Pagi hari yang seharusnya cerah, namun hujan turun membasahi kota membuat sebagian orang malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Terlalu malas untuk menjalani hari yang mungkin akan buruk.
Hal itu berlaku pada Ara, gadis 17 tahun itu malah makin mempererat selimutnya untuk menghindari hawa dingin. Ia adalah tipikial anak yang rajin, namun hari ini malah membuatnya malas untuk beraktivitas. Padahal jam telah menunjukkan pukul 06.20 menit, dan sekolahnya di tutup saat sudah pukul 07.45.
Resty bahkan sudah lelah untuk membangunkan putrinya yang sedang dalam mode malas. Jarak sekolah dengan rumah Ara cukup jauh, dan biasanya jika menggunakan mobil akan membutuhkan waktu 30 menitan.
"Ara bangun.. Atau bunda siram ya!" ancam Resty yang sudah lelah. Putranya saja, yang masih SD saat ini sudah sarapan dengan pakaian yang sudah memakai seragam sekolah.
"Lima menit lagi ma," gumam Ara tak jelas.
"Lima menit terus. Kamu bisa telat loh Ra. Harusnya kan menjadi ketua osis harus mencontohkan kedisiplinannya, ini masih berada di alam mimpi."
"Kalo kamu telat jangan salahin mama ya," ujar Resty lalu beranjak dari kamar Ara. Ia lebih baik mengurus Dion-adiknya Ara, dari pada berada di dalam kamar Ara yang bisa saja membuat darah tingginya naik.
Setelah kepergian Resty, handphone Ara berbunyi. Dalam keadaan belum sadar, ia meraih ponselnya yang berada di atas nakas, samping tempat tidurnya. Nama Nisa tertera dalam layar pipih itu, dengan gerakan cepat, ia mengangkat panggilan darinya.
"Haloo Ra. Dari tadi gue telponin, kenapa baru diangkat," terdengar nada kesal dari Nisa di seberang sana.
"Duh, sorry Nisa. Panggilan lo gak kedengaran," ucap Ara, karena dari tadi ia memang tak mendengar ponselnya berbunyi.
"Emang lo ngapain sampai gak dengar. Gue udah telponin lo dari jam lima subuh ya. Dan lo baru angkat setelah satu jam berlalu," ujar Nisa.
"Eh tumben lo cepat bangun," balas Ara.
"Ya makanya dari tadi gue telpon lo. Karena gue mau ngasih tau kalo hari ini gak bisa jemput. Soalnya nenek gue masuk rumah sakit, dan sekarang gue lagi di rumah sakit."
"Iya gak papa. Semoga cepat sembuh buat nenek lo. Jadi lo gak sekolah?"
"Kayaknya enggak. Nenek gue gak ada yang jaga. Tolong izinin gue ya."
"Oke, tapi kalo gue ingat."
"Ih Ara, kok lo gitu sih. Pokoknya harus."
"Oke oke. Kalo gitu gue mau mandi dulu."
"Lah? Emang lo belum mandi? Gue kira lo udah siap siap tinggal nunggu gue," ujar Nisa terkejut.
"Iya, gue lagi malas bangun. Apalagi hujan, buat gue makin tenggelam dalam mimpi gue," ucap Ara yang sudah seratus persen bangun.
"Gak biasanya lo kayak gitu, padahal lo orangnya disiplin banget."
"Gue juga gak tahu, mood gue hancur gara gara kemarin."
"Kemarin emangnya kenapa?" tanya Nisa yang jiwa kepo nya keluar.
"Nanti aja deh gue ceritain, gue mau mandi dulu. Udah jam enam lewat nih," ujar Ara yang matanya menatap fokus pada jam weker di atas nakas.
"Oke."
Setelah panggilan terputus, Ara segera ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya, bedanya ini lebih singkat dan dalam lima menit ia sudah selesai dengan menggunakan seragam sekolah lengkap.
Setelah itu, ia berjalan bergegas ke rak buku miliknya. Dengan cepat ia mencari dan memasukkan buku sesuai dengan mata pelajaran hari ini.
Ara menuruni tangga dengan tergesa, ia langsung menghampiri ibunya yang sedang berdiri di depan pintu untuk melihat kepergian Dion yang berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda.
"Ma," panggil Ara berniat untuk berpamitan, namun ucapannya justru membuat Resty terkejut.
"Kamu tuh ngagetin mama tau!" omel Resty sambil memandang Ara yang memasang wajah tak berdosa.
"Ma, Ara berangkat sekolah sekarang ya, soalnya udah hampir telat. Dan Ara harus ke halte bis," jelas Ara dengan panjang lebar.
"Tunggu dulu," ucap Resty sambil meraih tangan Ara agar berhenti.
"Ma ada apa? Kalo soal saparan Ara bisa sarapan di sekolah. Ma udah ya, udah telat nih," ujar Ara dengan cepat hendak melangkah kembali.
"Mama bilang tunggu, ya tunggu. Mama belum bicara aja kamu udah potong terus pengen kabur," ucap Resty menatap tajam putri sulungnya.
"Bukan gitu ma, tapi ini masalahnya Ara udah telat. Kalo makin lama disini bisa saja Ara gak di bolehin masuk sama pak satpam."
"Lagian siapa suruh coba, mama udah bolak balik loh dari jam lima subuh untuk bangunin, kamu malah tidur udah kayak mayat, sulit banget di banguninnya. Mama juga capek tau ara," ungkap Resty.
Ara memasang wajah bersalah.
"Maaf ma, Ara cuma lagi banyak tugas yang belum di selesai in, makanya sampai kepikiran dan malas bangun," bohong Ara.
"Lagi kali kalo masalah tugas sekolah, jangan terlalu di pikirkan nanti kamu malah jadi sakit," ujar Resty dengan nada yang kembali me lembut.
"Gak papa ma, Ara kuat kok. Ara juga sekolah untuk masa depan keluarga," ujar Ara yang membuat suasana menjadi melow.
"Makasih nak, mama bangga sama kamu." Ara menanggapinya dengan senyuman yang sangat manis.
Ara melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 06.38. Ara harus segera berangkat, ia tidak ingin telat dan mencontohkan hal yang tidak baik untuk siswa siswi Galaksi Internasional School.
"Ma, Ara harus pergi sekarang," ujarnya sambil menarik tangan kanan Resty untuk ia cium, pertanda pamit.
"Kamu yakin mau berangkat, ini masih hujan loh," ujar Resty karena memang hujan belum berhenti sedari tadi. Dion saja berangkat menggunakan mantel yang di belikan oleh Vero waktu itu.
"Mau gimana lagi ma. Kalo gak sekolah bisa saja beasiswa Ara terancam di sekolah. Ara gak mau menyia-nyiakan kesempatan yang sudah mereka beri pada Ara. Bisa sekolah di sekolah elit seperti itu adalah impian Ara ma. Dan Ara tidak ingin sampai di keluarin," ujar Ara dengan sedih.
"Kamu gak akan telat, tunggu bentar lagi aja ya nak."
"Mama nunggu siapa? Sedari tadi mama kayak ngelarang Ara pergi."
"Tunggu aja. Mama udah telpon seseorang buat antar kamu. Karena kata Nisa Vero lagi sakit makanya gak datang."
Ara mengernyitkan keningnya bingung. Mengapa Nisa beralasan seperti itu pada mamanya. Kalo Vero beneran sakit kan bahaya.
Ara tak ingin ambil pusing, ia duduk di teras rumah sambil menunggu seseorang yang katanya akan mengantarkannya ke sekolah. Ara memainkan ponselnya untuk mengalihkan rasa bosannya pada hujan yang tak kunjung reda.
Tak berapa lama, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Ara memandang mamanya yang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Seolah ia berkata jika itulah orang yang akan mengantarnya.
"Udah sekarang cepat kamu mobil, nanti kamu telat," ucap Resty sambil menyerahkan payung di genggamannya.
"Tapi itu siapa ma?" tanya Ara penasaran. Ia takut jika orang itu adalah orang asing.
"Kamu masuk, dan kamu liat sendiri," ujar Resty membuat Ara kesal.
"Ara berangkat ma. Assalamualaikum," salamnya.
"Waalaikum salam," jawab Resty.
Ara berjalan ke gerbang yang tak terlalu jauh, dengan sedikit berlari takut orang itu akan menunggu terlalu lama. Ia bahkan tak peduli pada seragamnya yang mungkin akan basa jika terkena ciprakan air hujan.
Sempat ragu untuk membuka pintu mobil itu, tapi tak ada pilihan lain.
Ara melipat payungnya, lalu duduk si samping kemudi. Setelah menutup pintu kembali, pandangannya mengarah pada seorang cowok yang kebetulan memakai seragam yang sama dengannya.
"Elo?!" kaget Ara sambil menunjuk cowok itu.