Deka yang sudah pulang dari club langsung pulang menuju apartemennya. Dia sudah sedikit sempoyongan karena pengaruh minuman. Deka keluar mobil dan langsung masuk ke lift. Di basemant Deka meracau yang tak jelas.
"Dasar hantu tak tahu diri, kau berani mengangguku, aku tak takut sama sekali, aku hanya takut sama Tuhan, kau bukan siapa-siapa," teriaknya dengan kencang.
Deka terus saja meracau sampai di depan lift. mata yang sudah hampir satu watt itu berusaha menekan tombol lift.
"Akang!" panggil seseorang.
Deka yang masih berdiri di dekat pintu lift terdiam dia melihat kearah belakang, namun tak ada seorang pun yang berada di sana.
"Siapa di sana?" tanya Deka sambil berteriak.
Tak satu pun yang menyahut sam sekali. Yang ada hawa dingin yang merasuk di tubuh deka. deka berbalik kembali ke arah lift namun, di depan matanya ada wajah yang menyeramkan dengan golok di kepalanya terpacak. Dia juga melihat darah mengalir dari celah rambut panjang yang menutupi wajahnya.
"Si--siapa kau? Mau apa kau di sini?" tanya Deka dengan suara terbata-bata.
Hawa kembang melati dan bau amis merasuk ke indera penciumannya. Deka ingin mundur namun dia tak bisa bergerak sama sekali. Kakinya seolah ada yang menahannya.
"Akang, kenapa Akang membunuh Narsih dan suami Narsih? Dan membuat Narsih kehilangan dan sedih?" tanyanya dengan wajah yang sangat sedih.
Deka tahu kalau di depannya ini arwah Narsih yang di bicarakan sama temannya itu. Deka merasa kalau dia sedang di teror Winarsih. arwah gadis desa yang terbunuh.
"Kau sudah tiada, kau sudah meninggal, jadi kau bukan dia pergi KAU!" teriak Deka dengan kencang.
Wajah Narsih melihat kearah Deka, tatapan tajam dan menusuk terlihat jelas di matanya. tangan Narsih yang pucat, kuku yang tajam terlihat jelas. Deka keringat dingin saat melihat rupa Winarsih. Narsih menarik golok yang tertancap itu.
"Kau ma--mau ap--apa?" tanya Deka terbata-bata.
Golok yang tercabut itu langsung memuncratkan darah segar dan berbagai macam binatang yang menjijikkan. Deka muntah saat darah itu mengenai tubuhnya.
HHAAAAAHhHhHHHHHH
Tawa menggelengar yang Winarsih keluarkan membuat lorong apartemen bergema. Deka yang masih muntah karena tubuhnya penuh darah Winarsih bergetar dia merosot ke bawah dan berusaha mengesot untuk pergi dari hadapan Narsih.
"Akang mau kemana?" tanya Narsih.
Deka tak peduli sama sekali, dia pergi meninggalkan arwah Winarsih, dia merangkak sampai di tangga darurat namun, tangga itu terkunci. Winarsih yang berdiri di depan lift memandang deka.
Deka mengambil ponselnya untuk menelpon temannya namun, ponselnya terjatuh di dekat dia ngesot tadi. Dia melirik kearah ponsel dan bergerak dengan cepat mengambil ponsel itu. namun, dia kalah cepat Winarsih sudah menancapkan golok di ponsel Deka.
Brakkkk!
Ponsel itu terpacak oleh golok Winarsih. Deka mundur beberapa langkah dan menuju sudut ruangan.
"Ampun aku mohon ampun Narsih, aku mohon padamu, tolong maafkan aku, aku hanya ikut saja Narsih, aku tak ada niat sama sekali aku, percayalah sama aku," Narsih mengatupkan tangannya.
Narsih yang sudah diliputi amarah dia mengayunkan tangannya yang ada golok untuk segera menghabisi Deka namun tertahan karena mendengar suara orang, dia menyabet punggung Deka hingga terluka mengangga.
"AAAAAAA!" Deka berteriak histeris karena punggungnya terluka terkena sabitan golok tajam Winarsih.
Orang yang sedang berbincang langsung berlarian mendekati Deka yang sudah terkapar. Narsih tertawa keras sehingga orang yang datang untuk menyelamatkan Deka merinding dan tak mau mendekati Deka.
"I--itu suara apaan wak?" tanya lelaki satunya pada temannya.
"Mana aku tahu, kalau aku tahu mana mungkin aku tidak memberitahukanmu," jawab lelaki itu lagi.
Mereka mencari suara tawa itu tapi tak ketemu, tak lama satpam datang dan melihat ada yang tergeletak bersimbah darah di apartemen.
"Kenapa dia mas?" tanya satpam rumah sakit itu pada kedua lelaki itu.
"Saya tak tahu Pak. Saya ke sini dia sudah seperti ini dan ada suara wanita tadi tertawa. Kami tak tahu apakah ini kasus pembunuhan atau apa, orangnya masih hidup sepertinya," ucap lelaki satunya.
Pak satpam langsung mengambil ponsel dan menelpon polisi dan ambulans. Setengah jam polisi datang dan ambulans. Mereka sibuk membawa Deka keluar dan menuju rumah sakit.
Di luar Narsih duduk di atas ambulans yang membawa Deka. Polisi melakukan olah TKP. polisi memberikan police line di sekitar kejadian.
"Siapa yang pertama kali menemukan dia?" tanya polisi.
"Kami Pak, kami baru pulang kantor, dan pas mau naik ke unit kami, kami mendengar suara teriakkan dan saat kami ke sini dia sudah bersimbah darah," kata lelaki itu lagi.
"Mas berdua ini namanya siapa?" tanya polisi itu lagi.
"Saya Tono dan ini Toni. Kami tinggal di sini di unit yang berbeda pak," jawab Tono.
"Baiklah jika ada yang kami perlukan, kami akan memanggil anda untuk di mintai keterangan ya," ucap polisi lagi.
"Baik Pak, tapi kami tadi mendengar suara wanita tertawa," kata Toni.
"Wanita tertawa?" tanya Pak polisi.
Dia melirik anggotanya untuk menyisir semua tempat namun, tak ada yang mencurigai, hanya ponsel yang sudah berlubang.
"Kami temukan ini," anak buah itu menyerahkan barang bukti.
"Bawa ke kantor, jangan kalian sentuh dulu barang bukti itu. Nanti kita akan menemukan siapa pelakunya dan CCTV jangan lupa," kata Pak polisi lagi.
"Siap komandan," anak buah Pak Komandan langsung pergi membawa barang bukti.
"Kalian berdua bisa tinggalkan nomor ponsel kalian pada anak buah saya dan akan kami hubungi untuk di mintai keterangan," jawab Pak polisi itu lagi.
"Baik Pak," keduanya langsung pergi ke tempat anak buah Komandan tadi.
Keduanya langsung memberikan nomor ponselnya pada Pak polisi. setelah itu mereka pergi meninggalkan tempat kejadian.
Di rumah Bram dia juga mendapatkan teror dari Winarsih tapi Bram bisa menyelamatkan dirinya. Dia sudah berada di bawah bersama penjaga rumahnya.
"Pak Bram tak apa-apa? Minum dulu Pak," ucap si Mamang sambil menyodorkan gelas berisi air putih.
Bram meminum air sampai tandas. Dia tak menunggu lama lagi untuk meminum airnya. air itu sudah lewat menuju tenggorokan Bram.
"Terima kasih Mang," ucap Bram.
"Sama-sama. Pak Bram kenapa bisa lari ketakutan seperti itu?" tanya si Mamang.
Bram terdiam, dia tak menjawab sama sekali. dia hanya menggelengkan kepalanya. Jika dia berbicara kalau dia di teror Winarsih bisa bahaya, dan bertanya panjang lebar dia siapa Winarsih itu. Bisa kebongkar rahasia dia selama ini.
"Bukan saya mimpi buruk saja Mang. Maaf sudah merepotkan mamang. Oh ya Mang, bisa tolong ambilkan saya ponsel nggak di dalam kamar?" tanya Bram lagi.
"Iya boleh, sebentar ya," ucap si Mamang.
Mamang meninggalkan Bram sendiri di meja makan. Tak berapa lama si Mamang turun dari tangga dan menyerahkan ponsel Bram.
"Panggilan tak terjawab dari Deki dan Diman? Ada apa si kunyuk itu," gumam Bram.
Bram melakukan panggilan balik pada Deki. panggilan pertama tak diangkat sama sekali.
Drt drt drt!
"Halo Bram, gawat. Deka di rumah sakit. Kamu cepat ke sini sekarang," kata Deki.
Bram melihat ke arah jam sudah pukul 12 malam, dia tak mungkin ke sana. Dia saja baru di teror Winarsih. Jika dia ke sana pasti ada Winarsih.
"Aku besok saja. Lagian aku lagi ada masalah, Tar aku ceritakan ya. Salam sama dia," panggilan berakhir dan Bram langsung ke kamarnya. Dia lelah dan mau tidur bodoh amat sama Winarsih pikirnya.