Dengan singkat, malam sudah tiba lagi. Yena masih duduk di depan jendela yang terbuka dengan dagu bertopang pada kusen sembari menatap bulan yang memanjat angkasa di luar sana.
Seharian ini, dia tidak berhenti memikirkan tentang Leon hingga kepalanya menjadi sakit. Dia masih tidak dapat menemukan alasan mengapa Lucifer begitu kejam atau mengapa Leon masih tetap bertahan dengannya. Sayangnya Leon juga tutup mulut.
Dari kegelapan malam, sosok hitam legam Leon datang dan langsung hinggap di kusen jendela tepat di samping Yena. Melihat Leon, Yena menegakkan punggungnya dan mengulurkan tangannya untuk membelai burung malang itu. Menatapnya dengan empati.
Mau bagaimanapun, Yena merasa di antara semua mahluk aneh yang ia temui belakangan hanya Leon lah yang tulus memperlakukannya dengan baik.
"Dia tidak memukulmu lagi 'kan?" tanya Yena khawatir.
"Tidak. Kau tenang saja," ucap Leon. Mendengar suaranya yang ceria Yena lega dia sepertinya memang baik-baik saja. Tetapi dia masih tidak merasa tenang.
"Leon, kenapa kamu masih saja ingin bersamanya padahal dia memperlakukanmu dengan buruk." Yena berkata dengan heran kemudian kembali melanjutkan, "apakah itu karena dia juga mengikatmu dengan simbol?"
Leon menggeleng. "Bukan. Simbol ini bukanlah simbol perbudakan. Kami dapat membatalkannya kapan saja tanpa persetujuan kedua belah pihak."
Mendengar hal itu kening Yena semakin berkerut saja. Namun ia tau meski ia bertanya Leon tidak akan mau menjawabnya.
"Aku memilih melayaninya, ini sama sekali bukan paksaan." Leon berkata dengan nada meyakinkan.
Yena tersenyum dan menepuk kepala kecilnya pelan.
"Baiklah baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi. Tapi aku hanya ingin memberimu nasihat. Hidup sangat berharga. Entah kamu melakukan ini karena alasan balas budi atau hal lain tapi memberikan kebebasan hidup tidaklah sepadan. Bahkan jika karena dia telah menyelamatkan nyawamu ini masih tetap tidak senilai." Karena jika Leon tidak melakukannya karena paksaan, itu pastilah karena balas budi. Yena pikir.
Mendengar Yena, Leon hanya berkicau kecil seolah setuju dengan apa yang dikatakan Yena.
Yena tersenyum tipis. Jadi bukan balas budi, yah?
"Ngomong-ngomong, apakah ular itu tau kamu datang ke sini?" tanya Yena setengah berbisik. Padahal tidak seorang pun yang akan mendengarkan pembicaraan mereka.
"Tidak. Aku dan Lucifer tidak selalu saling berhubungan. Dia tidak mengawasiku setiap saat."
"Baguslah, jadi kita bisa lebih sering bertemu ...." Yena menghela napas, berpikir sejenak kemudian berucap dengan hati-hati, "Setelah aku pergi apa yang Lucifer lakukan?"
"Apa lagi? Dia bermuram durja dan hanya mengamuk," ujar Leon seadanya.
"Selain mengamuk?" Yena tampaknya sangat penasaran. Dia ingin tau apakah Lucifer menangis seperti manusia normal saat hewan peliharaannya hilang?
"Masih mengamuk, bahkan hingga saat ini. Aku juga tidak berani menemuinya lagi setelah terkena imbasnya." Leon berkata dengan senyum pahit. Jika dia nekat bertemu reptil yang sedang puber itu lagi maka bisa dipastikan ia akan bertransformasi menjadi gagak gundul.
Yena juga tersenyum masam. Karena ada Arion, Lucifer tidak bisa menyusulnya kemari, jadi dia hanya bisa melampiaskan amarnya pada orang lain.
Bulan yang hampir purnama semakin meninggi dan nyaris mencapai puncak.
Di salah satu wilayah gelap di sudut kota, entah mengapa cahaya bulan seolah tidak bisa menerobos ke dalamnya, menjadikan tempat tersebut lebih gelap daripada palung terdalam di samudera.
Sangat sunyi, hanya ada suara bising dan raungan sakit yang mewarnai kegelapan tersebut. Kemudian, satu-satunya cahaya yang nampak hanyalah dua cahaya merah tajam yang berasal dari mata yang lebih dingin dari glester.
Brakkk
Satu lagi mahluk hijau berkepala besar meregang nyawa di tangannya.
"Khikk!!!"
"So! Lepaskan dia! Lepaskan dia! Lepaskan dia!" Satu lagi yang masih tersisa berlari seperti orang gila untuk menolong saudaranya, atau lebih tepatnya untuk bunuh diri. Karena begitu ia mendekat ekor sekeras baja itu langsung membelit tubuh gempalnya dan perlahan meremukkan tulangnya.
"ARGHHHH!" Ia melolong.
"Kau ... kau yang berani melirik milikku?" Desisan dingin membekukan tulangnya dan hanya membuatnya semakin rapuh dan mudah dihancurkan.
"Aerii tolong aku! Tolong aku! Tolong aku!!!" Ia berteriak putus asa. Berharap perempuan bergaun putih yang sudah lebih dulu ambruk dan kini sedang bersimpuh di kejauhan akan bergerak menolongnya.
Namun tidak, perempuan cantik dengan noda darah di sudut bibirnya itu malah menarik sebelah sudut bibirnya, tersenyum miring.
"Para pencuri seperti kalian pantas mendapatkannya." Ia bergumam.
Tidak lama, suara lolongan itu menghilang. Kegaduhan akhirnya benar-benar reda dan menghilang.
Meski Aeri tidak memiliki mata, tetapi ia tidak buta. Ia dapat merasakan monster itu datang padanya dengan aura membunuh.
Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum cerah ketika merasakan bahwa Lucifer kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Kita belum sempat bertegur sapa tadi. Lama tidak bertemu, Lee Shan," ucapnya.
Sapaannya yang ramah hanya dibalas oleh dengusan napas dingin.
"Apa kau juga ingin turut campur dalam urusanku? Aeri nuna, jangan temui dia lagi." Lucifer berkata dengan nada berat dan mengancam.
"Jangan cemas, aku hanya ingin menyapanya saja. Aku mengerti kau khawatir aku akan mengatakan sesuatu yang membuat citramu semakin buruk di hadapannya. Tetapi, aku rasa sekarang kau sudah cukup buruk di matanya. Lee Shan, berhenti saja. Apa gunanya kau melakukan ini? Memaksa ingin memiliki seseorang yang jelas-jelas tidak ingin bersamamu." Aeri dengan hati-hati memilah-milah kata untuk kalimat terakhirnya. Ini adalah bagian sensitif lain Lucifer.
Air muka Lucifer berubah, mungkin menjadi sedikit cemberut.
Sebelum Lucifer membuka mulutnya untuk membantah, Aeri berkata lagi, "Dia tidak menyukaimu. Terimalah kebenarannya."
"Itu hanya asumsimu," sanggah Lucifer. Nadanya tidak tegas dan goyah.
"Dia menyukaiku," gumamnya pelan.
"Dia menyukaiku."
Aeri hampir tidak bisa memastikan seperti apa raut wajah pria itu saat ini. Suaranya yang penuh keyakinan semakin memudar bersamaan dengan menghilangnya sosok tegap itu ke dalam kegelapan yang lebih gelap.
"Dia menyukaiku, sangat ... menyukaiku ...." Lucifer masih terus bergumam di sepanjang jalan yang ia ambil.
Aeri tidak tau harus tertawa atau sebaliknya.
"Apakah ... seorang Imoogi telah frustasi hanya karena kehilangan satu peliharaan?" Tiba-tiba Hwa yang menggelantung di samping belakang Aeri bersuara setelah berpura-pura mati untuk beberapa lama. Ia baru berani 'hidup' sekarang setelah Lucifer pergi. Rambutnya yang panjang terbelit ke besi atas akibat dihajar Lucifer, membuatnya bergelantungan seperti ini. Untung saja akar rambutnya sangat kuat.
"Apa yang kamu tau? Gadis itu bukan hanya sekadar peliharaan baginya. Sebelumnya dia tidak pernah punya peliharaan karena Lee Shan itu, dia sangat sulit untuk menyukai sesuatu, tetapi sekali suka dia akan menggenggamnya dengan erat." Aeri berucap dengan pikiran menerawang ke masa lalu. Mengingat obsesi Lucifer dulu membuat bulu kuduknya merinding.
"Aeri, pssttt ..., ada yang datang. Naga itu ...." Bisikkan Hwa seketika membuyarkan lamunan Aeri.