Keesokan harinya, Deva pulang sendiri karena Rendi yang harus latihan basket persiapan untuk lomba tingkat nasional. Tadinya, Deva protes ingin ikut, tapi tentu hal itu di larang oleh Rendi dengan alasan Mama Nisa akan marah. Jadi terpaksalah Deva pulang hanya dengan taksi.
Sampai di rumah, ia langsung di sambut hangat oleh Nisa dan menyuruhnya untuk makan, tentu saja itu adalah perintah dari mama Ara.
Selesai makan, Deva memutuskan untuk mengerjakan beberapa tugasnya yang belum sempat ia kerjakan di sekolah. Ia menatap kumpulan soal yang rumit, serasa otaknya akan pecah.
Deva lebih suka dengan kelas menyanyi, seni, daripada harus mempelajari matematika yang sangat rumit. Deva tak mengerti mengapa mama Ara sangat menyukai deretan angka dengan rumus yang bisa membuat kepala botak mendadak.
Memang sih, Ara dulu bercita cita ingin jadi professor, tapi gak jadi karena harus menikah dengan Vero saat ini.
"Daripada harus ngerjain ini sendiri, capek mikir, mending aku telpon mama aja deh. Semoga sih mama lagi gak sibuk," gumam Deva mencari solusi yang paling tepat.
Setelah dua kali percobaan, Ara sama sekali tidak mengangkat telpon videonya. Deva meletakkan ponselnya, berpikir jika mungkin saja mamanya itu sedang sibuk. Deva tak ingin menganggu, mengingat ia bukanlah putra kandung mereka.
Menghela nafas, Deva menyandarkan tubuhnya pada kursi belajar. Ia memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan beban pikirannya.
"Kenapa ya? Takdir Tuhan memang tak pernah di duga?" gumamnya masih nyaman dengan posisi seperti itu.
"Huffhh. Apa aku bisa menjalani hari hari ku seperti sedia kala, juka sudah tahu semuanya?"
"Apa yang harus Deva lakukan ya Tuhan. Deva ingin pergi tapi Deva sudah sangat nyaman dengan mereka," ujarnya dengan lelehan air mata, yang tak terduga telah jatuh membasahi pipinya sejak tadi.
Deva membuka matanya, ia menatap cermin yang berada di hadapannya. Melihat dirinya di dalam cermin itu, Deva merasa jika itu bukanlah dirinya.
Deva si ceria, kini tampak sangat menyedihkan dengan air mata yang terus mengalir seakan tak ada habisnya. Deva yang sebelumnya termasuk anak yang tidak suka menangisi sesuatu kini malah tak bisa memberhentikan sendiri air matanya yang terus turun.
Ia tak tahu, mengapa bisa selemah itu. Padahal itu hanyalah satu kalimat namun mampu membuatnya tak akan pernah bisa melupakannya.
"Tuhan, aku tahu. Engkau mempertemukan aku dengan mereka agar aku bisa merasakan kebahagiaan di banding dengan orang tua kandungku hiks."
"Tapi bagaimana pun itu, aku bisa lahir karena ibu kandungku, meskipun beliau telah membuang ku."
Deva menggenggam erat handuk kecil yang ia ambil kemarin. Satu satunya barang yang ia punya dari ibu kandungnya.
"Kenapa aku merindukannya ya?" tanya Deva yang mencoba membayangkan bagaimana sosok ibu kandungnya itu.
"I..ibu? Aku sangat ingin melihatmu.. Berterimakasih karena kau mau melahirkan ku ke dunia ini. Engkau membuang ku karena aku adalah beban hidup mu 'kan?"
"Maafkan aku ibu, aku telah membuatmu menderita karena kehadiranku ini..hiks."
"Salahkah jika aku merindukan mu ibu?"
Tok. Tok.
Suara pintu yang di ketuk, membuat Deva segera menghapus jejak air matanya. Dengan menghela nafas, menetralkan perasaannya Rayhan berjalan ke pintu lalu membukanya.
Nisa yang mengetuk pintu tadi, memandangi wajah anak dari sahabatnya itu dalam diam. Tentu dia tahu jika Rayhan baru saja menangis.
"Deva kamu lagi ngapain nak?" tanya Nisa dengan nada lembutnya.
"Tadi belajar tante," jawab dengan pandangan mengarah pada objek lain. Ia takut tante Nisa akan curiga padanya.
"Mau tante temani?" tawar Nisa sambil berjalan dan duduk di atas kasur Deva. Deva pun ikut berjalan ke meja belajar lalu duduk di kursih menghadap Nisa.
"Tante boleh Deva bertanya sesuatu?" ungkap nya dengan gugup. Deva menundukkan kepalanya sambil meremas ujung bajunya.
Nisa yang melihat tingkah Deva yang begitu gelisah, kini berdiri dan berjalan menghampirinya. Dengan lembut, Nisa berdiri di samping Deva dengan mengusap pelan surai hitam milik Deva.
"Bertanya saja."
"A-apa pun itu?" tanya Deva masih tetap berada di posisinya semula. Menunduk dan meremas ujung bajunya karena gugup.
Nisa menganggukkan kepalanya, meskipun tak di lihat oleh Deva. Ia sebenarnya sedang menahan tawa nya yang akan meledak saat melihat Deva bertingkah seperti ini. Deva si jahil dan cerewet kini malah menunduk menatap lantai seakan ia berbuat suatu kesalahan.
"Iya apa pun itu. Tante akan menjawabnya jika tante tau."
"Tante d-dimana i-buku sekarang?" tanya Deva, lalu ia mendongakkan kepalanya menatap langsung mata indah milik Nisa. Deva dapat melihat jika Nisa menegang terkejut mendapat pertanyaan seperti itu.
Lidah Nisa keluh tak tahu harus menjawab apa pertanyaan dari Deva. Nisa tak pernah menduga jika remaja di depannya ini, menanyakan soal ibunya yang jelas jelas Nisa sendiri tidak tahu. Jangankan mengetahui keberadaannya melihat secara langsung pada wanita yang telah membuang remaja setampan ini, Nisa tidak pernah.
"Tante?" panggil Deva sambil menggerakkan tangan Nisa, karena wanita itu hanya diam tak menanggapi pertanyaan darinya.
"Tante jawab!" ulang Deva dengan mata berkaca kaca.
"Maafkan tante, karena sejujurnya tante sendiri tidak tahu dimana dan bagaimana ibu kandung mu itu," jelas Nisa yang membuat Deva kecewa.
Deva tak menjawab, air mata yang sedari tadi ia tahan kini jatuh kembali. Nisa dengan sigap membawa Deva ke dalam pelukannya. Tentu ia tak tega melihat Deva harus menangis atas takdirnya.
"Jangan nangis nak. Masih ada tante, mama sama papanya Deva. Meskipun kita tidak tahu dimana dan bagaimana sekarang mama kamu. Tapi mama yakin ibu kamu pasti baik baik saja. Dan suatu hari nanti Deva pasti bisa bertemu lagi dengan orang tua Deva. Yakin akan kebesaran Tuhan," ucap Nisa mengusap pelan punggung Deva.
"Ta-tapi apa mereka ma-sih hidup?" tanyanya sesenggukan.
"InsyaAllah mereka pasti masih hidup, dan baik baik saja. Yakinlah atas kebesaran Allah, dan selalu lah doakan mereka."
Deva menganggukkan kepalanya dalam dekapan tante Nisa.
"Kita sama sama berdoa ya nak. Tapi Deva jangan sedih terus, karena setiap kehidupan akan ada suka dan dukanya."
Deva melepas pelukannya.
"Makasih tante," ucapnya pada Nisa.
Nisa menanggapinya dengan tersenyum hangat. Dengan jemarinya yang lembut, mengusap pipi Deva, menghapus air matanya.
"Iya, jangan sedih terus ya. Hmm Sekarang gimana kalau tante lanjut ceritanya, mumpung Rendi belum pulang, dan maaf karena malam itu tante sampai lupa kalau Deva ternyata pengen di ceritain lagi. Sekarang Deva masih mau kan dengar ceritanya," ucap Nisa mengalihkan topik.
"Mau tan," jawab Deva dengan antusias.