Chereads / Dendam Winarsih / Chapter 2 - Pembunuhan Pasutri

Chapter 2 - Pembunuhan Pasutri

Pemuda lain adalah sahabat Bram yang bernama Deka, Deki dan Diman. Ketiganya sahabat Bram dan satu kampus. Anak orang kaya pastinya.

"Bram,mereka sudah mati. Bagaimana ini?" tanya Deka.

"Iya Bram. Kalau seperti ini kita bisa masuk penjara. Aku tak mau masuk penjara. Aku takut Bram," cicit Deki lagi.

Bram menatap kedua mayat yang sudah tak bernyawa itu. Bram memikirkan bagaimana cara menghilangkan jejak agar mereka tidak dicurigai.

"Kita tinggalkan saja. Biarkan keluarganya tahu. Tapi kita harus membawa barang bukti ini. Desa ini tidak akan pernah mau melaporkan pada pihak kepolisian. Mereka sangat takut sama pihak kepolisian," ucap Bram lagi.

"Kau tahu mana?" tanya Diman lagi.

"Sudah percaya saja. Cepat kalian bawa apa saja yang akan jadi barang bukti. Aku mau kalian segera bereskan semuanya sebelum fajar," ucap Bram.

Mereka langsung bergegas mengambil barang bukti dan meninggalkan kamar pengantin yang sudah mengalir dimana-mana. Mereka melupakan golok yang digenggam Winarsih.

****

Pagi ini suasana desa Salak sepi dan sunyi. Entah kenapa Desa Salak yang biasanya rame kini sepi dan hening. Emak dan Abah yang sudah pulang dari surau masih belum melihat kedua anak dan menantunya.

"Abah, kenapa anak dan mantu kita tidak bangun juga ya. Apa mereka kelelahan ya Abah," ucap Mak lagi.

"Coba kamu ketuk saja. Biasanya mereka tidak pernah bangun kesiangan. Ketuk saja, jika mereka sudah bangun pasti menjawab," kata Abah.

Mak Ijah berjalan menuju kamar anaknya. Mak Ijah mengetuk pintu kamar anaknya dengan pelan.

Tok tok

Dua kali ketukkan tidak di jawab sama sekali. Timbul kegelisahan di hati Mak Ijah terhadap anak dan mantunya itu. Mak melihat kearah Abah. Abah yang melihat sang istri berwajah sendu mendekati istrinya.

Abah mengetuk pintu namun tidak ada sahutan sama sekali sama dari anaknya. Abah melihat istrinya yang sudah mulai gelisah.

"Abah, coba dobrak saja. Siapa tahu mereka kenapa-napa. Mak takut Abah," lirih Mak lagi.

Abah menganggukkan kepalanya dan mencoba mendobrak pintu namun tidak bisa. Tenaga Abah tidak mampu untuk membuka pintu kamar itu. Abah keluar dan memanggil warga yang baru pulang dari musolah.

"Maaf, nak bisa bantu Abah tidak?" tanya Abah.

Pemuda itu berhenti dan mendekati Abah. Pemuda yang jumlahnya empat orang itu menatap wajah Abah yang cemas dan berkeringat.

"Ada yang bisa kami bantu Abah?" tanya salah satu pemuda itu.

"Ini saya mau minta tolong dobrakkan pintu kamar anak dan mantu saya. Dari tadi dia belum bangun," kata Abah.

Pemuda-pemuda itu saling melihat satu sama lagi. "Anak Abah yang semalam menikah itu ya?" tanya mereka lagi.

Abah menganggukkan kepalanya dengan cepat. Pemuda itu merasa tidak enak hati. Bisa saja mereka lagi malam pertama jadi telat bangun. Tapi melihat raut wajah Abah yang sudah panik dan gelisah akhirnya mereka membantu Abah.

"Baiklah. Kalau begitu kami akan bantu," ucap pemuda-pemuda itu.

Mereka masuk dan langsung mencoba mendobrak pintu kamar. Dalam hitungan tiga dua satu pintu terbuka. Abah dan pemuda itu kaget melihat kedua pasangan penganten itu tewas secara mengenaskan.

Emak yang di belakang Abah masih belum mengetahui apa-apa. Setelah Abah mendekati pintu dan melihat anak dan menantunya tewas menjerit. Mak yang menyusul Abah ikut menjerit histeris sampai pingsan.

Pemuda-pemuda itu langsung menangkap Emak agar tidak jatuh kelantai begitu juga Abah. Pemuda itu membawa kedua orang tua yang pingsan itu keruang tamu.

"Kalian kabari pak RT dan Pak RW juga pak ustad juga yang lain. Kalau ada pembunuhan pasutri. Cepat kita tidak punya waktu lagi," ucap salah satu pemuda.

Pemuda itu adalah sahabat Joko. Sahabat yang sama-sama menjadi remaja masjid. Pemuda itu bernama Jaka. Jaka tak menyangka kalau sahabatnya tewas sehari setelah pernikahan.

Desa Salak gempar dengan pemberitaan kalau anak Abah Ono dan Mak Ijah meninggal karena dibunuh. Seluruh warga berkumpul di depan rumah Abah. Pak RT dan Pak RW juga pak Ustad sudah ada di rumah Abah Ono.

"Apa yang akan kita lakukan ini pak Ustad?" tanya Jaka.

"Kita laporkan pada pihak kepolisian saja. Biar mereka yang menyelesaikannya. Setelah itu kita akan makamkan keduanya dengan layak," ucap Pak Ustad.

Mereka yang ada di dalam rumah langsung melaporkan pada pihak kepolisian. Tak lama polisi datang dan juga ada wartawan yang meliput kejadian ini. Mak Ijah dan Abah Ono sudah sadar. Mak Ijah menangis histeris melihat anak dan mantunya.

"Neng, siapa yang tega membunuh kamu Neng. Apa salah kamu Neng. Kejam sekali mereka sama kamu Neng uhuuu ... uhuu," tangis Mak Ijah

"Sabar Mak, ini sudah takdir anak dan mantu kita. Ikhlaskan saja Mak, semoga mereka diterima si sisi Allah," ucap Abah dengan suara parau.

Abah sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia ingin menangkapnya pelakunya tapi siapa. Dia juga ingin menangis tapi dia tidak mau istrinya itu ikutan sedih. Besan Abah dan Mak Ijah datang dan memeluk keduanya.

"Mak, Joko sudah tidak ada Mak," tangis besan Mak Ijah yang tak lain Mak Joko. Mak Joko yang bernama Tukiyem tidak menyangka anaknya jadi korban pembunuhan.

"Saya juga tidak tahu mbak Yu. Anak dan mantu saya jadi korban pembunuhan. Uhuu ... uhuu," keduanya menangis sambil berpelukkan.

Ayah Joko yang bernama Saleh memeluk Abah Ono. Keduanya menangis karena kehilangan anak-anak mereka. Saling menguatkan itu yang terjadi. Apa lagi meninggalnya dengan cara yang tragis.

"Permisi, bisa saya minta keterangan pada bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini?" tanya pak polisi.

Abah menganggukkan kepalanya. Dia memberikan keterangan dari awal sampai kejadian ini. Polisi mendengarkan apa yang dikatakan Abah. Abah juga mengatakan kalau malam itu kamar anak dan mantunya sangat ribut. Dia pikir malam pertama anak muda seperti itu beda dengan dia dulu.

Pak Polisi mencerna setiap perkataan Abah. Anak buah polisi juga melihat jendela kamar pasutri itu juga tidak terkunci dan rusak. Sudah pasti pembunuhan pasutri ini terencana.

"Apa ada dendam yang membuat keduanya dibunuh?" tanya Pak polisi lagi.

Abah Winarsih dan Ayah Joko menggelengkan kepalanya. Karena bagi mereka berdua anak mereka tidak punya dendam sama sekali dan mereka juga banyak di senangi dari dulu karena keramahan dan kebaikkan mereka berdua.

"Lapor pak, golok yang di tangan korban tidak bisa di ambil untuk barang bukti," ucap anak buah itu.

Pak komandan masuk dan melihat golok yang di genggam korban dengan erat. Abah dan ayah Joko menatap golok itu dipegang erat sama Winarsih. Pak ustad yang melihatnya mendekati dan membacakan doa agar golok itu bisa lepas dari tangan Winarsih.

Selesai membaca doa dan terdengar suara amin dari mereka yang berada di dalam kamar itu. Pak Ustad mempersilahkan untuk mengambil golok itu dan alhamdulillah golok itu bisa diambil dengan mudah.

"Terima kasih Pak Ustad atas bantuannya," ucap pak Komandan.

Pak Ustad tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Semua orang keluar dan melihat polisi membawa pasutri itu keluar dari kamar. Garis polisi dipasang agar tidak ada yang melewatinya.

"Mak, kita kerumah saya saja, rumah ini mau di selidiki polisi. Biar kita tahu siapa yang membunuhnya," ucap ibu Joko.

Mak Ijah menggeleng kepalanya. Dia enggan meninggalkan rumah ini. Baginya rumah ini penuh kenangan. Abah juga tak bisa memaksa istrinya untuk pindah. Akhirnya, mereka pun tidak memaksa Mak Ijah untuk pindah.

Kabar pembunuhan pasutri tersebar di seluruh pelosok desa. Dan kabar itu, terdengar di telinga Bram dan kawannya. Mereka melihat kearah Bram yang hanya diam dan tenang tanpa berkata apa-apa.

Yuk singgah di novel aku kasih komentar kalian dan simpan di rak kalian Mauliate Godang.