiap sudut kantin memandang kita berdua secara aneh.
Sedangkan yang membuat malu malah cengengesan nggak jelas.
"Apaan sih, Sin. Aku juga denger kali kamu manggil nggak usah teriak-teriak juga. " ucapku sambil menutup wajahku dengan novel persis di depan muka ku.
"Hehe, lagian aku panggil dari tadi malah nggak nengok sama sekali," ucapnya cengengesan tanpa rasa malu karena menjadi pusat perhatian barusan.
"Ada apa emangnya? Kalau mau ngomong kan tinggal ngomong aja, aku nggak tuli juga kan?" ucapku sambil menutup kembali novel yang sempat tertunda tadi.
"Hehe, " balasnya tanpa dosa.
"Gimana mau jadi mau ngomong nggak?"
"Eh, iya."
"Sebenarnya cuma mau nanya sih tadi ngalamunin apa? Kok sampai serius banget perasaan. Emang hal yang penting gitu ya?" ucapnya menyodorkan ku dengan berbagai macam pertanyaan.
"Ohh itu, gapapa kok. Cuma lagi pingin termenung aja." ucapku sambil menghentakkan jari tanganku ke meja.
"Jujur aja Fir, nggak usah bohong lah." ucapnya mencari kebenaran.
"Lho emangnya aku bohong gimana? Kan aku bicara jujur." ucapku tak ingin kalah.
"Fir, kita itu kenal udah lama lho, udah sedari kecil bahkan. Jadi aku tau semua tentang kamu. Entah itu kamu sedang ada masalah, sedih atau bahkan sedang bahagia. Aku tau itu Fir." ucapnya.
Aku hanya diam tak menanggapi ucapan Sinta barusan.
"Kamu kalau lagi ada yang ditutupi selalu begitu? mengetuk-ngetuk meja dengan jari kamu. Aku tau itu, kan sedari kamu kecil juga begitu. Emang kamu ini kalau lagi ada masalah atau hal apapun itu, sulit sekali buat cerita. Tapi, apa salahnya mencurahkan semua yang ada di hatimu dari pada buat hati kamu nggak tenang. Setidak nya dengan cerita bisa mengurangi beban yang terpendam dalam hati kamu."
"Aku juga nggak maksa sih kalau kamu belum siap cerita atau bahkan mungkin nggak mau cerita. Yang penting saat ini aku sudah menawarkan diri untuk mendengarkan semua keluh kesah kamu. Biar hati kamu lega juga," sambungnya.
Setelah mempertimbangkan ucapan Sinta barusan benar juga adanya. Karena memang setiap aku ada masalah atau apapun aku selalu cerita ke Sinta. Dia selalu mendengarkan setiap curahan hatiku dengan detail. Bahkan terkadang ia juga memberikan masukan yang positif.
Terkadang juga berlawanan dengan keinginan hatiku. Walau begitu ia tetap memberikan alasannya agar aku mudah memahami. Karena memang pikiran seseorang memang tak akan sama. Perbedaan itu memang ada kan? Dan tinggal bagaimana kita menyelesaikan setiap perbedaan itu saja.
"Sin, sebenarnyaa," ucapku terpotong.
"Sebenarnya apa? ngomong yang jelas napa? Ngomong juga nggak perlu bayar pajak kok. Jadi nggak usah di potong-potong gitu juga." cercahnya.
"Kamu ingat kejadian tadi pagi nggak?" ucap ku.
"Kejadian yang mana? Kan tadi pagi banyak kejadian juga. " balasnya.
Selalu begitu. Setiap aku ingin curhat dia selalu ingin menghiburku dengan candaannya. Agar tak terlalu tegang katanya. Walau begitu, aku juga tak mempermasalahkan nya.
"Yang tentang Reno,"
"Oo, yang Reno nembak kamu tadi pagi?" ucapnya sambil mengingat-ingat.
Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Terus masalahnya apa? Kan udah biasa si Reno bersikap kaya tadi sama kamu, Fir."
"Iya, "
"Terus gimana maksud kamu?"
"Kamu pernah ngerasain jatuh cinta nggak sin?" ucapku spontan.
Sementara Sinta hanya melongo mendengar ucapan ku barusan.
****