Malam sudah tiba lagi, untuk yang ketiga kalinya Leon datang untuk mengantarkan makanan. Kali ini Yena meminta burung itu untuk tinggal dan menemaninya. Yena merasa kesepian karena Lucifer tidak naik-naik. Lagipula Yena masih merasa sebal dengan dia.
"Apa kamu lihat Lucifer? Kemana dia?" tanya Yena pada Leon yang duduk di kusen jendela. Sementara Yena sendiri baru selesai menghabiskan makan malamnya.
"Tidak tau. Apa dia tidak ada di sini?" Leon balik bertanya.
"Hm mungkin dia ada di bawah. Leon, ngomong-ngomong kamu ini jenis mahluk apa?"
"Kau bisa menganggapku siluman," kata Leon. Faktanya dia memang siluman.
"Ngomong-ngomong, aku tidak melihat siluman lain selain dirimu dan Lucifer. Apa tidak ada siapa pun di sini selain kalian?" Yena terus bertanya dengan penasaran.
"Yang siluman hanya aku saja, Lucifer bukan siluman. Dia adalah mahluk yang setingkat lebih tinggi dari siluman," ujar Leon.
"Apa bedanya? Kalian sama-sama bisa berubah antara hewan dan manusia. Aku menyebut yang seperti itu sebagai siluman," kekeh Yena.
"Lucifer bukan hewan, dia adalah Imoogi," bantah Leon lagi.
"Baiklah, apa pun itu. Kamu belum menjawab pertanyaanku, apa di sekitar sini tidak ada mahluk lain selain kalian?" Yena kembali pada pertanyaan pertamanya.
"Tidak ada. Ini adalah teritori Lucifer. Kecuali aku tidak ada yang lain di sini. Lagipula populasi siluman sekarang tidak banyak. Siluman yang masih bertahan di dunia ini memilih tinggal di tempat yang jauh dari manusia," terang Leon.
"Oh? Jadi kalau begitu apa kamu tidak punya keluarga? Tidak mungkin siluman gagak hanya seorang 'kan?"
"Oh?" Mendengar pertanyaan Yena kali ini air muka Leon sedikit terganggu.
Bocah itu mengerutkan keningnya dan berkata dengan gamblang, "Dulu spesies gagak lumayan banyak, tapi Lucifer sudah membunuh semuanya."
"Eh?" Yena terkesiap. Ia menegakkan punggungnya dan menatap Leon bingung.
"Maksudmu apa?"
"Lupakan saja. Aku pergi dulu." Leon berkata kemudian melompat keluar. Yena melihat burung gagak itu terbang dan menghilang ke dalam kegelapan.
Gadis itu mengernyitkan keningnya heran. Apa maksudnya Lucifer telah membunuh semuanya? Apakah ... itu benar?
Yena merasa skeptis. Meski Lucifer terlihat dingin dan tidak beerperasaan tapi Yena merasa pria itu tidak jahat. Dia selalu melihat kelembutan jauh di dalam netra merahnya.
"Ah! Dia tidak naik-naik sedari tadi? Sedang apa dia di bawah?" Yena bergumam kemudian memutuskan menyusulnya. Ini sudah malam dan waktunya tidur. Semakin ke sini Yena tidak merasa aman jika Lucifer tidak ada di kamar. Terlebih sekarang kaca jendela pecah dan terbuka. Yena merasa agak ngeri.
Gadis itu berjalan ke belakang menuju tempat di mana biasanya Lucifer berada. Benar saja, imoogi itu tengah berendam di kolam seperti kebiasannya.
"Apa kamu mau tidur si sini?" tanya Yena. Lucifer bergeming dan tak bergerak di dalam sana.
"Kau baik-baik saja?" Yena merasa ada yang tidak beres. Dia berjongkok dan mencelupkan tangannya ke dalam air. Gadis itu mengerutkan bibir saat merasakan air kolam terasa hangat, tidak seperti biasanya.
"Ssttt." Lucifer mendesisi pelan. Tubuh besarnya bergerak dan kemudian menyusut di dalam air. Sedetik kemudian dia keluar dengan sosok manusia.
"Ah--" Yena menutup matanya refleks.
"Gak bisa yah kasih aba-aba kalau mau berubah?!" Yena menggerutu sebal. Hampir saja ia melihat pemandangan segar untuk yang kedua kalinya.
Brukk
Lucifer melemparkan tubuhnya pada bangku panjang di tepi kolam. Yena membuka matanya dan melihat pria itu telah berpakaian. Namun, wajahnya yang agak pucat dan tidak bergairah mengundang perhatian.
"Apa kamu sakit?" Yena mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Lucifer. Untuk pertama kalinya dia merasakan hawa panas dari tubuh Lucifer.
"Kamu sakit!" Yena berseru karena terkejut. Apakah mahluk berdarah dingin juga bisa demam?
"Cepat ke atas!" pinta Yena.
Malam itu angin dingin dari luar berhembus masuk lewat jendela yang pecah. Yena mengikat tirai kuat agar tidak bergeser tertiup angin.
Dilihatnya Lucifer yang berbaring di tempat tidur masih membuka matanya. Mahluk itu tampak sangat jinak dan tidak berdaya.
Yena duduk di kursi dan menatapnya dengan alis berkerut. Hampir tidak percaya mahluk ini bisa sakit.
"Sudah kering." Lucifer mengambil kompres kain yang menempel di atas keningnya dan menyerahkannya pada Yena.
Yena terkejut melihat kompres kain tersebut benar-benar kering. Dia menyentuh kening Lucifer lagi dan merasakan tubuh pria itu sangat panas.
"Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau bisa demam sampai seperti ini?" Yena menjadi panik. Dia segera ke kamar mandi untuk membasahi kompres. Suhu tubuh Lucifer sepertinya sangat tinggi, jika manusia dia pasti sudah kejang parah. Suatu keajaiban karena dia masih baik-baik saja.
"Kalau tidak salah aku punya parasetamol di tas." Yena baru ingat. Dia bergegas memeriksa tasnya dan beruntungnya pil parasetamol itu masih ada.
"Minumlah ini." Yena menyerahkan dua butir pil nya pada Lucifer. Belum sempat Yena mengambilkan air Lucifer mengunyah obat tersebut tanpa berkedip.
"Eh? Tidak pahit?" Yena agak terkejut.
"Pahit!" Pria itu cengir dan menjulurkan lidahnya. Yena tertawa sembari menyodorinya botol air.
"Jangan cemas. Kamu akan sembuh lagi. Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa sampai sakit seperti ini? Apa kamu pernah sakit juga sebelumnya?" Yena bertanya penasaran.
Namun yang ditanya bergeming. Yena melihat Lucifer sudah menutup matanya. Pria itu tampak mengernyitkan dahinya tipis.
Pasti kepalanya pusing. Yena orang yang peka, meski sedikit ragu ia mengulurkan tangannya dan memijat kening Lucifer.
Malam itu, ia mengurus Lucifer dengan telaten. Dalam satu jam saja kompres sudah beberapa kali dibasahi. Yena yang mengantuk dan kelelahan duduk di kursi dan tertidur telungkup ke tepi ranjang. Beberapa detik setelah terjatuh gadis itu terlelap pulas.
Kelopak mata Lucifer terbuka. Pandangan netranya yang sayu perlahan melancarkan cahanya samar saat ia menatap wajah lugu Yena yang terlelap.
Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh puncak kepala gadis itu. Kemudian senyum singkat lewat di bibirnya saat ia mendapati kesan Yena padanya semakin bertambah baik.
Tangan kekarnya turun dan membelai pipi halus gadis itu lembut.
"Mungkin, langit juga tidak akan menghukumku jika kau berada di sisiku dengan suka rela. Benar 'kan?"
...
Lagi-lagi, Yena hanya terbangun setelah cahaya matahari menerobos masuk dan menyapu wajahnya.
Gadis itu menggeliat kecil dan membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah Lucifer yang berbaring dengan wajah yang agak pucat.
Yena segera memeriksa suhu tubuhnya dan merasa lega setelah mengetahui kalau demamnya telah turun.
"Kwakk!!!" Suara Leon yang nyaring sudah terdengar dari kejauhan. Burung gagak itu masuk dengan membawa sarapan.
"Kwak--"
"Syutt ...." Yena meletakan jari telunjuknya di depan bibir melihat Leon akan melepaskan suara nyaringnya.
"Jangan berisik. Dia sedang sakit," bisiknya.
"Oh?" Leon melebarkan matanya mendengar itu.
"Kau bercanda? Lucifer? Sakit?"
"Iya. Memangnya kenapa? Dia juga mahluk hidup, tentu bisa sakit. Tolong jaga dia sebentar. Aku mau mandi," pinta Yena. Dia meraih peralatan mandinya dan bergegas masuk ke kamar kecil.
Leon menatap Lucifer yang berbaring di atas tempat tidur dengan heran.
"Sekarang kamu bisa bangun," ujarnya.
Kelopak mata Lucifer bergerak dan ia membuka matanya tanpa kesulitan. Ekspresinya yang kosong kembali diisi kedinginan.
"Mendekatlah," pintanya. Leon dengan patuh terbang mendekat.
Grepp
"Khokk!"
Lucifer menekankan buku-buku jarinya pada leher burung hitam itu dan mengangkatnya. Leon meronta-ronta. Lucifer mendekatkan burung itu ke wajahnya, menatapnya dengan sepasang mata merah tanpa emosi dan berbisik pelan,
"Bukankah sudah aku bilang agar menjaga mulutmu saat berada di dekat Yena? Apakah kau akan diuntungkan jika memberitahu Yena kalau akulah, yang membunuh seluruh spesiesmu?"