Chereads / Selalu Ada untukmu / Chapter 6 - Merindukan Kak Raymond

Chapter 6 - Merindukan Kak Raymond

Selamat Membaca

Raymond pada saat temannya Liam dengan teman wanita sudah pulang karena mengingat gadis nya Arin. Diam -Diam Raymond selalu menyuruh seseorang untuk mengawasi Arin dan meminta ibu panti merahasiakan nya.

"Terkadang kita sama-sama merindu. Iya, aku merindukanmu, dan kamu merindukan dia.

Seorang gadis remaja tengah termenung di balkon kamarnya, memikirkan masa kecilnya yang begitu sempurna.

Tiba-tiba, pandangan matanya tertuju pada sebuah gelang yang melingkar rapi di tangannya. Dia tersenyum lalu membatin. "Kangen Raymond, masih inget aku gak ya?"

Disisi Arin, dia percaya bahwa Raynya masih mengingat dirinya, masih menyayanginya. Dia sangat merindukan Raymond nya, cinta pertamanya. Mengingat masa kecilnya, gadis remaja itu tertawa kecil, lalu matanya berkaca-kaca.

"Kapan kita bisa ketemu lagi Raymond ? Aku kangen banget." monolognya.

Dia menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Ah, saking rindunya pada Raymond nya, gadis remaja itu menangis.

Gadis remaja itu beranjak menuju kamarnya, lalu merebahkan diri di kasur kesayangannya. Matanya terpejam, bibirnya tersenyum, dia adalah Luna—Bintang Arin, Lunanya Arin Raymond.

"Good night Raymondnya Luna, nice dream," gumamnya dengan mata terpejam.

Sedangkan di sisi lain, seorang Pria dewasa sedang menghirup nikotin di atas balkon kamarnya. Dia memandang langit, dia merindukan seseorang.

Dia tersenyum memandang langit, pikirannya berkelana. Entah kapan seseorang itu akan kembali, kembali memberi warna di hidupnya yang abu. Dia begitu menyayangi gadisnya. Gadis yang membuat hidupnya berwarna, yang membuat hidupnya bermakna. Gadisnya Arin.

Mereka memandang langit yang sama, juga sama-sama merasakan rindu. Bedanya, Arin merindukan Raymond nya, sedangkan Indah merindukan kak Liam nya.

Langit dan bulan menjadi saksi, bahwa Arin masih menyayangi dan mencintai Raymondnya. Dan Raymondnya mencintai nya juga , haha manisnya.

Kenapa hanya ada langit dan bulan? Karena tak ada satupun bintang yang terlihat malam itu.

Bu Asri menghela napas melihat Arin ang berdiam diri di kamarnya-- tepatnya sedang malamun di atas kasurnya. Sudah berhari-hari Bu Asri memperhatikan Arin yang benar-benar tidak berminat melakukan kegiatan apapun. Bahkan setiap paginya kini Arin yang tidak suka ribut malah ikut mengantre untuk mandi. Arin yang biasanya tidak pernah suka mengikuti kegiatan panti tiba tiba ia ikuti semuanya. Gadis itu juga sudah tidak pernah menemani Bu Asri memasak sebelum jadwal makan datang.

Ya, bukan masalah kalau gadis itu tidak menemani atau biasanya membantu bu Asri . Tapi, bu Asri tidak senang melihat perubahan Arin yang sangat... berbeda dari sosok Arin sesungguhnya.

"Arin .."

Arin yang mendengar panggilan itu perlahan menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum kecil - terpaksa pada bu Asri yang baru saja duduk di sisi kasurnya yang kosong.

"Kamu udah ngga pernah belajar Bahasa Jerman lagi ya?"

Gelengan kecil Arin berikan sebagai respon. "Ga ada ka Ray panggilan khusus Raymond yang ngajarin bu. Susah."

Bu Asri tersenyum seraya merubah posisi duduknya. "Begini.. Ray kan sudah sama keluarga nya dia di kota."

"Ooh, beneran orang kota ya keluarga Ka Ray ." gumam Arin dengan mengangguk sesekali.

"Kita sama-sama ngga tau kak Raymond ada dimana sekarang. Itu kamu anggapnya Ray ninggalin kamu kan?"

"Dia emang ninggalin aku kok! Janji katanya? Mana? Sekali keluar dari sini aja udah lupa sama temannya sendiri." sahut Arin.

Sekali lagi, Arin masih menganggap Ray berkhianat padanya.

Bu Asri tersenyum hangat. "Yaudah, kalo gitu kamu gaboleh nyerah dong." ujarnya.

Arin menatap bu Asri dengan tatapan bertanya.

"Ray kan suka belajar Bahasa Jerman. Jadi, kamu juga harus belajar Bahasa Jerman. Kamu harus pintar melebihi Ray. Nanti, kalau kamu pintar, kamu bisa ikut lomba. Nanti bu Asri akan bantu doa agar bisa juara dan mewakili panti sampai kota nanti. Kalau bisa sampai Ray tahu. Itu artinya kamu menang satu langkah di atas Ray"

"Memangnya kalau begitu aku bisa bertemu Ray?" tanya Arin.

"Tentu saja. Ray suka Bahasa Jerman. Kalau kamu pintar melebihi Ray yang sudah handal dalam pelajaran ini, tidak ada alasan lagi bagi Ray untuk tidak menemui kamu. Tunjukkan pada Ray kalau kamu bisa Bahasa Jerman tanpa ajaran Ray ."

Arin mengalihkan tatapannya dari bu Asri menuju buku Ray di atas bantalnya. Beberapa detik ia gunakan untuk mencerna penjelasan panjang bu Asri .

"Besok bu Asri ikut ke sekolah kamu. Ibu bantu carikan guru yang akan mengajari kamu belajar. Terus kamu besok cari buku yang banyak di perpustakaan sekolah tentang pembahasan bahasa Jerman, atau bahkan pembahasan negaranya sekalian. Setelah pulang dari sekolah, kamu belajar dengan giat."

"Tapi nanti aku ingat kak Ray lagi mak, bagaimana? Aku masih kesal dia tinggalin aku gitu aja."

"Kamu sibuk belajar itu otomatis akan lupain kak Ray. Fokus saja belajar. Nanti, hasil kamu belajar akan berguna di masa depan. Terus kalau malas, ingat kata kata Ibu ini, Ray akan nemuin kamu kalau kamu sukses kalahin Ray hasil dari perjuanganmu sendiri.'"

Arin kembali terdiam guna menatap buku Ray, lagi.

"Bu temenin aku belajar setiap hari?" tanyanya setelah menatap bu Asri lagi.

"Pasti dong."

"Aku ga dapat apa apa nanti?"

"Dapat kok, nanti bu Asri masakin makanan enak dengan beda-beda menu tiap minggu." bisik bu Asri sebelum menjauhkan tubuhnya dari Arin.

"Beneran!" bisik Arin girang.

"Setelah kamu berhasil ikut satuuu saja lomba ya?"

Karena itu bisa jadi

membuka peluang ke tahap berikutnya. Jadi, syaratnya kamu harus semangat terus. Oke?"

"Oke!"

Karena Arin merupakan gadis yang besarnya di panti asuhan bersama banyak anak lainnya. Jadi, mendengar akan mendapat makanan dengan menu berbeda dari yang setiap hari dimakan adalah surga baginya.

Arin menguncir surainya yang panjang. Ia dengan kuat mengikat tali kuncirannya. Tekadnya tinggi untuk belajar sekarang ini. Sebut saja, ia sedang menjalankan misinya untuk membalas dendam pada Ray. Karena itu yang ia simpulkan dari perkataan panjang lebar bu Asri tadi. Jangan lupakan juga iming-iming makanan dengan menu berbeda yang sudah ia paku di dalam otaknya sekarang. Makanya ia sangat bersemangat malam ini. Menghadap beberapa buku dan peralatan menulisnya.

Beberapa detik Arin menatap buku Ray yang kata Aril ketinggalan.

Ia membuka halaman pertama, dimana terpampang jelas tulisan 'untuk Arin' disana. Mata Arin membesar setelah otaknya berhasil mencerna maksud dari tulisan itu. Hingga ia tak sadar.

"OOOH!"

"Heh ada apa?"

"Hehe maaf." Arin tersenyum kaku saat teman-teman satu kamarnya terkejut dengan seruan tiba-tibanya.

"Ooh pasti kak Ray sengaja ninggalin inii. Kasih tanda biar aku mau melawan dia. Hih! Memangnya aku tidak bisa Bahasa Jerman! Lihat saja yaa kak Ray!" gumam Arin setelahnya, dengan sedikit memelankan suaranya.

"Mau belajar Rin? Bukannya tidak ada pr ya tadi?" salah satu temannya Indah bertanya.

"Ga ada pr emang. Ini cuma pingin aja gitu belajar. Mau ngga ikut belajar?" balas Arin.

"Belajar apa?"

"Bahasa Jerman."

"Apa?? Bahasa apa??"

Arin menghela napas. Ia lupa kalau belajar Bahasa Jerman sangat aneh di telinga anak anak lain yang hanya tahu Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, sebab hanya dua pelajaran itu yang ada di jadwal sekolah. Perlahan Arin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Bukan apa-apa. Sudah deh kalian fokus aja sama kegiatan masing masing. Aku mau belajar." ujar Arin pada akhirnya.

"Kita mau tidur ini. Kamu ngga tidur gitu? Nanti dimarahin bagaimana?" Arin bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju pintu kamar guna menutup pintu tersebut.

"Di tutup gini aja pintunya. Nanti aku yang matiin lampu kalau mau tidur. Kalian tidur aja gih, aku beneran ngga akan ganggu."

"Yaudah deh."

"Iya."

Arin kembali pada kasurnya. Kembali terduduk menghadap buku-bukunya. Setelah itu ia mulai membuka buku catatan Raymond . Sesekali melihat buku milik sekolah yang masih ada padanya. Ia benar benar fokus. Menulis, dan membolak balik dua buku di hadapannya. Hingga tak sadar jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Untuk pertama kali Arin tidur hampir larut malam. Beruntungnya ia masih teringat untuk mematikan lampu kamar meski matanya sudah sangat mengantuk.

Bersambung

Gimana part ini? Pendek ya?

Dapet ga feel-nya?

Suka ga?

Next ga?

Kalo next, see you next part babe