Chereads / Deva Memories / Chapter 2 - Menyatakan perasaan

Chapter 2 - Menyatakan perasaan

Di sekolah Victorian indonesian high school. Seorang remaja tampan tengah berlari mengelilingi lapangan, ia terus berlari meskipun sudah lelah. Itu hukuman untuknya yang telat datang.

Tak ada yang berani menyuruhnya, menegurnya, apa lagi menghukumnya. Bahkan, itu adalah kepala sekolah, guru, siswa seangkatan, senior, atau pun adik kelasnya. Semuanya tidak berani pada remaja yang memiliki wajah yang sangat rupawan itu dan lagi dia adalah anak yang sangat terpandang dan populer.

Namun, ada seorang gadis yang justru dengan mudahnya membuat Vero Brace Harison, menurut pada perintahnya. Contohnya Seperti sekarang, Vero berlari mengelilingi lapangan yang luasnya tidak main main di karenakan perintah dari gadis itu.

Namanya, Lilia Ara Aurelia, gadis pujaan Vero. Gadis sederhana yang memiliki senyuman paling indah, berhasil menaklukkan hati si dingin Vero. Namun sayangnya, ia adalah ketua OSIS yang begitu taat akan peraturan. Tak peduli siapa yang ia beri hukum atas kesalahannya sendiri.

Vero dan Ara sudah bersahabat dari kecil, dan saling melindungi satu sama lain. Mereka sudah saling mengenal dan tahu akan kekurangan masing masing. Meskipun demikian, Ara tetap akan merasa tak pantas untuk menjadi sahabat Vero yang notabenya berasal dari kaum bangsawan yang sulit ia capai.

Tanpa di sadari cinta telah tumbuh di antara mereka berdua, seiring berjalannya waktu perasaan iyu semakin besar dan saling ingin memiliki. Tak ada yang berani mengatakan nya, karena bisa saja cinta itu akan menghancurkan sebuah persahabatan yang sudah mereka bangun sejak kecil.

"Ara, udah dong. Gue capek nih," pinta Vero menghampiri Ara dengan nafas yang ngos-ngosan. Keringat bercucuran di pelipisnya.

Ara sebenarnya tak tega melihatnya, apa lagi itu adalah Vero. Tetapi demi peraturan, ia tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan masalah sekolah. Meski, Vero adalah anak dari pemilik sekolah ini.

Bersikap tak peduli. Baginya aturan tetaplah aturan. Dan Vero masih tetap harus berlari sebanyak tiga kali putaran. Karena peraturan anak yang terlambat datang dengan alasan yang tidak bisa di terima, harus mengelilingi lapangan sebanyak lima putaran. Dan Vero, baru menyelesaikannya dua kali.

"Gak. Masih ada tiga putaran... Vero, Masa gitu aja nyerah," ucap Ara tanpa merasa kasihan pada sahabatnya itu.

Vero membulatkan matanya, apa dirinya tak salah dengar. Ini aja Vero udah kehabisan nafas, apa lagi jika di tambah tiga putaran, yang ada dia mati duluan sebelum tiga putaran itu selesai.

"Ayolah Ra. Kali ini aja, please. Gue capek banget tadi gue belum sarapan," mohon Vero memelas berharap Ara akan luluh dengan ucapannya.

Ara terdiam sejenak, menimbang nimbang ucapan Vero.

Memang jika di lihat, Vero begitu kelelahan di tambah wajahnya yang udah pucat. Ara tak tega melihatnya, tetapi aturan tetaplah aturan. Bagaimana pun juga yang melanggar aturan harus menerima hukuman nya sampai selesai. Ara kan jadi bimbang di buatnya.

Vero tak berbohong, ia memang sangat lemas dan belum sempat sarapan tadi pagi karena terlambat bangun. Padahal jika di pikir pikir hampir setiap hari dia terlambat.

"Ara, tolong kali ini aja. Gue janji lain kali gue gak akan terlambat lagi."

"Tapi Vero, at-"

"Gue tahu, tapi masa lo tega sama sahabat kecil lo sendiri. Lo mau gue pingsan disini, emangnya lo kuat ngangkat ku ke UKS, terus apa lo sanggup jawab jika di interogasi sama kepala sekolah," sela Vero cepat.

Ara menghela nafas sejenak. Vero selalu saja mengancamnya. Ia memang tidak memiliki hak apa pun di sekolah ini, berbanding dengan Vero yang semuanya bisa ia dapatkan dengan mudahnya.

"Baiklah. Tapi awas aja sampai lo melanggar lagi. Gue tambahin dua jali lipat," ancam Ara dengan wajah tegasnya.

Vero tersenyum mendengar itu. Akhirnya bisa juga terbebas dari hukuman yang hampir selalu ia dapatkan.

"Thanks Ra, gue makin sayang deh sama lo," ucap Vero senang.

Karena terlalu bahagia, Vero secara tiba tiba menarik Ara kedalam pelukannya.

Deg!

Ara kaget mendapat pelukan tiba tiba dari Vero, sahabatnya. Entah kenapa jantung nya berpacu dua kali lipat dari biasanya, ia merasakan sesuatu yang aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ia mengidap penyakit jantung?

Vero yang sadar langsung melepaskan pelukannya, lalu memandang Ara yang tampak mematung. Vero jadi salah tingkah, apa yang ia lakukan tadi, itu refleks.

"Ara?" panggil Vero melambaikan tangan nya di depan wajah Ara yang menatap kosong ke depan. Pikirannya kosong hanya karena mendapat pelukan dari Vero. Itu adalah pelukan pertama dari seorang cowok kecuali ayah dan adiknya.

"Are you okay?" tanya Vero melambaikan pelan tangannya di depan wajah Ara.

"ARA!" Teriakan Vero keras, takut jika seandainya Ara kenapa napa.

"Eh? Ada apa Ver?" tanya Ara yang sudah sadar. Ia bingung mengapa Vero sampai berteriak seperti tadi.

"Are you okay?" tanya Vero mengabaikan pertanyaan Ara tadi.

"Mm. Yes, im Fine. Emang nya kenapa?" balas Ara, ia dengan cepat mengatur jantung nya yang terpacu dengan cepat.

"Lo tadi ngelamun gitu, gue takut lo malah kesambet," ujar Vero dengan nada yang lembut.

Vero bisa berkata lembut dan pengertian hanya pada Ara seorang. Para guru saja ia akan menyahut dengan datar jika di tanya. Apa lagi siswi siswi yang cari perhatian padanya, berniat menggodanya agar tertarik. Usaha mereka akan sia sia jika itu adalah Vero, remaja sedingin es dan berwajah datar.

"Jadi lo takut gue kenapa napa nih?" tanya Ara bercanda, perasaan nya sudah kembali seperti semula.

"Ya jelas lah. Lo kan masa depan gue," ucap Vero serius.

Ara yang mendengarnya hanya tertawa sumbang, menganggap apa yang di katakan Vero hanyalah sebuah Candaan semata. Ia juga tak boleh terlalu menganggap serius ucapannya barusan.

"Apa sih Ver. Udah ah, mending lo ke kantin katanya lapar," usir Ara berniat mengganti topik pembicaraan yang semakin ngawur.

"Temani gue please," pintanya memasang wajah se imut mungkin. Jika saja saat itu, banyak gadis gadis yang melihatnya akan langsung jatuh pingsan dan tak percaya. Bagaimana bisa cowok yang sedingin es kutub utara malah bertingkah imut hanya untuk Ara.

"Gue gak bisa. Gue punya urusan yang penting," Elak Ara. Dia memang tidak berbohong karena akan ada rapat Osis yang mengharuskan semuanya berkumpul, apa lagi itu Ara, ketuanya.

Vero hanya mengangguk singkat. Di sekolah, gadis itu memang terkesan sibuk, entah apa ia tak pernah lelah. Vero saja yang melihat, sangat lelah.

"Ok. Tapi gue punya satu permintaan," ujarnya dengan senyum misterius.

"Apa? Jangan aneh aneh. Gue udah baik mau meringankan hukuman lo tadi," kata Ara cepat. Entah kenapa ia menjadi sensitif gini saat berbicara dengan Vero.

Ini semua terjadi karena pelukan mendadak darinya, membuatnya harus waspada jika seandainya apa yang Ara takutkan malah terjadi. Ia tak ingin membuat semuanya hancur, cukup Vero ada sebagai teman yang selalu mendukungnya itu adalah hal terbesar dan berharga yang ia punya.

"Tunggu gue pulang sekolah, ada yang ingin gue omongin sama lo. INI PENTING," ucap Reva lalu berlari meninggalkan Ara yang belum sempat menjawab.

Ara menghela nafas sabar. Tak ingin terlalu terbebani dengan apa yang akan terjadi nantinya. Ia pun pergi meninggalkan tempat itu, dengan perasaan senang entah karena apa.

Tiba bel pulang sekolah. Semua murid langsung meninggalkan area sekolah itu dengan perasaan senang.

Ara yang baru membereskan buku bukunya itu, tersentak kaget karena secara tiba tiba Vero sudah ada di depan nya. Entah sejak kapan Vero berdiri di situ. Ara tak menyadari dirinya datang, ataupun mendengar suara langkah kaki pria jantung itu.

"Lo ngapain kesini?" tanya Ara heran. Ia masih sibuk dengan peralatan sekolahnya.

"Buat menjemput lo lah. Siapa tau aja kan lo kabur," jawab Vero santai. Kini pria itu sudah duduk di depan meja Ara, dengan senyum yang tak luntur dari wajah tampan nya.

Ara yang di tatap seperti itu, jujur saja ia salah tingkah. Jantungnya kembali berdetak dua kali lebih cepat. Ara hanyalah seorang gadis yang jika di tatap se intes itu oleh cowok pasti tidak bisa fokus.

Ara menghela nafas lalu merotasi kan bola matanya. "Gue bukan elu yang kabur saat di beri hukum," ujarnya dengan sebuah senyuman.

Senyuman itulah yang berhasil meruntuhkan ego Vero. Dan ia akui telah jatuh pada pesona dari gadis itu.

"Itu kan beda," jawab Vero santai.

"Beda apanya?!" tanya Ara sembari menatap mata pria itu.

'Ini jantung kenapa sih? Selalu aja berdetak cepat saat berada di dekat Vero. Atau jangan jangan gue- enggak, pokoknya itu gak boleh terjadi," batin Ara sambil menggelengkan kepalanya, agar apa yang ia pikirkan tidak akan pernah terjadi.

"Gak usah bahas itu dulu. Yuk sekarang pulang udah keburu malam ini. Sekolah juga udah mulai sepi," ujar Vero menarik pergelangan tangannya setelah Ara selesai memasukkan barang barangnya ke dalam tas.

Ara hanya mengangguk pelan dan pasrah saat di gandeng pria itu. Untunglah, sekolah sepi atau bisa saja ia di bully karena hal ini.

Mereka berdua pun sampai di taman, yang letaknya tak begitu jauh dari sekolah mereka. Ara mendudukkan dirinya pada bangku panjang yang tersedia di taman. Ia memandangi beberapa orang yang juga berkunjung yang di dominasi oleh pasangan remaja, yang sedang ber kencang.

"Si Vero mana sih! Katanya mau ngomongin sesuatu, ini malah ngilang," ucap Ara kesal, saat tiba tadi Vero langsung pergi gitu aja, meninggalkan Ara sendirian yang sudah seperti anak hilang.

Ara yang bosan memainkan ponselnya sembari menunggu kedatangan Vero.

Beberapa saat kemudian, Vero datang sambil memegang sesuatu di belakang punggung nya. Namun, kehadirannya tak di hiraukan oleh Ara karena saking fokus nya pada ponsel nya.

Vero yang merasa di abaikan langsung saja merebut ponsel Ara, membuat sang pemilik ponsel mendongak melihat siapa yang telah mengganggu nya. Hampir saja, Ara melayangkan sebuah tinjuan jika ia tak melihat itu adalah Vero.

"Vero! Lo sejak kapan ada di situ," kaget Ara.

"Dari tadi. Lo sih, asik banget sama ponsel sampai gak nyadar gue udah di sini," balas Vero sembari duduk di dekat Ara.

"Siapa suruh lo kabur gitu aja. Untung gue gak pulang tadi," kata Ara cuek.

"Kalo itu sorry. Hmm ra, gue mau ngomong sesuatu sama lo, ini serius," ucap Vero.

"Ngomong aja."

"Tapi janji, gak akan marah," ucap Reva was was. Takut jika seandainya Ara malah marah dan tidak ingin berteman dengan Vero lagi.

"Tergantung dari apa yang lo omongin sih," balas Ara.

Vero menghela nafas dan membuangnya perlahan. Mengurangi sedikit kegugupannya, ia pun meraih tangan Ara dan menggenggamnya.

Ara membelalakkan kedua matanya, melihat tingkah aneh Vero.

"Ara, sebenarnya gue sayang sama lo," ucap Vero menatap lekat ke mata Ara.

Ara terkejut, namun sebisa mungkin ia menyembunyikannya.

"Gue juga sayang sama lo," balas Ara.

Senyum Vero langsung terukir, dan hampir saja memeluk Ara, namun, Ara kembali melanjutkan ucapan nya.

"Sebagai Sahabat."

Reva menggelengkan kepalanya. Bukan sahabat yang tapi lebih dari itu.

"Bukan gitu maksud gue," ujar Vero cepat.

"Terus?" tanya Ara gugup.

"Gue cinta sama lo ra. Gue sayang sama lo, bukan sebagai sahabat tapi seseorang yang akan menemani gue menjalani hidup baik suka maupun duka."

Ara terdiam, tak tahu harus membalas apa. Jujur saja, Ara juga memiliki perasaan lebih pada Reva, tapi Ara selalu merasa ia tak pantas untuk Vero, pria yang hidupnya sangat sempurna itu.

"Ver, lo serius?" tanya Ara memastikan.

"Ra, gue serius. Gue pengen lo yang akan jadi pendamping hidup gue."

"Bukan gue mau nolak, tapi gue gak pantas buat lo," ucap Ara dengan sedih. Ia dengan perlahan melepas genggaman tangan Vero.

"Lo adalah wanita yang paling pantas baik gue, lo satu satunya wanita yang mampu buat gue jatuh cinta Ra," ucap Vero dengan tulus, tak ada kebohongan dalam ucapannya.

"Ver, gue-" ucap Ara menggantungkan ucapan nya.

"Kenapa Ra?"

Ara meneteskan air matanya dengan pandangan sendu menatap Vero yang menantikan ucapannya.

"Gue gak bisa jawab sekarang."