Chereads / ANESKA BELAVINA / Chapter 31 - PERTEMUAN YANG MANIS

Chapter 31 - PERTEMUAN YANG MANIS

"Tidak, aku tidak sempat terjatuh," jawab Aneska tersenyum manis sehingga memunculkan kembali lesung pipinya.

Ervin beberapa detik terpana, melihat senyum yang sangat begitu manis apalagi lesung pipi yang nampak sangat cantik.

Aneska melihat Ervin yang terdiam menjadi bingung. "Bapak kenapa? Apa ada yang terluka?" tanya Aneska melihat kaki Ervin.

"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Ervin tersadar.

"Aku takutnya Bapak terluka karena diam saja."

"Ngomong-ngomong bisa nggak, kamu jangan panggil aku Bapak tapi Ervin saja," pinta Ervin.

"Aku merasa tidak enak kalau memanggil nama," jawab Aneska malu-malu.

"Tapi aku merasa tua kalau di panggil Bapak," kata Ervin. "Panggil saja aku Ervin biar kita menjadi lebih akrab."

"Tapi Pak, aku ---," ucap Aneska menggantung.

"Aku akan marah padamu kalau kamu terus terusan memanggilku Bapak," ancam Ervin memotong ucapan Aneska.

"Tapi ---," kata Aneska lagi.

"Ervin," ucapnya.

"Baiklah, Ervin," kata Aneska gugup.

Ervin tersenyum. "Terdengar lebih enak di telinga."

Wajah Aneska merah merona, memalingkan wajahnya melihat ke arah lain karena malu.

"O ya, ngomong-ngomong kamu mau ke mana?" tanya Ervin melihat sepeda Aneska.

"Aku mau ke warung," jawab Aneska yang baru tersadar harus membeli obat untuk Ibunya.

"Ke warung?" tanya Ervin melihat ke sekeliling. "Dari tadi aku tidak melihat warung di sini."

"Warungnya di sebelah sana, hanya satu satunya," jawab Aneska menunjuk ke depan.

"Kamu sendirian?" tanya Ervin basa basi padahal itu alasan untuk menahan Aneska agar tidak cepat pergi.

"Berdua," jawab Aneska, hatinya ingin tertawa dengan pertanyaan konyol Ervin yang jelas-jelas kalau dirinya sendirian.

"Berdua? Dengan siapa?" tanya Ervin pura-pura dengan melihat ke belakang Aneska.

"Dengan bayanganku," jawab Aneska. "Lihat di sana," tunjuk Aneska ke bawah kakinya, ada bayangan dirinya dan bayangan Ervin di atas aspal.

Ervin tersenyum. "Bisa saja. Rumah kamu jauh dari sini?" tanya Ervin mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa, dirinya merasa senang mengobrol dengan Aneska, apalagi melihat lesung pipi yang sesekali muncul bila Aneska tersenyum.

"Lumayan," jawab Aneska. "Kalau jalan kaki terasa jauh."

"Dari tadi aku melihat penduduk di sini rata-rata memakai sepeda ke mana-mana," kata Ervin.

"Iya, kami di sini kebanyakan memakai sepeda untuk menunjang aktifitas kami. Jarang sekali yang pakai mobil," jawab Aneska.

"Begitu ya," jawab Ervin.

Aneska melihat ke depan. "Sepertinya ini sudah siang. Aku harus segera pergi membeli obat ke warung. Ibuku harus minum obat."

Ervin garuk-garuk kepala tidak gatal. "Iya, silahkan." Ervin menggeser sedikit tubuhnya untuk memberi ruang pada Aneska agar bisa lewat dengan sepedanya.

Dengan malu-malu Aneska mendorong sepedanya sedikit di depan Ervin. "Aku pergi Ervin, sampai bertemu lagi," ucapnya tersenyum manis.

"Sampai bertemu lagi," jawab Ervin membalas senyum manis Aneska dengan lesung pipinya.

Aneska tanpa menunggu lama, langsung mengayuh sepedanya dan pergi meninggalkan Ervin yang masih berdiri menatap dirinya.

"Cantik sekali, apa ini yang dinamakan kembang Desa?" gumam Ervin tersenyum, belum melepaskan pandangannya dari Aneska yang semakin lama semakin menjauh.

Ervin tersenyum sendiri. "Ada apa denganku? Kenapa aku begitu senang melihat Aneska? Mataku tidak bisa aku palingkan dari wajahnya."

Setelah beberapa menit hanya diam melihat kepergian Aneska, Ervin melanjutkan kembali lari paginya. Wajahnya terlihat ceria, senyum simpul terlihat jelas dari bibirnya.

Sepanjang jalan yang dilalui Ervin, nampak di kiri dan kanannya sawah yang membentang luas, sejuk mata memandang dengan warna yang hijau alami ditambah angin sepoi-sepoi.

Setelah cukup jauh Ervin berlari, dicarinya tempat beristirahat untuk menghilangkan segala rasa lelahnya. Pandangannya melihat jauh ke depan bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang di tepi jalan. "Tenang sekali tempat ini."

Di tempat lain, Aneska sedang mengayuh sepedanya menuju pulang setelah membeli obat di warung untuk Ibunya. "Aku harus cepat pulang, Ibu pasti sudah menungguku dari tadi."

Sedang asik mengayuh sepeda, dari arah belakang terdengar suara klakson motor. Aneska dengan cepat segera menepi untuk memberikan jalan tetapi motor tidak kunjung melewatinya sehingga membuat Aneska menoleh ke belakang.

"Damar," ucapnya pelan melihat sang pengendara motor sedang tersenyum melihatnya.

"Hai," sapa Damar.

"Hai," jawab Aneska, menepikan sepedanya dan berhenti.

Damar ikut menepikan motornya. "Dari mana?" tanyanya kemudian.

"Dari warung membeli obat untuk Ibu," jawab Aneska tersenyum.

"Ibumu sakit?" tanya Damar.

"Iya," jawab Aneska.

"Sudah di bawa ke Dokter atau Puskesmas?" tanya Damar.

"Belum. Kalau besok panasnya belum turun, aku akan membawanya ke Puskesmas," jawab Aneska.

"Iya, sakitnya jangan dibiarkan berlarut larut," kata Damar menatap Aneska.

Aneska yang merasa ditatap seperti itu, langsung merasa malu. Wajahnya merah merona, pandanganya langsung dialihkan ke hamparan sawah yang ada disampingnya.

"Aneska," panggil Damar. "Aku ingin tahu tentang jawabanmu atas pertanyaanku tempo hari itu," kata Damar. "Bagaimana?"

Jantung Aneska langsung berdegup kencang, tangannya yang sedang memegang jok sepeda terasa sedikit gemetar. Gugup, itu yang Aneska rasakan sekarang. Kakinya seperti jelly yang tidak bertulang.

"Aneska," panggil Damar. "Kenapa diam saja? Aku sudah memberi kamu cukup waktu atas pertanyaanku dulu. Bagaimana?"

"Pertanyaan yang mana?" tanya Aneska pura-pura.

"Kalau kamu lupa, berarti kamu tidak memikirkannya," kata Damar, tatapannya tidak lepas melihat wajah Aneska yang malu-malu.

"Aku ---," Aneska tidak meneruskan ucapannya, bingung bagaimana mengatakannya.

"Kenapa?" tanya Damar.

"Aku tidak tahu harus menjawab apa," kata Aneska membuang muka.

"Kenapa harus bingung? Bukankah jawabannya hanya hatimu yang tahu. Ikuti yang ada dihatimu," kata Damar menatap Aneska walau pun yang ditatapnya melihat ke tempat lain. "Aku tidak mau ada keterpaksaan."

Aneska menunduk, membaca hatinya sendiri tentang perasaannya pada Damar. Dirinya menyukai Damar sebagai teman atau ada perasaan lain?

"Aneska," panggil Damar. "Jawab."

"Aku ---," kata Aneska mengangkat wajahnya melihat Damar tapi tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya.

"Aneska," panggilnya.

Aneska dan Damar langsung melihat ke arah samping.

"Ervin?" tanya Aneska, melihat Ervin sedang berlari kecil menghampiri dirinya.

Damar yang sedang duduk di atas motornya langsung turun dan berdiri begitu melihat Ervin. "Pak Ervin."

Ervin berdiri di depan mereka berdua, tersenyum melihat keduanya. "Sedang apa kalian di sini?" tanyanya.

"Pak Ervin," kata Damar mengangguk hormat.

Ervin melihat Damar. "Aku tahu siapa kamu. Bukankah kamu yang kemarin mengatur acara di Sekolah itu?"

"Iya Pak," jawab Damar.

"Kalian satu kelas?" tanya Ervin.

"Tidak, kami berbeda kelas," jawab Damar. "Bapak habis olahraga?" tanya Damar melihat pakaian yang dikenakan Ervin.

"Iya, lari pagi saja. Melihat pemandangan di Desa ini," jawab Ervin melihat Aneska yang hanya berdiri saja dibelakang Damar.

"Aku pikir Bapak sudah kembali ke kota," kata Damar.