Dino dan yang lainnya masih di kantor berita. Mereka masih dlam mode tak banyak kerjaan. Tak lama bunyi suara ponsel Dino. Ian dan Paijo menatap kearah Dino.
"Angkat sana, siapa tahu pacarmu yang baru," kata Paijo.
Dino menatap nama penelpon, Mang Jupri kenapa dia telpon pikir Dino lagi.
Dino memakai speaker. Tak lama Mang Dadang datang bersama Nona. Keduanya duduk dan menatap Dino.
"Halo Mang! apa kabar? Apa Mamang kangen kami?" tanya Dino.
Ian dan Paijo juga Mang Dadang tertawa mendengar apa yang di katakan oleh Dino. Nona menepuk tangannya Dino. Dino tersenyum dan mencubit Pipi Nona.
"Saya nggak rindu, cuma saya rindu sama Ian," kekeh Mang Jupri.
"Terima kasih Mang, aku mencintaimu," kata Ian lagi.
Mang dadang dan yang lainnya juga ikut tertawa. Tak lama Mang Jupri terdiam dan tak ada suara sama sekali.
"Ada apa Mang?" tanya Nona.
"Ada pencuri tanah kuburan," kata Mang Jupri.
"APAAAAAAA!" teriak mereka semua.
Dino melihat temannya dan Mang Dadang. mereka kaget karena mendengar apa yang dikatakan Mang Jupri.
"Mang Jupri kenapa bisa di ambil tuh tanah. Dan tanah siapa yang di ambil Mang?" tanya Dino.
"Tanah Winarsih," jawab Mamang Narsih.
"APAAAAAA!" teriak mereka semuanya.
Nona menutup mulutnya. Ian dan paijo saling pandang satu sama lain. "Mang benaran yakin itu tanah si Mbak manis itu?" tanya Ian.
"Iya, kalau tak percaya kalian ke sini saja. mengerikan sekali. Saya tak habis pikir sama sekali," ucap Mang Jupri.
Ian dan Paijo saling lihat satu sama lain. keduanya memandang dino. "Kami akan kesana Mang, tunggu kami ya," kata Dino.
"Baiklah," kata Mang Jupri.
Panggilan keduanya berakhir. Dino melihat kearah sahabatnya dan Mamang Dadang. Ian dan Paijo membuang mukanya.
"Paijo jangan buang muka, aku tahu kalau kalian mau ikut," kata Dino lagi.
"Aku nggak bilang ya Dino," ucap Ian lagi.
"Sudah, kita ke sana saja. Lihat bagaimana kondisinya," kata Mang Dadang.
Ian dan Paijo akhirnya menyerah dan keduanya tak lagi bisa berkata apapun. Mereka pergi dari kantor dan bergerak ke kost untuk mengambil baju
"Kita cari Bram di kota bukan di desa. Kalian ini kenapa harus ke desa lagi?" tanya Ian.
"Bukan gitu. Mungkin ini ada hubungannya dengan dia, bisa saja dia ambil tali pocongnya untuk tangkal dia agar tak di serang sama Winarsih," ucap Dino lagi.
"Apa kau bilang tangkal? Tali pocong untuk tangkal kau bilang Dino? Apa bisa Mang?" tanya Ian lagi.
"Aduh, saya mah kurang tahu. Bisa saja benar bisa saja tidak, soalnya saya hanya orang awam, tapi tak tahu lah apa ada seperti itu atau tidak," kata Mang Dadang.
Ian dan lainnya terdiam sesaat. Tidak berapa lama mereka sampai di rumah Nona, Nona mengambil beberapa barang untuk dia bawa, Setelah itu dino kembali ke kostnya untuk mengambil barang-barang mereka.
"Kita sudah siap untuk ke Desa Salak lagi?" tanya Dino.
Semua menganggukkan kepalanya, Dino membawa mobil melaju ke Desa Salak. Namun, dalam perjalanan menuju Desa Salak, kepala redaksi menelpon ian.
Drt!
Drt
Drt
"Halo Pak, ada apa ya?" tanya Ian.
"Kalian lagi dimana?" tanya Pak kepala redaksi.
Ian memandang kearah Paijo. Mana mungkin mereka bohong, bisa kualat mereka semua. "Kami lagi di jalan, mau meliput Pak. Ada apa ya?" tanya Ian lagi.
"Sekalian saja kalian liput pembunuhan dukun dan istrinya dia searah dengan Desa Salak. Desa Kemuning, namanya Mbah Maman. Kalian cari tahu cepat kenapa dia bisa meninggal," ucap Pak kepala lagi.
"Baiklah, kami segera kesana," jawab Ian.
Panggilan berakhir seketika, Ian kembali memasukkan ponselnya dalam saku celana. "Ada apa?" tanya Dino dari bangku supir.
Ian menghela nafas panjang. Dia tak tahu harus bicara apa lagi. "Dukun ada yang meninggal. Kebetulan Desanya dekat dengan Desa Salak," kata Ian.
Mang Dadang berpikir keras. Desa yang dekat dengannya Desa Kemuning. "Desa kemuning itu ya?" tanya Mang Dadang.
Ian menganggukkan kepalanya. "Iya Mang, Desa Kemuning. Katanya ada pembunuhan di sana dan pasutri yang dibunuh," kata Ian.
Paijo mengangga mendengar apa yang di katakan Ian. "Jadi Pak ketua minta kita meliput di sana?" tanya Paijo.
Ian menganggukkan kepalanya. Jarak dari sini ke sana luar biasa jauh, kalau pun di liput bisa-bisa korban sudah di bawa ke rumah sakit.
"Kita mau ke Desanya atau langsung ke rumah sakitnya? Mang tahu rumah sakitnya dimana yang terdekat?" tanya Dino.
Mang Dadang menganggukkan kepalanya. Dia tahu dimana letak rumah sakit itu. "Saya tahu dimana, tapi apa nggak sebaiknya kita ke lokasi terus ke rumah sakit, habis dari sana langsung kita ke desa salak," kata Mang Dadang.
Dino berpikir apa yang dikatakan oleh Mang Dadang. jika ke lokasi itu dulu baru langsung ke rumah sakit dan ke Desa Salak.
"Ikutin kata Mang Dadang saja, kita ke sana dan mumpung ini sudah masuk daerah desa itu," kata Dino lagi.
Mereka pun setuju untuk pergi ke lokasi. Sampai di tempat kejadian sudah banyak orang berkumpul dan polisi juga di sana, bahkan pencari berita juga sudah di sana.
Dino mendekati salah satu warga. "Permisi ibu, mau tanya, ini kapan terjadinya?" tanya Dino.
"Kejadiannya ini tadi pagi, dan kondisi korban juga mengenaskan," kata si ibu lagi.
Dino dan temannya juga Mang Dadang saling pandang. Mang Dadang melihat rumah yang menjadi lokasi tragis itu. Dino mengambil foto di sekitar kejadian.
Ian melihat sekeliling dan melihat ada serpihan tanah, tapi entah tanah apa dia tak tahu. "Aku rasa ini kerjaan Mbak manis itu. Dan ada tanah juga itu lihatlah," kata Ian lagi.
Paijo melihat kearah darah yang berceceran dan sangat amis. "Aku pun merasa ini perbuatan dari Mbak itu juga, dan aku rasa ada hubungan dengan pencurian tanah kuburan itu," kata Paijo.
Mang Dadang hanya diam dan mendengar apa yang di katakan Paijo dan Ian. "Ayo kita pergi," ucap Dino
Paijo dan Ian pun ikut bersama dengan Dino. Mereka bergegas ke rumah sakit untuk bertemu dengan korban.
"Ayo kita pergi cepat, jangan tunggu lama, dan kita juga harus ke Desa Salak," kata Dino.
Dino yang mengemudi mobil langsung pergi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit mereka semua langsung pergi ke kamar mayat.
"Hei, aku kok takut ya lewat lorong ini, ingat kejadian tempo malam itu, aku sudah ingin pingsan," kata Ian lagi.
Sampai di kamar mayat ada polisi yang berjaga, dino mendekati polisi itu. "Maaf pak, boleh saya melihat korbannya?" tanya Dino.
"Boleh, silahkan," kata polisi itu lagi.
Dino melihat kedua korban dan alangkah terkejut lukanya sangat dalam, dan menggenaskan. Ian dan Paijo muntah-muntah melihat korban yang tak lagi berbentuk.
Nona yang melihatnya langsung pingsan, dia tak sanggup melihat korban yang tak lagi berbentuk itu.
"Nak Dino, Nona pingsan," kata Mang Dadang.
Dino dan kedua sahabatnya mendekati Nona yang pingsan. "Kenapa Nona bisa pingsan Mang?" tanya Dino.
Mang Dadang menggelengkan kepalanya, dia saja tak tahu kenapa bisa pingsan si Nona. "Kita bawa saja Nona keluar, mungkin dia syok melihat kondisi korban," ucap Paijo.