Sesampainya, Nisa langsung menancap gas untuk pulang. Sebenarnya tadi ia ingin mampir, karena penasaran siapa tamu yang datang ke rumah Ara, siapa tahu kan itu beneran Vero.
Menghela nafas, Ara membuka pintu dengan perasaan yang gugup. Perasaannya sudah tak baik baik saja sejak tadi, dan berharap seseorang itu yang akan mengembalikkan moodnya bukan sebaliknya.
"Assalamualaikum," salam Ara melangkah masuk ke dalam rumah.
Samar samar ia mendengar obrolan dari ruang keluarga, Ara seperti tak asing dengan suara itu. Dengan langkah yang sedikit bergegas, Ara mendatangi tempat dimana suara itu berasal.
Semakin dekat, suara cowok itu semakin jelas. Suara yang tak asing untuknya dan Ara yakin itu bukanlah Vero. Lalu, siapa yang datang bertamu bahkan menunggunya berjam jam hanya untuk bertemu dengannya.
Ara mengintip di dekat dinding pembatas, ia harus tahu siapa tamu itu, namun sayangnya ia duduk membelakangi posisi Ara yang sedang mengintip.
"Kenapa tuh cowok pake belakangi gue sih, kan gak bisa liat wajahnya," gerutu Ara dengan suara yang teramat pelan.
"Udah lah mending kesana aja. Moga aja gak bikin mood gue makin hancur deh."
Gadis itu melangkahkan kakinya, dimana seseorang yang memakai kemeja biru itu tengah mengobrol dengan ibunya. Mereka berdua terlihat begitu akrab, dan sekilas seperti ibu dan anak.
"Assalamualaikum," salam Ara kembali, tadi tak ada yang menjawab salamnya, mungkin tak ada yang dengar.
"Waalaikum salam," balas ibunya Ara dan cowok itu bersamaan.
Cowok itu menoleh dan bersamaan dengan itu pandangan mereka bertemu. Seolah waktu berhenti berputar, mereka betah dengan posisi saling memandang yang memancarkan kerinduan yang sangat besar. Mengabaikan ibunya yang tersenyum melihat mereka berdua.
"Ara/Arya!" refleks keduanya berteriak secara bersamaan.
"Gue kangen," lirih Ara dengan pandangan berkaca kaca.
"Gue jauh lebih kangen sama lo Ra, akhirnya kita bisa ketemu," balas Arya dengan senyuman khas remaja itu.
Ara tak pernah mengalihkan pandangannya dari Arya, sahabatnya yang pergi bertahun tahun karena orangtua nya. Dan kini, ia masih tak pernah menyangka jika sosok yang berdiri di hadapannya kini adalah seseorang yang sangat ia rindukan.
"Boleh peluk?" tanyanya polos.
Arya terkekeh lalu mengusap pelan pipi Ara. Dengan senyuman khas yang membuatnya semakin tampan.
"Tentu saja."
Arya merentangkan tangannya lebar mempersilahkan Ara untuk memeluknya, meluapkan kerinduannya selama bertahun tahun tak bertemu, dan hanya dapat berkomunikasi melalui media telpon atau pun video call saja.
Ara langsung memeluk tubuh tegap pria itu. Kini, Arya bahkan jauh lebih tinggi dari Ara, padahal dulu Ara lebih tinggi darinya.
"Kenapa lo baru datang hiks..," tangis Ara pecah. Dengan kedua tangan yang memeluk leher Arya dengan cukup erat seakan tak ingin melepaskan.
"Sorry... Maafin gue, ini semua bukan kemauan gue Ara. Seandainya orang tua gue gak maksa buat pergi mungkin kita gak pernah berjauhan dengan waktu yang lama."
Ara melepaskan pelukannya, dengan menyeka air mata di pipinya.
"Gak papa, gue senang kalo lo baik baik aja," ucap Ara tulus.
"Makasih Ra, lo memang yang terbaik."
"Ngobrolnya sambil duduk aja, buar lebih nyaman. Emang gak capek berdiri," ujar ibunya Ara yang tadi hanya diam menyaksikan mereka melepas rindu. Senyuman indah muncul di wajah cantik ibunya yang sudah tak muda itu. Saat melihat Ara senang bisa bertemu dengan Arya, salah seorang teman yang selalu melindunginya dulu dari anak anak yang mengejek Ara.
"Iya ma, Ara sangat kangen sama Arya, jadi lupa buat duduk," balas Ara sambil duduk di sofa di ikuti Arya.
"Senang banget ya, bisa ketemu lagi. Mama aja sampai gak di anggap dari tadi," ucap ibunya dengan wajah yang di buat sesedih mungkin.
"Eh gak gitu tante. Arya sama Ara saling kangen makanya tadi lupa kalo tante ternyata memerhatikan kita," sahut Arya.
"Gak papa, tante ngerti kok. Lanjutkan lagi ya ngobrolnya, tante mau masak makan dulu. Setelah itu kita makan malam bersama, dan tak ada penolakan," ucapnya saat melihat Arya yang ingin menolak.
"Iya tan, maaf merepotkan," ujar Arya tak enak.
"Gak papa. Tante udah menganggap kamu sebagai anak sendiri," ujar ibunya Ara lalu berlalu ke dapur meninggalkan mereka berdua.
Setelah menyisakan mereka berdua, kini Ara memandang yang serius.
"Boleh bertanya sesuatu?" tanyanya dengan ragu.
"Tentu, apa pun bakal gue jawab," ucap Arya mantap.
"Kenapa lo bisa disini?" pertanyaan Ara membuat alis Arya terangkat sebelah tak mengerti maksudnya.
"Maksud gue, bukannya lo di bolehin pulang ke indonesia sebelum lo jadi jaksa," ujar Ara memperjelas ucapannya tadi.
Arya terdiam sejenak. Lalu ia dengan ragu dan gugup mengatakan alasan ia bisa kembali lagi ke indonesia sebelum ia menyelesaikan pendidikan yang ayahnya inginkan.
"Itu semua karena kamu... Karena kamu aku bisa datang dan tak jadi melanjutkan pendidikan untuk jadi jaksa."
Ara terkejut tentu saja. Ia sama sekali tak mengerti dengan ucapan Arya. Mengapa ia di libatkan dalam urusan masa depan Arya.
"Ma-maksudnya?"
"Lo kan tahu Ra, gue sama sekali gak pengen jadi jaksa, gue gak mau. Tapi orang tua gue maksa bahkan nyuruh gue belajar hukum dari kecil, gue tertekan. Bagaimana pun juga gue memiliki keinginan sendiri, jalan sendiri. Gue gak mau terus terusan di atur sama mereka, gue juga udah besar dan gue udah bisa nentuin hidup gue sendiri. Makanya itu, gue coba membujuk mereka agar mau biarin gue balik ke indonesia demi lo."
"Demi gue? Maksudnya apa?" tanya Ara dengan penuh harap agar apa yang ia pikirkan tak jadi kenyataan. Ia tak mau menambah beban pikirannya untuk saat ini.
"Ka-karena gue udah janji sama mereka, kalo gue bakal melamar lo Ara. Makanya mereka ngizinin gue buat kembali lagi ke indonesia," ujar Arya dengan serius.
"HAH? MELAMAR?" potong Deva menghentikan Nisa yang sedang bercerita.
"Sstt. Jangan keras keras, nanti ada yang dengar," peringat Nisa pada keponakannya itu.
"Tapi tante, itu serius om Arya pernah melamar mama?" tanya Deva tak percaya.
"Iya serius. Om Arya memang mencintai mama kamu sebelum dia meninggalkan mama kamu, meskipun dulu itu hanya cinta monyet, tapi semakin mereka berjauhan maka rasa cinta Arya pada mama kamu juga semakin tumbuh besar," ujar Nisa menjelaskan.
"Yaudah tante lanjut," ujar Deva dengan antusias ingin mendengar kelanjutan kisah papa dan mamanya dimasa lalu.
Nisa melirik jam dinding yang berada di ruang kerja Vero itu. Sudah menunjukkan pukul 8 malam, itu artinya mereka sudah cukup lama berada disini.
"Ceritanya di tunda dulu ya. Kita makan malam dulu."
"Tapi tan Deva gak lapar," tolak Deva tak ingin beranjak dari tempatnya.
"Kalo gak mau makan tante gak bakal ceritain lagi," ancam Nisa yang membuat Deva berdecak kesal.
"Ok. Tapi sudah makan, tante harus ceritain lagi."
"Siap boy. Yaudah yuk sebelum mereka curiga."